Dunia global saat ini sedang berada di era revolusi industri 4.0. Hal tersebut berimbas pada perubahan banyak hal. Fase literasi juga mengalami perubahan yang demikian cepat. Dahulu, masyarakat berliterasi dengan budaya lisan dan cetak, sekarang berubah menjadi literasi digital berbasis daring. Media sosial mulai menggantikan telepon dan sms. TV konvensional mulai tergantikan oleh youtube dan TV android.
Teknologi dengan cepat telah mengubah banyak hal dalam hidup. Jika sebelumnya manusia sangat tergantung pada alam, kini banyak hal bisa dikendalikan hanya cukup dengan sentuhan tangan di telepon atau perangkat cerdas lainnya. Mereka yang menguasai teknologi paling canggih akan mengendalikan pihak lain. Karena itu, banyak orang memberi dukungan pengggunaan teknologi sebagai sarana memenangkan persaingan.
Pada gilirannya, manusia semakin tergantung dengan teknologi karena dimudahkan. Untuk mencari ceramah tinggal mengetik di aplikasi di smartphone atau laptop. Bahkan di media sosial, teman-teman kita juga sering membagikan video atau informasi keagamaan. Tetapi sayangnya, terkadang konten dahwahnya jauh dari tuntunan al-Quran, al-Hadits.
Suatu missal, ada ustadz yang sedang viral pada 2019 yang kutipan ceramahnya menyatakan Nabi Muhammad pernah sesat. Ustadz tersebut akhirnya meminta maaf dengan mengklarifikasi atas imbauan dari MUI dan desakan masyarakat. Entah terpeleset lidah atau memang kedangkalan ilmu agama, tetapi yang paling penting sebelum berdakwah sebaiknya seorang ustadz harus belajar agama dahulu serta bertindak hati-hati. Ustadz tidak boleh belajar secara otodidak tanpa bimbingan seorang ulama. Seseorang yang baru mempelajari Islam dan belum menguasai dasar-dasar ilmu agama Islam dengan baik, sebaiknya tidak memakai gelar ustadz dan berdakwah.
Selain konten dakwah yang bertentangan dengan al-Quran dan Hadits, banyak juga ustadz media sosial yang menggunakan metode dakwah yang salah, yaitu dengan membeberkan aib saudara kita. Jika ada orang muslim yang melakukan kesalahan, sebaiknya kita menegurnya dengan cara mengkomunikasikan langsung (tabayyun). Menegurnya lewat media sosial bukanlah cara yang tepat. Ada juga konten dakwah yang tidak sesuai dengan ajaran Islam seperti: menistakan agama lain yang dilakukan oleh ustadz-ustadz mualaf dan sebagainya.
Muslim itu bukan pencela dan pengolok. Dengan mengolok-olok atau menegur kesalahan lewat youtube atau media sosial, berarti tidak sesuai dengan ajaran Islam dan etika bangsa timur. Dikutip dari sebuah hadits:
حَدَّثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي السَّفَرِ وَإِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي خَالِدٍ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ وَقَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا دَاوُدُ هُوَ ابْنُ أَبِي هِنْدٍ عَنْ عَامِرٍ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ يَعْنِي ابْنَ عَمْرٍو عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ عَبْدُ الْأَعْلَى عَنْ دَاوُدَ عَنْ عَامِرٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Telah menceritakan kepada kami Adam bin Abu Iyas berkata, Telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Abdullah bin Abu As Safar dan Isma’il bin Abu Khalid dari Asy Sya’bi dari Abdullah bin ‘Amru dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda: ‘Seorang muslim adalah orang yang kaum Muslimin selamat dari lisan dan tangannya, dan seorang Muhajir adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.’ Abu Abdullah berkata; dan Abu Mu’awiyyah berkata; Telah menceritakan kepada kami Daud, dia adalah anak Ibnu Hind, dari ‘Amir berkata; aku mendengar Abdullah, maksudnya ibnu ‘Amru, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata Abdul A’laa dari Daud dari ‘Amir dari Abdullah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR Bukhori 10).
Imam an-Nawawi memaknai selamat dari gangguan lisan dan tangannya ini dengan tidak menyakiti seorang muslim, baik dengan ucapan maupun perbuatan.
Islam rahmatan lil alamin kehadirannya di tengah kehidupan masyarakat mewujudkan rasa kedamaian dan rasa tentram sebagai rahmat bagi manusia dan alam semesta. Agama rahmatan lil alamin sebagai bentuk rahmat dan rasa kasih sayang Allah SWT, karunia dan nikmat yang diberikan kepada makhluknya di seluruh alam semesta. Di dalamnya tidak hanya menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia, tetapi juga menjaga hak binatang dan tumbuh-tumbuhan.
Muslim memang diwajibkan untuk melaksanakan dakwah walaupun hanya satu ayat. Apalagi di era globalisasi yang serba kecukupan saat ini, banyak strategi, metode, dan media yang dapat kita lakukan untuk melaksanakan dakwah. Hadirnya media-media baru seperti media cetak, media sosial, media elektronik dan sebagainya mempercepat penyebaran aktivitas dan materi dakwah. Berbeda ketika pada zaman Rasulullah dan sahabat, media dakwah sangat terbatas hanya berkisar pada dakwah qauliyah bi al-lisan dan dakwah fi’liyah bi al-uswah ditambah dengan media penggunaan surat (rasail). Yang perlu diingat dalam berdakwah ialah harus menguasai materi dakwah yang sesuai dengan al-Quran dan al-Hadits, disampaikan dengan etika baik, dan memakai diksi yang komunikatif.
Allah sangat murka kepada dai yang hanya menceramahi orang lain, tapi tidak mengamalkan isi dakwahnya. Metode tersebut dikenal dengan dakwah lilin: menerangi orang lain tetapi dirinya sendiri terbakar dan habis.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ كَبُرَ مَقْتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُوا۟ مَا لَا تَفْعَلُونَ
“Hai orang-orang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Sungguh amat besar kemurkaan Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang kamu tidak kerjakan.” (QS Ash-Shaff 61: 2-3).
Dalam berdakwah Rasulullah SAW, merupakan dakwah sinergi antara kata-kata dan perbuatan nyata. Rasul selalu mengamalkan isi dalam bentuk perbuatan. Hal tersebut menjadikan Rasulullah SAW teladan sempurna bagi umatnya.
Rasulullah SAW juga berdakwah dengan mengedepankan etika seperti: kelemahlembutan, kesantunan, empati, kasih sayang, dan kesabaran. Rasul tidak pernah mencaci maki, melaknat, memarah-marahi, apalagi membohongi umatnya untuk kepentingan popularitas dan material.
Dakwah yang dilakukan dengan metode tidak sesuai dengan al-Quran dan al-Hadits, seperti merujuk pada kekerasan, pemaksaan, atau melanggar nilai-nilai keagamaan dan kemanusiaan akan menghilangkan esensi kemuliaannya. Jangan biarkan media sosial dikuasai oleh orang-orang yang tidak berkompeten dan tidak mengamalkan ajaran Islam rahmatan lil alamin. Hal tersebut akan merusak citra Islam, memecah belah umat, memunculkan radikalisme, dan terorisme.
Pola Pikir Santri 4.0
Sebagai santri era revolusi industri 4,0, harus memiliki pola pikir 4C (critical tinking, creativity, comunication, and colaboration). Dalam bahasa Indonesia 4C dapat diartikan kritis dalam berpikir, kreatif, komunikatif, dan kolaboratif. Beripikir kritis diperlukan santri untuk menyikapi fenomena dakwah yang tidak mencerminkan Islam rahmatan lil alamin di media sosial, seperti youtube dan sebagainya. Berpikir kritis juga diperlukan untuk mencari solusi terbaik cara santri ikut berperan untuk mewujudkan Islam rahmatan lil alamin di masyarakat.
Kreativitas santri harus dilatih sejak di pondok pesantren. Pelatihan kreativitas siswa bisa dengan cara berlatih membuat konten-konten kreatif mengenai fenomena permasalahan yang ada di media sosial. Konten-konten tersebut bisa berupa artikel, karya ilmiah, atau pun karya fiksi yang berupa karikatur, cerpen, komik pendek, dan sebagainya. Dengan pelatihan tersebut diharapkan akan membantu membimbing masyarakat yang terpengaruh oleh dakwah yang tidak baik dan benar. Selain itu, konten fiksi akan menghibur masyarakat yang sesuai dengan ajaran Islam.
Kompetensi komunikasi (komunikatif) sangat diperlukan dalam kehidupan di masyarakat. Perkataan seorang santri itu merupakan cerminan karakter dan penguasaan ilmu. Kelak dalam kehidupan masyarakat di era 4.0, komunikasi adalah hal yang paling dibutuhkan. Katakanlah walaupun seseorang memiliki kompetensi baik, tetapi jika orang itu tidak pernah mengomunikasikan pastilah tidak akan diketahui orang. Dalam berkomunikasi, santri perlu menguasi dua hal, yaitu berpikir kritis terhadap peramasalahan dan karakter baik atau akhlakul karimah. Penyajian permasalahan yang ada dalam masyarakat atau media sosial dalam forum diskusi di pondok akan meningkatkan kompetensi komunikasi. Santri yang bercita-cita menjadi dai sangat memerlukan kompetensi ini.
Selain ketiga kompetnesi tersebut, santri harus mampu berkolaborasi dengan semua pihak. Dengan kolaborasi atau kerja sama bersama teman-teman yang seide maka santri akan mudah menyelesaikan permasalahan yang ada di masyarakat. Dalam berkehidupan di masyarakat, akan dijumpai berbagai permasalahan. Permasalahan tersebut akan mudah diselesaikan jika santri berkolaborasi dengan masyarakat. Pihak yang beseberangan pun harus diajak bekerja sama agar perbedaan pendapat yang ada tidak menimbulkan perpecahan dalam masyarakat tetapi akan menumbuhkan sikap toleransi dan menambah wawasan dalam berpikir.
Pembelajaran di madrasah yang ada di pesantren juga perlu membekali siswa dengan kompetensi teknologi komunikasi. Dengan pembekalan tersebut, santri akan bisa mengkaji konten yang bersifat merusak citra Islam, memecah belah umat, memunculkan radikalisme, dan terorisme yang ada di media daring. Hal tersebut pasti akan berdampak signifikan karena jumlah santri di Indonesia lebih domiman. Selain itu masyarakat awam cenderung lebih percaya terhadap alumni pesantren dibandingkan dengan ustadz yang tidak pernah menuntut ilmu di pesantren atau sekadar konten media daring. Tetapi jika tidak ada pengkajian oleh para santri/ulama, lama kelamaan pasti akan memengaruhi pola berpikir masyarakat.
Memang peran santri dibutuhkan untuk mewujudkan Islam ramatan lil alamin di era revolusi industri 4.0. Peran santri itu akan lebih optimal jika santri berpola pikir 4C, menguasai teknologi, dan berakhlakul karimah.