Ramadan selalu datang dengan diam-diam. Entah bagaimana, sebelum kita sempat benar-benar menyiapkan diri, ia sudah berdiri di ambang pintu, mengetuk pelan tapi pasti.
Ramadan tidak pernah berteriak. Ia seperti tamu lama yang tahu di mana letak kunci cadangan; ia masuk ke rumah kita tanpa banyak cakap. Tiba-tiba saja ia sudah duduk di ruang tamu, menatap kita dengan senyum samar—seperti menyindir, seperti merayu. Kita kaget setengah mati. “Lho, sudah Ramadan lagi?”

Setiap tahun kita mendapati diri dalam kebingungan yang sama. Seperti pelari yang baru sadar sudah berada di garis start saat peluit berbunyi. Kita tergagap, meraba-raba niat, buru-buru mengangkat tangan berdoa agar Ramadan kali ini tidak lewat dengan sia-sia. Ada semacam keyakinan samar bahwa Ramadan adalah peron kereta terakhir. Kita harus bergegas naik sebelum ia meninggalkan kita selamanya.
Namun, yang selalu terjadi adalah ini: Ramadan tidak pernah tinggal lama. Baru saja kita belajar mengeja doa di sela tarawih, baru saja kita mulai merasakan manisnya tadarus selepas subuh, tahu-tahu ia sudah berkemas. Hari ke hari berlalu dalam diam. Tiba-tiba kita sudah ada di sepuluh malam terakhir. Dan pada titik itulah kita mulai panik.
Penyesalan yang Terlambat
Ada sesuatu yang ganjil tentang manusia dan penyesalan. Kita ini, entah kenapa, hampir selalu menyesal pada waktu yang tidak tepat. Kita tidak pernah menyesal di awal, saat masih ada kesempatan untuk memperbaiki. Kita selalu menunggu sampai semuanya hampir selesai, sampai kereta hampir berangkat, sampai pintu hampir tertutup. Barulah kita menangis, menggedor-gedor takdir dengan doa yang basah.
Ramadan tidak terkecuali. Sepuluh malam terakhir adalah masa ketika kita tiba-tiba ingat bahwa kita belum melakukan apa-apa. Kita belum khatam Al-Qur’an, belum cukup tarawih, bahkan sedekah pun baru selembar dua lembar. Kita mendadak berubah menjadi manusia yang paling rajin memohon ampun. Malam-malam kita menjadi lebih panjang, air mata lebih mudah keluar, dan sajadah lebih sering basah.
Apakah ini buruk? Tidak sepenuhnya. Penyesalan, walaupun terlambat, masih lebih baik daripada tidak pernah datang sama sekali. Namun, Ramadan punya cara yang aneh untuk membuat kita merasa bersalah. Ia tidak memarahi kita. Ia tidak berteriak, “Lihat, kau menyia-nyiakanku!” Tidak. Ramadan hanya pergi begitu saja, seperti hujan yang berhenti tanpa aba-aba. Kita baru sadar setelah semuanya kering.
Janji yang Berulang
Setiap tahun kita membuat janji yang sama. Tahun depan, kita akan lebih siap. Tahun depan, kita akan memulai Ramadan dengan sungguh-sungguh sejak hari pertama. Tidak ada lagi menunda tarawih. Tidak ada lagi tadarus hanya ketika bosan dengan media sosial. Tidak ada lagi bersedekah karena gengsi. Tahun depan, kita akan menjadi versi terbaik diri kita.
Masalahnya, janji itu kita buat setiap tahun. Dan setiap tahun pula kita mengingkarinya. Kita seperti pemabuk yang selalu berjanji akan berhenti minum, tapi esoknya mabuk lagi. Ramadan berikutnya datang, kita kembali gagap. Kita kembali terlambat sadar. Kita kembali mengejar ketertinggalan di sepuluh malam terakhir.
Kenapa Begini?
Barangkali, karena Ramadan tidak pernah benar-benar terasa seperti kesempatan terakhir. Kita selalu merasa masih ada Ramadan berikutnya. Kita merasa umur kita akan cukup panjang. Kita tidak sadar bahwa mungkin saja Ramadan ini adalah yang terakhir. Bahwa mungkin saja kita tidak akan sempat menebus penyesalan tahun depan.
Setelah Ramadan Pergi
Ada rasa kosong yang aneh setelah Ramadan pergi. Seperti rumah yang tiba-tiba sepi setelah tamu istimewa pulang. Kita melihat sajadah yang tergulung di pojok kamar, mushaf yang masih terbuka di halaman yang sama, dan entah kenapa ada sesuatu yang menusuk di dada. Ramadan meninggalkan kita dengan perasaan bersalah yang lembut.
Tapi tidak semua perpisahan adalah akhir yang buruk. Ramadan pergi dengan membawa doa-doa kita. Mungkin kita tidak sempurna. Mungkin kita terlambat. Tapi Allah tidak pernah menutup pintu-Nya bagi mereka yang datang dengan hati yang basah. Ramadan mengajarkan kita bahwa terlambat masih lebih baik daripada tidak sama sekali.
Maka, sebelum Ramadan benar-benar berakhir, sebelum takbir bergema dan Idul Fitri datang dengan euforia yang membutakan, ada baiknya kita berhenti sejenak. Duduklah di depan sajadah. Bicara kepada Tuhan dengan jujur. Katakan bahwa kita menyesal, tapi kita tidak ingin menyerah.
Karena pada akhirnya, Ramadan bukan soal kesempurnaan. Ramadan adalah soal perjuangan. Dan selama kita masih berusaha, kita belum benar-benar kalah.
Sebelum Ramadan Berakhir
Mari kita lakukan apa yang bisa kita lakukan. Mari kita peluk waktu yang tersisa, meski tinggal sedikit. Jangan pikirkan apakah kita akan berhasil atau tidak. Tuhan tidak menilai hasil. Tuhan menilai usaha.
Dan barangkali, dengan usaha yang sederhana itu, kita akan keluar dari Ramadan kali ini dengan hati yang lebih ringan. Tidak sempurna, tapi cukup.
Karena dalam perjalanan menuju Tuhan, cukup adalah keajaiban.