Seandainya Saya Ustaz Basalamah…

1,188 kali dibaca

Alkisah.

Dalam sebuah majelis di satu masjid di bilangan Jatinegara, Jakarta Timur, pada 2017, seorang jemaah bertanya perihal kegiatan rutin di sekolah yang berkaitan dengan kewajiban menyanyikan lagu Indonesia Raya. Mungkin yang dimaksud adalah upacara bendera tiap Senin, yang di dalamnya peserta upacara harus menyanyikan lagu wajib itu, juga menghormat kepada Sang Saka, Merah Putih.

Advertisements

Jika melihat situasinya, yang bertanya adalah seorang jemaah yang memiliki anak usia sekolah, mungkin bersekolah di SD, namun mereka (anak dan orang tuanya) keberatan dengan kewajiban menyanyikan lagu Indonesia Raya. Mereka tidak ingin ikut menyanyikan lagu itu, tapi khawatir ditegur oleh para guru. Maka kegalauan itu ditanyakan kepada pendakwah. Mungkin yang ditanyakan adalah hukum menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Karena yang ditanya adalah seorang pendakwah yang dikenal publik sebagai Ustaz Khalid Basalamah, maka jawabannya begini: “Tidak usah ikut (menyanyikan Indonesia Raya)!” Dan, jawaban itu pun viral, menghiasi pemberitaan berbagai media akhir-akhir ini, dengan tajuk yang memang seksi sekaligus sensitif: Ustaz Khalid Basalamah melarang menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Sang ustaz akhirnya memberikan kharifikasi. Ia mengaku tak bermaksud melarang orang menyanyikan lagu Indonesia Raya. Karena jemaah yang bertanya tersebut keberatan dan merasa tertekan dengan kewajiban yang ditetapkan oleh sekolah, maka Ustaz Basalamah menyarankan agar tak usah ikut menyanyikan lagu Indonesia Raya itu.

Sayangnya saya bukan Ustaz Basalamah. Seandainya saya Ustaz Basalamah, dan jika benar momennya seperti itu adanya, maka saya akan menjadikannya momentum untuk membangun kesadaran kebangsaan. Bahwa membela dan mencintai Tanah Air adalah bagian dari iman. Ini bisa berarti jika sebaliknya yang terjadi, ada bagian yang hilang dari keimanan kita.

Rasanya tak ada orang berani meragukan keimanan, ketakwaan, dan kealiman Hadratusyekh KH Hasyim Asy’ari. Toh, KH Hasyim Asy’ari yang justru mengobarkan semangat juang untuk mencintai dan membela Tanah Air melalui resolusi jihad. Pesan moralnya sangat jelas: bahwa perang mempertahankan Tanah Air adalah jihad fisabilillah. Yang meninggal dalam perang kemerdekaan mempertahankan Tanah Air itu adalah syahid, meninggal di jalan Tuhan dalam kondisi mukmin dan muslim.

Maka, menjadi hal yang absurd, sangat sulit dipahami, jika setelah 76 tahun Indonesia merdeka, masih ada orang-orang yang beranggapan bahwa “sekadar” menghormat bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan dianggap bisa mengotori iman, menjadikannya musyrik. Seakan-akan beragama dan bernegara bagaikan air dan minyak. Seakan-akan tak beragama seseorang jika sekaligus ia bernegara dan berbangsa. Seakan-akan beragama itu harus stateless.

Bayangkanlah hari-hari ini jika setiap muslim harus stateless. Tanpa menjadi warga negara suatu negara, Anda tak akan bisa berangkat ke tanah suci untuk berhaji. Tiap saat Anda tak bisa melancong ke Tanah Arab untuk berumroh. Kita lupa bahwa menjadi warga negara dari suatu negara adalah given, keniscayaan, seperti ketika kita terlahir sebagai orang Jawa, orang Sunda, orang Madura, orang Batak, orang Bali, dan sebagainya.

Maka, ketika terlahir sebagai orang Indonesia, menjadi warga negara Indonesia, dan hidup di Indonesia pula, apakah kita harus menyetip keindonesiaan kita karena kita muslim?

Harus diakui, momen yang melibatkan Ustaz Basalamah itu bukan fenomena tunggal, bukan satu-satunya. Dalam beberapa tahun terakhir, masih sering kita dengar di sejumlah daerah, di beberapa sekolah, penghormatan bendera dan menyanyikan lagu Indonesia Raya menjadi perkara yang selalu dihubung-hubungkan dengan keimanan, dengan kesyirikan. Padahal, menganggap hormat bendera dan juga menyanyikan lagu Indonesia Raya sebagai perbuatan syirik sesungguhnya cacat logika. Sebab, jika hormat bendera dianggap sama dengan menyekutukan Tuhan, itu berarti Tuhan disederajatkan dengan bendera. Jika menyanyikan lagu Indonesia Raya dianggap sebagai pememujaan kepada selain Tuhan, dan itu syirik, itu berarti juga merendahkan derajat Tuhan.

Rasanya kita perlu membaca ulang maha karya sarjana muslim terkemuka abad ke-14 Ibnu Khaldun, Muqaddimah. Dalam studi sosiologisnya, penggunaan umbul-umbul, bendera, musik mars pada semua kerajaan atau negara, termasuk negara-negara Islam ketika itu, disebutnya semata-mata untuk menggelorakan daya juang di zaman perang atau semangat membela tanah air. Tak ada hubungannya dengan penyekutuan akan Tuhan. Negeri-negeri muslim dan yang nonmuslim pun menggunakan cara-cara yang sama, sampai kini.

Lalu saya teringat semboyan Winston Churcill, Perdana Mentri Inggris semasa Perang Dunia II, yang begitu gigih membela negaranya: Right or wrong is my country! (Benar atau salah ini negaraku!). Semboyan itu akhirnya mampu memupuk nasionalisme tak hanya di tanah Inggris, tapi juga menjalar ke banyak negeri lain. Banyak nasionalis dan pejuang kemerdekaan di berbagai negara mengutip semboyan Churcill itu, tak lain untuk mengobarkan semangat juang dan nasionalisme.

Negeri kita memang tak sempurna, dan tak akan pernah sempurna. Tapi apa salahnya kita tetap mencintainya? Bukankah mencintai Tanah Air adalah bagian dari iman?

Itulah yang akan saya jawabkan seandainya saya Ustaz Basalamah. Tapi sayangnya saya bukan ustaz…

Multi-Page

One Reply to “Seandainya Saya Ustaz Basalamah…”

Tinggalkan Balasan