Siang itu sepulang sekolah aku dan Arsyad mampir ke mall untuk membeli sarung. Setelah mengelilingi seluruh sudut mall dan naik turun elevator akhirnya aku menemukan juga sarung yang kuinginkan. Arsyad tidak membeli apa pun karena dia hanya kuminta untuk menemaniku. Segelas es degan dan semangkuk bakso cukup untuk membuatnya mengiyakan permintaanku, menjadi bodyguardku berkelana di mall.
Setelah selesai belanja kami pulang ke pesantren dengan naik angkot. Mobil tua itu ramainya minta ampun. Udara begitu panas di dalam angkot. Celoteh para penumpang tentang harga bawang, cabe, petai, tumbar, kemiri, serta jahe membuat kupingku makin panas. Bau keringat yang bergumul dalam ruang sempit juga ikut menyemarakkan suasana. Kepalaku tiba-tiba pusing. Kututupi hidungku dengan tas. Dan betapa kagetnya aku saat menyadari ternyata tasku robek. Arsyad juga terperangah menyadarinya. Melihatku heboh, para ibu yang ada di angkot itu segera ikut-ikutan heboh. Saling meneliti wajah para penumpang satu sama lain. Namun kami tidak menemukan orang yang pantas untuk dicurigai. Semuanya adalah ibu-ibu berwajah polos. Itu pun sudah tua. Sangat tidak pantas di balik wajah polos mereka itu terdapat jiwa pencopet.
Sopir angkot tua itu terlihat panik kemudian menghentikan angkotnya. Ia menggeledah semua tas milik penumpang. Dan hasilnya nihil. Sopir itu terlihat geram. Aku mengajak Arsyad untuk menelusurinya di mall. Arsyad menolak permintaanku mentah-mentah dan memberi tahuku betapa tidak mungkinnya menemukan dompet yang hilang di tengah mall yang berjibun orang jahat itu. Hatiku sedih sekali. Bagaimana aku tidak sedih jika dompet itu berisi aset kehidupanku? Di dalamnya ada uang, kartu ATM, serta hal-hal penting lainnya. Padahal kemarin aku baru merengek-rengek pada umi untuk mengirimiku uang buat beli sarung. Wah, berarti sarungku ikut hilang!!!
* * *
Uraian beberapa kata yang disampaikan ustadz itu harus terhenti sebelum sempat sempurna menjadi sebuah kalimat. Seseorang mengetuk pintu kelas kami, entah siapa dia. Pandangan kami pun segera tertuju ke arah pintu itu. Sebentar kemudian pintu yang dipenuhi ukiran itu terbuka perlahan-lahan. Bersamaan itu pula muncullah seorang bocah berpeci hitam macam presiden pertama RI. Songkok nasional yang bertengger di kepalanya itu telah dihiasi warna merah di bagian bawahnya. Yang dikenakannya adalah baju koko dengan warna putih yang telah memudar serta kusut minta ampun. Dan ketika pandangan mata kami turun ke bawah, mata kami langsung terbelalak heran. Anak itu tidak bersarung seperti kami. Dia mengenakan celana kain panjang seperti yang biasa dipakai para guru kami di sekolah. Di pondok memakai celana adalah sebuah keanehan, apalagi ketika mengaji.