Dalam sebuah catatan tertulis demikian, “Nations are born in the hearts of poets, they prosper and die in the hands of politicians.”
Sedemikian berpengaruhnyakah sebuah puisi? Entahlah, tapi demikianlah ucapan Moh Iqbal yang tercatat di sebuah buku. Ya, ia seorang penyair dan filsuf dari India. Di beberapa buku yang pernah terbaca disebutkan juga bahwa sang filsuf banyak terpengaruh oleh Nietzsche, Goethe, juga Rumi. Inilah yang–mungkin–membuat Iqbal lebih menyukai sastra profetik-dialektis, dan menolak ideologi sastra untuk sastra (art to art).
Tak hanya membual, sang penyair juga menulis beberapa karya sastra seperti yang pernah penulis baca yang diterjemahkan oleh Abdul Hadi WM dengan judul Pesan dari Timur. Di buku tersebut tampak bahwa Iqbal benar-benar mengejahwantahkan ideologi sastranya. Ia banyak mengangkat tema tentang kehidupan dan moralitas, kadang juga ia bermabuk-ria dengan diksi-diksi transendental.
Begitulah yang penulis rasakan ketika membaca buku tersebut. Tapi, tunggu dulu. Kita kembali ke persoalan. Oke? Toh tulisan ini tidak ingin membahas sang penyair yang unforgettable itu.
Lalu apakah benar, sukma sebuah bangsa mulanya ditiupkan dari rahim sastrawi para pujangga? Lalu karya sastra yang bagaimanakah yang dimaksud sang penyair cum filsuf itu?
***
“Sastra selalu membebaskan, dan politik seringkali memenjarakan.” Begitulah tercatat dalam ingatan penulis ketika berbincang-bincang dengan seorang kawan. Mungkin ini jugalah yang menjadikan sastra tak terkurung oleh dikotomi baik-buruk. Ia membebaskan siapa pun untuk bersuara. Tak ada kasta dalam sastra, tapi ia sanggup merangkum ragam perspektif. Kadang sastra menjadi semacam tempat sampah yang unlimited, yang menampung segalanya.
Seperti disebutkan dalam salah satu puisi Umbu Landu Paranggi, ia menulis, “Karena sajak pun sanggup merangkum duka gelisah kehidupan.” Atau bacalah juga puisi Taufiq Ismail yang berjudul Dengan Puisi Aku. Di sana (sastra: puisi), para pujangga seakan menaruh kepercayaan yang la roiba fih.
Tak hanya berbicara duka-nestapa estetika saja. Sastra juga melahirkan kritik dan gagasan yang kuat dan elegan. Sastra dialektis lebih nikmat dibaca daripada membaca tulisan-tulisan yang frontal. Ada semacam alunan berirama yang dirasakan ketika kritik itu dibungkus dengan corak sastrawi. Alunan irama itu tak membuat kita lupa terlena. Tapi malah membuat kita tersadarkan dan mawas diri.
Tak ayal jika sastra dialektis memiliki andil besar dalam memberi bentuk tatanan masyarakat, tak terkecuali sebuah bangsa. Borok-borok dari zaman kolonial sampai post-kolonial dibeberkan secara cerdas oleh sastra. Bahkan, terkadang alur penokohan dari lakon sastra yang ditulis dengan pendekatan sastra-dialektis adalah cerminan masyarakat yang sedang coba diangkat oleh pengarang untuk menunjukkan pada pembaca perihal sisi kehidupan, sisi yang mestinya diobati dari masyarakat.
Betapa sastra sedang berusaha untuk ikut andil dalam menentukan tatanan hidup yang lebih baik. Melalui kelembutan perasaan dan ketajaman memandang realitas, sastra menghimpun pengetahuan dan pengalaman. Dimensi yang tak terjangkau oleh pandangan umum masyarakat sedang coba dilampaui oleh para pelaku sastra. Lalu ide-ide kreatif yang relevan dan visioner adalah buah dari proses pertapaan panjang sang begawan sastra.
Dengan ketersadaraan yang jernih dan tanpa dikotori oleh kepentingan politis-individualis, dialektika antara problem kehidupan dan ikhtiar mencari jalan keluar akan membawa karya sastra pada posisi kebermanfaatan yang membumi.
Begitulah, realitas memang seharusnya tak boleh dipisahkan dari ruang kontemplasi para pekerja sastra. Mengingat pijakan sebenarnya dari keresahan-keresahan alam pikir adalah kenyataan hidup itu sendiri, bukan imajinasi atau polemik ide yang jauh dan terisolasi dari bumi manusia.
Kembali pada soal yang lebih sederhana dan dekat dengan kita sebagai seorang santri, dalam tradisi pesantren, sebenarnya sastra memiliki ruang tersendiri dalam kajian-kajian ilmiah pesantren. Tak sedikit pesantren yang kukuh mempertahankan kajian-kajian gramatikal bahasa arab, seperti pelajaran nahwu, shorof, balaghah, dan lughoh atau bahasa. Ini penting sebagai langkah awal seorang santri untuk menimbah warisan literatur klasik, termasuk tentang sastra.
Banyak negarawan, budayawan, dan sastrawan yang dilahirkan dari rahim pondok pesantren. Dengan bekal prinsip-prinsip luhur yang diperoleh dari pesantren, mereka hadir di tengah masyarakat untuk sama menciptakan kehidupan yang tak hanya baik dan benar, tapi juga indah.
Sastra pesantren barangkali adalah wadah bagi sebuah usaha yang tidak melulu tentang art to art saja, yang sebagaimana ditolak oleh Moh Iqbal, tapi lebih kepada perbaikan moral dan ikhtiar bersama untuk mengobati, lewat kritik yang membangun, luka-luka masyarakat akibat kurang adilnya penguasa, maupun borok-borok masyarakat yang diselenggarakannya sendiri.
***
Tulisan ini mungkin sama sekali tak menjawab pertanyaan tentang seberapa berpengaruhnyakah sebuah karya sastra. Tapi memang penulis merasa tak perlu menjawab soal itu. Biarlah para pembaca sendiri yang merasakan pengaruhnya. Tentunya sesuai kadar pengetahuan dan pengalaman pribadi.
Yang perlu digarisbawahi adalah, seberapa jauh sastra mengabdikan dirinya bagi masyarakat dan kehidupan. Seberapa besar perannya dalam memberi ruh bagi perjalanan sebuah bangsa dan rakyatnya. Itu saja.