Santri, Kitab Kuning, dan Dialektika Kebangsaan

49 views

Pesantren dan kitab kuningnya bagaikan jasad dan ruh yang tidak dapat dipisahkan. Jika masjid, ruang kelas, dan bilik asrama merupakan wujud fisik pesantren, maka kitab kuning merupakan ruhnya yang dapat menentukan mati dan hidupnya pesantren.

Pesantren dan pemikirannya tidak hadir dari ruang hampa. Ia hadir melalui panjangnya dialektika keilmuan yang sudah mengiringi kehidupan para santri yang tidak lepas dengan peranan kitab kuningnya.

Advertisements

Kitab kuning dan seisinya, oleh beberapa kalangan dapat diterima bahkan dipelajari dengan lebih mendalam lagi. Namun, kita tidak dapat menolak fakta, ada beberapa golongan yang menolak kitab kuning, bahkan memberikan stigma kolot kepada kaum pesantren yang selama ini menggeluti kitab kuning.

Dan ironisnya, mereka yang memberikan anggapan demikian tidaklah begitu paham akan isi kitab kuning di pesantren. Bahkan menyentuh pun mereka tidak. Dengan ketidakpahamannya, mereka mencari beberapa lompatan dengan membaca buku terjemahan sebagai tandingannya.

Perlu untuk mereka ketahui bahwa Muhammad Abduh, sosok mujaddid abad kedua, justru menganjurkan muridnya untuk mendalami al-Muwafaqat-nya al-Syathibi.

Atau, Rasyid Ridha yang menganut paham Wahabi itu adalah penulis Tafsir al-Manar yang justru banyak merujuk pada Tafsir ibnu Katsir (Nasuha, 2015). Mereka berdua, Abduh dan Rasyid Ridha, dalam karya-karyanya tidak lepas dari sentuhan kitab-kitab klasik yang dikaji di pesantren.

Dalam faktanya, kalangan pesantren dan pemikiran kritisnya yang dilatarbelakangi kitab kuning dapat berdialektika dengan kalangan nonpesantren. Masing-masing saling berkombinasi dengan keahliannya.

Hal tersebut dapat kita lihat dalam beberapa forum diskusi di pesantren yang biasa dikenal dengan Bahstul Masa’il. Mereka tidak hanya berbekal teks rujukan yang bersumber dari kitab-kitab klasik, namun dihadirkan juga para pakar, baik itu dalam bidang sosial, ekonomi, bahkan politik untuk membeberkan realita masalah yang akan dibahas.

Lebih dari itu, teks klasik yang mereka jadikan rujukan, bukan sekadar teks yang utuh tanpa adanya rekonstruksi pemikiran yang dapat kurang relevan untuk menjawab problematika masa kini. Mereka menarik dari teks ke konteks, dari langit ke bumi.  Mereka merujuk dari cara qouli ke cara metodelogi (manhaji). Bahkan bukan hanya masalah ibadah yang mereka kaji, melainkan masalah-masalah sosial sampai menyentuh problematika negara-bangsa.

Buku Wajah Baru Fiqh Nusantara Fiqh Manhaji Sebagai Respon Solutif Isu-Isu Kebangsaan (2024) yang merupakan hasil kajian para santri Lirboyo adalah bukti konkret kemajuan berpikir para santri dengan kitab kuningnya.

Buku ini bukan hanya membeberkan teori fikih manhaji yang pernah saya tulis pada artikel yang berjudul Kontekstualisasi Hukum Islam dan Fikih Manhaji, melainkan juga menyelesaikan problematika kebangsaan yang jika tidak disikapi dengan kritis akan membahayakan masyarakat bangsa, terkhusus di Indonesia.

Dialektika Santri untuk Indonesia

Dalam buku ini, problematika krusial bangsa dalam negara Indonesia dapat ditemukan jawabannya dengan kritis dan bijak. Salah satu di antaranya adalah status non-muslim di Indonesia. Jika dalam menentukan status non-muslim ini kurang tepat, maka akan berakibat fatal dan akan terjadi kekacauan dalam tubuh masyarakat Nusantara ini.

Para santri Lirboyo, melalui buku ini, menuangkan pemikirannya tentu dengan kajian yang sangat mendalam dan juga panjang. Mereka menyatakan bahwa non-muslim yang bermukim di Indonesia bukanlah kafir harbi yang harus diperangi. Bukan kafir zimmy yang terikat dalam perjanjian yang cenderung diskriminatif. Non-muslim di Indonesia diberi status muwatthinin (warga negara) yang harus dipenuhi hak-haknya, sama halnya dengan seorang warga negara yang beragama Islam (hlm 132-143).

Mereka menyamakan status non-muslim di Indonesia dengan kaum Yahudi di Madinah, yang terikat perjanjian dengan Nabi untuk mencapai tujuan  yang sama, yaitu aman, damai, dan sejahtera. Kondisi ini, menurut Imam Syafi’i, disebut dengan perjanjian mu’ahadah karena di antara muslim dan non-muslim memiliki hak yang sama (hlm 134).

Dalam buku ini, para santri juga mengkaji ulang konsep mu’ahadah yang tertera dalam kitab-kitab klasik dengan konsep mu’ahadah yang disampaikan Imam Syafi’i. Jika konsep mu’ahadah Imam Syafi’i tertuju dalam kehidupan Nabi dan non-muslim di Madinah yang besifat mutlak, maka konsep mu’ahadah yang terdapat di dalam kitab-kitab fikih klasik adalah bermaksud untuk genjatan senjata dan bersifat temporal.

Dengan metodologinya, para santri Lirboyo menitikberatkan konsep mu’ahadah Nabi yang disampaikan Imam Syafi’i, di samping para ulama kontemporer, juga menganggap mu’ahadah yang dilakukan Nabi sama halnya dengan konsep muwathinin (hlm 141). Pendapat demikian sangatlah relevan dengan keadaan yang ada di Indonesia.

Rumusan mereka dalam kasus ini, menurut hemat saya, selain sangat relevan juga memuaskan sekaligus dapat menutup gerbang disintegrasi masyarakat Indonesia yang beragam suku, ras, dan agamanya. Karena, sekali lagi saya tegaskan, ketika status non-muslim di Indonesia salah distatuskan, maka sangatlah fatal akibatnya, dan tidak menutup terjadinya peperangan yang mengatasnamakan agama.

Dalam buku ini terdapat juga jawaban mengenai kontroversi PBB, formalisasi syariat Islam di Indonesia, dan lain sebagainya yang berkaitan erat dengan negara-bangsa. Mereka sajikan dengan analisis yang begitu kritis dan juga sistematis dengan berlandaskan kajian kitab kuning.

Dengan demikian, buku ini merupakan bukti intelektual kalangan pesantren dalam menyikapi problematika kebangsaan. Sekaligus dapat menampik anggapan dari mereka yang menganggap pemikiran kaum pesantren kurang begitu maju dan terbilang kolot. Demikian dan sekian, Wallahu A’lam bishowab.

Data Buku.

Judul Buku: Wajah Baru Fiqh Nusantara Fiqh Manhaji Sebagai Respon Solutif Isu-Isu Kebangsaan.
Jumlah Halaman: 177 hlm.
Penyusun: Tim Forum Kajian Ilmiah FIKRAH (Forum Integrasi Kajian Turots dan Ilmiah) Wisudawan Mahasantri Ma’had Aly Lirboyo Kediri Jawa Timur Tahun Akademik: 2023-2024 M.
Editor Isi: K. A. Muntaha.
Layoter: Khasbuna Rahman.
Penerbit: Lirboyo Press.
Tahun Terbit: 2024.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan