Menjadi Islam sekarang tak lagi cukup. Sekarang tuntutan yang sering beredar di mana-mana adalah berislam “sesuai” al-Quran dan Sunnah, walaupun sejatinya penulis juga kurang mengerti bagaimana bisa seorang yang mengaku bagian dari Islam, sebagai muslim, tapi apa yang diyakininya tak sesuai al-Quran dan Sunnah? Menerima Islam berarti menerima al-Quran dan Sunnah. Karena keduanya adalah ibu kandung Islam itu sendiri. Tanpa al-Quran dan Sunnah, tak akan ada Islam.
Berbeda lagi, jika yang mereka maksud adalah “sesuai” al-Quran dan Sunnah “versi” mereka. Maka persoalannya menjadi argumentatif. Bagaimana al-Quran dan Sunnah versi mereka? Lalu apa bedanya dengan orang yang mereka dakwa tidak sesuai dengan al-Quran dan Sunnah?
Tentunya, bicara soal al-Quran dan Sunnah adalah bicara tafsirannya. Al-Quran tentu tak bisa digunakan sebagai bahan perdebatan. Orang bisa jatuh pada debat kusir belaka. Namun, jika yang dimaksud adalah berdebat tentang penafsirannya, tentu akan berjalan dengan menarik. Karena al-Quran itu absolut, namun tafsirnya relatif.
Seruan untuk kembali pada al-Quran dan Sunnah adalah sebuah fenomena yang disebut “purifikasi” agama. Kelompoknya disebut “puritan”. Gagasan yang mereka kemukakan adalah anggapan bahwa manusia telah tersesat dari jalan agama yang sesungguhnya, dan terjebak pada hal-hal di luar agama yang kini dicampur aduk dalam agama.
Tidak ada yang salah dengan paham purifikasi. Itu adalah keyakinan yang mereka percaya dan menjadi hak asasi yang boleh diperjuangkan. Namun, masalahnya adalah kebanyakan dari mereka yang meneriakkan slogan ini enggan untuk memaparkan argumentasinya dengan teknik yang elegan.
Jika kita tarik mundur ke zaman dahulu, para ulama juga sering berbeda pendapat dalam sebuah topik. Namum perbedaan di antara mereka diutarakan dengan cara yang elegan. Misalkan, Imam Ghazali mengungkapkan ketidaksetujuannya akan konsep filsafat yang kala itu sedang berkembang. Ketidaksetujuannya itu dituangkan dalam sebuah karya, yang hingga kini banyak dikaji orang, yakni kitab Tahafut al Falasifa. Ternyata, pendapat Imam Ghazali ini berseberangan dengan Ibnu Rusyd, seorang filsuf besar Muslim. Tapi ketidaksetujuan Ibnu Rusyd dihadirkan lewat karya yang juga sangat terkenal, yakni bukunya yang berjudul Tahafut Tahafut.
Di masa sekarang, ketidaksetujuan dituangkan lewat caci maki media sosial, debat kusir tak berujung, serta kejahatan verbal lainnya. Hampir tidak ada argumentasi ilmiah yang dicantumkan dalam kolom komentar. Padahal, pengetahuan mereka di bidang agama bisa dibilang masih jauh sekali dibandingkan dengan para santri yang sudah banyak makan garam dalam belajar ilmu agama. Harusnya, santri adalah kaum yang punya otoritas tertinggi dan kredibilas terbaik untuk menyampaikan dan melakukan edukasi soal purfikiasi agama—dibandingkan dengan mereka yang hanya tau agama dari kajian-kajian medos dan konten Youtube.
Santri mengabdikan, bahkan menyerahkan seluruh hidupnya, untuk melayani ilmu agama. Sejak kecil belajar ilmu-ilmu dasar bahasa Arab yang bahkan mungkin tak pernah dipelajari oleh kelompok-kelompok nyinyir ini. Santri bisa betah belajar di pondok hingga bertahun-tahun lamanya, apalagi itu kalau bukan totalitas mereka untuk mengabdikan diri pada agama.
Tak hanya kuantitas waktu belajarnya, kualitas kitab yang dipelajari pun tak dapat diragukan lagi. Kitab-kitab selevel Ihya Ulum Ad-Din, Tafsir Al-Qurthuby, Alfiyah Ibn Malik, dan lain lain sudah jadi makanan mereka sehari-hari.
Maka, bicara soal purifikasi agama, tentu merekalah, para santri, yang lebih “berhak” bicara. Karena, itu adalah dunia yang sudah mereka selami Min Al-Mahdi Ila Al-Lahdi. Kebebasan berpendapat bukanlah alasan yang bisa menjatuhkan wibawa kredibilitas santri di antara kaum non-santri yang merasa “sok” puritan. Jika mereka, kaum “sok” puritan ini, mencela pemahaman seorang santri terhadap al-Quran, maka sudah seberapa jauh pengetahuan orang ini soal ilmu tafsir? Jika mereka mengkritik pemahaman santri terhadap sebuah fenomena syariat, maka sudah seberapa jauh pemahaman orang ini terhadap ilmu fiqh dan ushul fiqh dibanding para santri?
Ini adalah panggilan untuk santri di mana pun berada. Santri harus bangkit mengawal zamannya. Santri harus ada di barisan terdepan dalam membimbing masyarakat ke jalan yang diridai Allah. Santri harus jadi top of mind masyarakat atas segala problematika spiritual, dibandingkan dengan mereka yang bukan santri. Di pundak santri ada berton-ton tanggung jawab terhadap agamanya. Karena santrilah penyambung lidah antara masyarakat dengan para ulama bahkan Allah SWT.
Wallahu A’lam.