Santripreneur dan Etos Protestan Weberian

36 views

Perkembangan perekonomian dunia mau tak mau terlimpah juga di negeri kita yang gemah ripah loh jinawi. Retakan struktur sosial yang melahirkan subjek-subjek ekonomi baru pun kian marak. Dengan amat yakin, santri pun turut menjadi subjek-subjek baru tersebut.

Dalam buku Zamaksyari Dhofier yang berjudul Tradisi Pesantren’, diketahui bahwa santri tidak memiliki hubungan apapun yang berbau ekonomi.

Advertisements

Santri, dalam hemat Zamakhsyari Dhofier, dibagi menjadi dua, yakni santri mukim dan santri kalong. Santri mukim adalah murid-murid yang berasal dari luar daerah sehingga turut menetap dalam pondok pesantren, sedangkan santri kalong ialah murid-murid yang berasal dari desa-desa di sekitaran pesantren (Dhofier, 2011).

Para santri tersebut, baik dalam kategori mukim atau pun kalong, dengan komprehensif dan mendalam memelajari ilmu-ilmu agama Islam. Dari sederetan kitab kecil hingga kitab-kitab besar.

Namun, belakangan muncul tipologi baru yang tidak ditemukan dalam terminologi yang diciptakan oleh Zamakhsyari Dhofier. Mengingat persaingan dunia global yang mendorong pihak manapun untuk menjadi subjek maupun objek ekonomi menjadikan lahirnya terminologi santripreneur. Selain itu, mengingat tujuan dari pesantren salah satunya adalah memberdayakan ekonomi masyarakat maupun pesantren itu sendiri.

Hal ini juga kadang kala gagal ditangkap oleh warga pesantren sendiri, bahwasanya pesantren merupakan tempat untuk mendidik manusia. Mendidik di sini berarti sangat luas, tidak terbatas pada moralitas dan kompetensi keagamaan, namun juga kompetensi sosial serta ekonomi.

Etos Protestan Weberian

Max Weber, seorang sosiolog Jerman, dalam bukunya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, mengemukakan teori tentang bagaimana etos kerja Protestan berkontribusi pada munculnya kapitalisme di Barat. Weber berargumen bahwa nilai-nilai seperti kerja keras, disiplin, dan penghematan yang dianut oleh Protestan mendorong perkembangan ekonomi kapitalis.

Menurut Weber, etos kerja ini berakar pada keyakinan religius yang melihat kerja sebagai panggilan Tuhan, dan sukses ekonomi sebagai tanda dari anugerah Illahi.

Etos kerja Weberian menekankan pentingnya rasionalitas, efisiensi, dan akumulasi modal sebagai dasar bagi perkembangan kapitalisme. Nilai-nilai ini mempengaruhi cara individu bekerja dan berinteraksi dalam sistem ekonomi, menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi, dan inovasi.

Akhirnya Max Weber dikenal sebagai seorang sosiolog Eropa dengan tesisnya yang mengatakan, “Pengaruh ide-ide keagamaan tertentu terhadap perkembangan semangat ekonomi dan etos sebuah sistem ekonomi” (Weber, 1958).

Tesisnya ini seringkali salah diartikan oleh beberapa kalangan dengan menganggap bahwa kapitalisme berasal dari agama Kristen. Padahal, yang dimaksud oleh Weber di sini ialah ide-ide tertentu yang ada pada spirit reformasi Protestan membantu terbentuknya etos baru di Eropa yang kondusif bagi struktur ekonomi kapitalis.

Tesis Weber, singkatnya, ialah para reformator Protestan mengajarkan bahwa orang Kristen dipanggil Allah, bukan untuk meninggalkan dunia menuju spiritual yang lebih tinggi, namun untuk melayani Allah di dalam dan melalui profesi mereka di dunia.

Bagi Weber, orang-orang ini diajarkan hidup secara ‘asketisme duniawi’, hidup sederhana dan bekerja keras dalam profesi mereka masing-masing. Pekerjaan tidak dipandang sebagai kegiatan yang lebih rendah yang mengarah pada kesenangan duniawi, melainkan panggilan mulia dari Allah. Bisnis dan perdagangan wajib dilakukan demi kemuliaan Allah, bukan untuk kekayaan duniawi semata.

Etos Protestan ini memosisikan semua manusia setara di hadapan Allah. Tingkat kehidupan siapapun dapat berubah melalui kerja keras dan praktik ekonomi yang cermat.

Etos Santripreneur

Dalam kehidupan kontemporer yang ditempa dengan berbagai tantangan, salah satunya globalisasi, membuat santri yang seringkali dicap sebagai kaum tradisional telah memainkan peran yang progresif. Kini, santri tidak hanya berkecimpung pada literatur Islam klasik, namun juga berkecimpung pada kehidupan kontemporer yang penuh dengan persaingan.

Tentu, persaingan tidak hanya terjadi dalam sektor pendidikan saja, melainkan beragam sektor salah satunya ialah sektor ekonomi. Maka dari itu, munculah terminologi santripreneur.

Santripreneur memiliki makna santri (orang yang menuntut ilmu di pesantren) yang mempunyai usaha sendiri, santri yang berani membuka kegiatan produktif yang mandiri (Adawiyah, 2018).

Atau dapat dikatakan pula santri yang berani menjalankan usaha sendiri dengan memanfaatkan beragam peluang untuk menciptakan usaha. Namun, secara apriori, santripreneur memiliki ide bawaan mengenai kegiatan ekonomi mereka dan perhatiannya terhadap nilai-nilai agama dan sosial dalam menjalankan suatu usaha. Santripreneur pun turut aktif dalam kegiatan sosial serta filantropi seperti zakat, sedekah, dan wakaf. Niat serta aktivitas yang bedampak positif bagi bagi masyarakat sekitar pun tak lupa menjad ide bawaan para santripreneur.

Memang, etos santripreneur di sini memiliki kedekatan dengan etos Protestan Weberian. Keduanya, sama-sama memosoisikan semua manusia setara di hadapan Tuhan, kehidupan ‘asketisme duniawi’, kerja keras, dan juga disiplin dalam berusaha. Keduanya juga menganggap kesuksekan secara ekonomi adalah tanda keberhasilan dalam memenuhi tugas manusia secara mahkluk Tuhan.

Namun, santripreneur tidak melupakan aspek humanis dalam melihat ketimpangan, ketidakadilan, dan ketidaksejahteraan sosial. Mengingat, bahwa dalam etos Protestan merupakan gerak murni persaingan dan rasionalitas ekonomi tanpa adanya solidaritas kolektif atas kaum-kaum tertintas.

Etos santripreneur dalam balutan Weberian menyiratkan integrasi nilai-nilai keislaman, etis, dan ekonomi yang konkret. Bukan keuntungan individual seperti kapitalisme di dunia Barat, namun juga memerhatikan kesejahteraan sosial dan keberkahan spiritual.

Referensi

Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hiudp Kyai Dan Visinya Mengenal Masa Depan Indonesia. Edisi Revi. Jakarta: LP3ES, 2011.

Siti Robiah Adawiyah, “Pendidikan Kewirausahaan di Pondok Pesantren Sirojul Huda,” Comm-Edu (Community Education Journal) 1, no. 2 (2018): 81–87.

Weber, Max, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. New YorkL Scribner, 1958

Multi-Page

Tinggalkan Balasan