Ketika asyik scroll Tiktok dan Instagram, saya terkejut ada kabar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) me-launching program pelajaran sastra untuk masuk dalam bangku-bangku kelas bersamaan dengan Hari Buku Nasional pada Senin (20/5/2024) lalu.
Ada yang menyambutnya dengan gembira. Ada pula yang masih mempertanyakan mau dibawa ke pendidikan Indonesia. Pertanyaan yang muncul di kepala saya, bagaimana Indonesia bisa menyelesaikan corak pendidikan yang khas? Bagaimana menyelenggarakan pendidikan yang konsistensi dan koheren berdasarkan kurikulum yang ada? Bagaimana persiapannya jika sastra benar-benar masuk ke sekolah?
Pasti tidak dalam sekejap mata anak-anak bisa belajar sastra dengan cepat dan andal. Saya mengerti tujuan sastra masuk di sekolah adalah meningkatkan literasi anak-anak didik. Tapi masalahnya masih diperlukan metode belajar dan penyaringan genre sastra yang baik untuk murid. Selain itu, penting pula dipersiapkan pendampingan belajar sastra yang fleksibel sesuai dengan zaman.
Memilah Sastra
Sepanjang sejarah, sastra seringkali menjadi landasan budaya yang mampu mempersatukan masyarakat dan mempersatukan mereka sebagai sebuah bangsa. Upaya terbaiknya adalah membantu membangun jembatan antarwarga dan meningkatkan pemahaman antarkelompok dan kelas sosial yang berbeda (Ali Mustadi, dkk, 2022).
Cerminan kemajuan budaya sebuah bangsa diukur dari seberapa kompleks dan banyaknya produk sastra yang ada. Sebenarnya, bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki sastra heterogen. Setiap suku memiliki sastranya masing-masing. Karena itu, akan lebih baik bila mana sastra yang dipelajari di sekolah terkait sastra daerah yang ada, kemudian ditambah sastra Indonesia.
Di sisi lain, sastra juga bukan pelajaran yang mudah. Beberapa novel, cerpen, juga puisi sarat akan ideologi penulis. Entah itu LGBTQ, Liberal, Komunis, Marxis, Politis sesuai filosofi penulis masing-masing. Karena itu pelajaran sastra masih harus dibimbing dan dipilah dipilih dengan tradisi kita bangsa Indonesia. Juga harus sesuai dengan kebutuhan dan passion dari sang murid. Karena, jika kita belajar sastra, pemahaman seorang anak akan terlihat bilamana ia bisa mengambil hikmah atau tujuan sastra yang dibaca.
Guru Penggerak
Jika sastra masuk sekolah, yang pertama dipikirkan adalah jaminan hidup seorang guru. Belum lagi kekurangan guru banyak terjadi di daerah perdesaan, wilayah terpencil, dan perbatasan, di mana jumlah guru hanya berkisar tiga sampai empat. Di sisi lain, guru terkonsentrasi di perkotaan yang sarana dan prasarananya lebih baik.
Faktanya, sekolah dasar memiliki 11 hingga 14 guru, termasuk kepala sekolah. Oleh karena itu, meskipun sekolah-sekolah maju di daerah perkotaan mampu bertahan dengan kemajuan yang dicapai sejauh ini, sekolah-sekolah di daerah perdesaan dan terpencil yang tidak memiliki guru menjadi semakin terisolasi dan terpuruk (Sam M. Chan, dkk, 2011).
Bagaimana jadinya jika kondisi seperti itu ditambah dengan pelajaran sastra yang masuk kurikulum. Sebab, guru harus memikirkan ulang strategi pembelajaran, evaluasi pembelajaran, pemilihan bacaan, kemudian pengawalan belajar sastra sebagai hal yang baru. Kuantitas tersebut belum ditambahi dengan peningkatan kualitas. Karena, kualitas yang meningkat harus didukung sarana dan prasarana yang ada terkait pembelajaran sastra. Apalagi, membedah sastra tidaklah mudah, karena satra memiliki tipikal yang khas di kalangan pembacanya.
Karena itu, diperlukan tenaga pendidik yang bisa bekerja sama dengan penulis, menggali ulang keberagaman sastra yang dimiliki dan pemahaman kehidupan yang baik. Program baru ini mungkin bisa menaikkan tingkat literasi, tapi tidak spontan. Karena beberapa murid lebih menyukai pembelajaran audio, yakni melihat film, youtube, dan lain-lain daripada membaca buku sastra yang tebal-tebal lebih dari 100 halaman. Belum yang serial-serial. Semakin rumit dan pusing.
Hal Pembelajaran Sastra
Ketika belajar sastra, yang paling penting dari seorang murid adalah bagaimana murid bisa memahami setiap plot-plot kejadian dalam setiap cerita atau makna yang tersirat dari sastra yang ada. Bila di sekolah dasar sastra yang cocok dan tepat adalah dongeng atau legenda seperti Si Kancil, Tangkuban Perahu, Malin Kundang, atau cerita legenda yang unik di daerah masing- masing.
Menurut saya, sastra dalam pembelajaran harus disesuaikan dengan genre dan batasan umur dari bacaan. Dan guru harus berusaha mengarahkan arti dan makna pesan yang sebenarnya. Selanjutnya, peran guru untuk memantik kesadaran siswa dengan pedagogi pembelajaran yang khas. Seperti menggunakan sastra visual atau sastra lisan. Atau bisa memanfaatkan teknologi digital yang ada.
Dilihat dari materi yang ada pada Kompetensi Dasar dalam Permendikbud Nomor 57 Tahun 2014, maupun Buku Siswa yang dikeluarkan Mendikbud, ternyata pembelajaran sastra (materi sastra) sangat kurang. Kita bisa evaluasi dari sebelumnya, hal apa yang membuat siswa tidak tertarik dan jenuh dengan pelajaran sastra. Karena itu, tenaga pendidik perlu memikirkan ulang materi apa yang bisa disampaikan secara fleksibel dan adaptif (Djuanda Dandan, 2014).
Dengan demikian, memasukkan sastra dalam kurikulum perlu pengkajian lebih mendalam dari segala aspek yang ada. Sebab, dikhawatirkan hal itu hanya menjadi beban atau momok mengerikan untuk tenaga pendidik dan anak didik. Negara perlu mengevaluasi dengan konkret dari pembelajaran yang ada.
Masuknya sastra dalam kurikulum diharapkan juga bisa menyentuh sekolah-sekolah di pedalaman bahkan di pelosok. Karena sebuah kebijakan tidak luput dari analisis sosial dan kebutuhan pasar pendidikan. Realistis saja, apakah sastra bisa membawa pendidikan Indonesia menjadi suatu identitas kebanggaan nasional?
Referensi:
Ali Mustadi, dkk., Buku Bahasa dan Sastra Indonesia SD Berorientasi Kurikulum Merdeka, (Yogyakarta: UNY Press, 2022).
Sam M. Chan, Tuti T. Sam, Analisis SWOT: Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, (Jakarta: Rajawali Press, 2011) h.58.
Djuanda Dandan. 2014, “Pembelajaran Sastra di SD dalam Gamitan Kurikulum 2013”, Mimbar Sekolah Dasar, Volume 1 Nomor 2.