Hampir lima tahun sudah aku menjalani kehidupan sebagai seorang dosen. Setelah lulus kuliah di Aussie aku langsung direkrut sebagai tenaga pengajar di kampus tempat aku kuliah zaman S1 dulu. Jenjang karier akademisku memang terbilang mulus. Dari awal semester aku selalu mendapat predikat cumlaude. Sepertinya kecerdasan orang tuaku mengalir padaku. Kedua orang tuaku juga merupakan dosen di kampus tempat aku mengajar.
Hampir setiap hari aku menghabiskan waktu di kampus, menyebarkan ilmu yang dengan susah payah aku cari di waktu dulu. Aku, walupun telah tumbuh menjadi seorang yang sukses, tapi tak akan lupa wejangan guru ngajiku dulu. “Carilah ilmu sampai dapat, tebarkan ilmu keseluruh umat”.
Dulu waktu kecil ibuku mendatangkan seorang guru ngaji untuk mengajariku ilmu-ilmu agama di rumah. Namun semenjak aku masuk SMA, aku sudah tak pernah lagi mengaji. Bagiku dalam urusan ilmu agama cukup sekadar bisa baca tulis al-Quran. Walaupun sebenarnya kini dan sejak dulu aku tak pernah bisa dengan lancar dalam menulis Arab. Jika saja aku dulu bersemangat dalam mempelajari ilmu yang bersumber di Timur Tengah itu, mungkin kini aku sudah dapat menyaingi ustadz-ustadz yang ada di kampungku, sehingga mereka tidak semena-mena menasihatiku untuk rajin bersedekah, rendah hati, suka menolong, dan entah apalagi yang sering mereka katakan.
Mahasiswaku rata-rata adalah golongan menengah ke atas. Sebagai kampus elite, mahasiswa-mahasiswaku adalah orang-orang yang punya daya pikir cemerlang. Jarang aku menerangkan materi sampai terlalu detail. Aku hanya memmberi mereka umpan. Aku biarkan mereka menjelajahi referensi-referensi ilmiah dengan pengetahuan mereka sendiri. Untuk hal-hal yang tak dapat terjangkau dengan pikiran mereka, aku akan memberinya penjelasan.
Dari sekian mahasiswa yang kuasuh, ada satu yang agak berbeda dari yang lainnya. Aku menaruh perhatian yang lebih pada anak ini. Dari segi penampilan dia tergolong paling PD dengan pakaian yang kasual. Atau pakaian-pakaian yang bercorak tempo dulu. Dalam hal ini aku tak begitu mempemasalahkannya. Aku bukanlah penganut materialisme. Yang membuatku agak merasa jengkel adalah cara berpikirnya yang lamban. Ketika aku memberi pertanyaan pada anak didikku yang satu ini, aku harus bersabar jika tak mandapat jawaban apa pun, atau harus bersabar berlama-lama menunggu hanya untuk mendengarkan satu dua kata yang keluar dari bibir merah kehitam-hitamannya. Itu pun jarang yang benar.
***
Mendung menampakkan wajah yang redup hari itu. Membuat hatiku tak begitu semangat dalam menjalankan aktivitasku. Dengan mobil mewah yang belum lama aku beli, rute perjalanan menuju ke kampus kulalui dengan perasaan yang tak begitu semanagat. Banyak pengendara sepeda yang masih memakai mantel walaupun hujan tingal menyisakan gerimis saja.
Sesampainya di tempat parkir kampus, hujan kembali turun dengan lebatnya. Utung aku sudah sampai, pikirku. Tuhan memang tahu apa yang kumau. Kubiarkan tubuhku menikmati hujan yang lebat ini dalam naungan mobil mewahku. Memang sedikit malas aku untuk mengajar saat hujan turun begitu deras seperti ini. Sebenarnya sifat ini tak patut dimiliki oleh seorang dosen macam aku ini. Tapi sungguh, kecerdasan otak tak mampu untuk mengalahkan rasa malas yang kini menyerangku. Biarlah. Sekali-sekali biarlah aku menuruti rasa kemanusiaanku.
Seseorang bersepeda ontel bermantelkan plastik transparan terlihat terburu-buru di belakang mobilku. Dia terus berjalan dalam rinai hujan yang juga tak kunjung reda. Tiba-tiba ia terpeleset saat akan melintasi mobilku. Orang itu terjungkal di samping mobilku. Dari balik kaca mobil terlihat ia tertindih sepeda merek jadul itu. Dan naas, spion indah yang menghiasi mobilku itu menjadi korban kecerobohannya. Uh… benar-benar orang ndesit ini membuat hatiku panas. Tapi bukan mobil mewah namanya jika hanya terserempet jidat orang ndesit saja spionnya rusak.
Demi menjaga citraku sebagai seorang dosen, aku mengeluarkan dompetku. Kulihat-lihat isi dompetku itu. Beberapa uang lima puluh ribuan dan selembar sepuluh ribuan. Aku menggerutu karena tak berhasil menemukan uang lima ribuan. Dengan berat hati kupilih selembar sepuluh ribuan. Kuberikan uang terkecil yang kumiliki itu untuk mengobati jidatnya yang berdarah setelah menabrak spion. Di sini-lah letak kedermawananku. Saat aku merasa dirugikan, aku masih bersedia untuk menyumbangkan uang.
“Hei, Mas, hati-hati dong kalau mengendarai ontel! Nih uang untuk berobat biar lekas sembuh jidatmu itu.”
Lelaki itu diam saja. Agaknya dia mempertimbangkan uang pemberianku. Aku kaget ketika mantel plastik itu dibukanya. Ternyata ia adalah Farkhan. Si ndesit, Joni menyebutnya.
“Eh, Pak Rius ternyata. Maaf Pak, saya kurang hati-hati bersepeda tadi. Tapi mobil bapak nggak apa-apa kok.”
Pemuda itu telihat takut. Satu ciri lagi yang semakin mengukuhkan anak ini untuk disebut ndesit. Secara refleks bibirku tertarik ke atas. Kutampakkan deretan gigi-gigi putihku. Sinis.
“Tenang saja. Sekarang kamu masuk ke kelas saja. Sampaikan pada teman-temanmu di kelas, aku masih di tempat parkir mobil. Sebentar lagi aku pasti menyusul.”
***
Beberapa bulan kemudian, sku mulai resah. Telah tiga bulan Farkhan tak pernah masuk kuliah. Kutanyai teman-temannya, tapi tak satu pun yang mengetahui keberadaannya. Dihubungi melalui HP tak pernah ada jawaban. Bahkan kini HP-nya tak lagi aktif. Mungkinkah ia tak sanggup lagi membayar uang kuliah? Atau tak kuat lagi menahan beban berat di jidatnya karena tak mampu memahami materi yang kusampaikan? Apa ia menjual HP-nya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya?
Semua pertanyaan itu tak ada yang bisa menjawabnya sampai kini. Sampai suatu saat kutemukan buntelan kertas disolasi di kap mobilku. Kutemukan uang sepuluh ribu di dalamnya. Rasa penasaranku pun membuncah. Lalu kubaca tulisan tangan yang jelek sekali itu.
Aku percaya bahwa dengan ilmu, Allah akan menaikkan derajat hambanya. Aku percaya bahwa ilmu pula yang menjadi syarat seseorang akan menjadi mulia. Di sisi manusia atupun disisi-Nya. Tapi Aku tak percaya bahwa manusia akan mulia dengan ilmu saja tanpa bisa mengamalkannya.
Mukaku merah setelah membaca surat ini. Keningku berkerut penuh tanda tanya. Apakah ini tulisan tangan Farkhan? Dia mengembalikan uang pemberianku? Tulisan jeleknya pun masih kuingat, aku pasti tak keliru. Sungguh bejat moral anak ndesit itu. Aku yang telah memberikan ilmu padanya tapi mana rasa menghargainya padaku? Kata-kata bijaknya pun mengusik jiwaku. Aku diam berpikir. Mungkinkah selama ini aku belum mengamalkan ilmuku? Segera kutampik pikiranku itu, setiap hari aku mengajarkan ilmu yang kumiliki, bukankah itu merupakan bagian dari pengamalan ilmu? Sial. Tulisan tangan Farkhan itu sungguh membuat resah hatiku. Jangan-jangan dia berhenti kuliah dan ingin menerorku.
Aku berhasil mendapatkan alamat Farkhan dari teman dekatnya. Kuluangkan waktu untuk menelusuri rumahnya. Dan hari minggu ini aku akan mencarinya. Sampai dapat. Satu jam setelah keberangkatanku sampai juga aku di desa tempat Farkhan tinggal. Suasananya begitu lengang. Hanya sesekali aku berpapasan dengan orang. Mereka menatap mobilku lekat-lekat. Ibu-ibu tua mendongakkan kepalanya demi melihat mobil mewahku. Anak-anak kecil yang bermain seketika berhenti. Mungkin pikir mereka, “siapa orang kaya yang mau memasuki desaku ini?” Aku tersenyum dalam hati.
Karena aku kebingungan mencari alamat Farkhan, akhirnya aku berhenti. Tak ada satu pun rumah yang ada nomornya. Aku mendekati puluhan anak yang sedang bermain bola di depan rumah yang cukup besar. Hampir seukuran dengan rumahku.
Anak-anak itu memandang ke arahku dengan sorot mata penuh dengan kekaguman. Dengan kaca mata minus yang melekat di kedua mata, aku pasti tampak aneh di mata mereka. Anak-anak itu ada yang berlari mendekati mobil mewahku. Ada yang mengelus-elusnya. Dan ketika kulihat rumah itu, seorang lelaki yang sudah kelihatan tua membuka daun pintu. Ia segera keluar menyambutku.
“Ada yang bisa saya bantu, Mas?” sapanya ramah. Tak terlihat raut curiga sedikitpun dari wajahya.
“O.. iya, Pak. Saya sedang mencari rumahnya Farkhan. Mohammad Farkhan nama lengkapnya, apakah bapak tahu?”
“Kebetulan sekali Mas, ini adalah rumahnya, saya adalah bapaknya.”
“O.. begitu rupanya, lalu mengapa begitu banyak anak-anak yang bermain di rumah Bapak?”
“Mereka adalah anak-anak yatim yang diasuh oleh Farkhan, anak saya. Siapa sebenarnya Mas ini ya?”
“Saya Rius,” begitu berat rasanya lidahku untuk mengatakan yang sebenarnya; bahwa aku adalah dosennya.
“Farkhan masih mencari rumput dan angon bebek.”
“Jauh Pak?”
“Agak jauh biasanya. Maklum, biasanya aku yang kerja. Sedang saat ini penyakitku kambuh. Farkhan pun sepertinya tak lagi semangat kuliah. Mending uangnya buat menghidupi anak-anak yatim yang kurawat sejak lama, begitu katanya. Dia anak asuhku juga. Oh, mari-mari silakan masuk ke gubuk kami,” pintanya dengan suara ramah.
Pikiranku berkecamuk bersamaan ayunan langkah kakiku. Aku merasa malu pada Farkhan. Anak yang selama ini kuanggap ndesit itu ternyata seoarang yang begitu mulia. Ia memang tak mampu menguasai ilmu yang aku ajarkan dengan baik. Tapi tenyata dia mampu mengamalkannya.
Mungkin inilah maksud surat itu. Bahwa manusia bisa mulia jika punya ilmu dan bisa mengamalkannya. Tapi manusia juga bisa mulia walaupun tak punya banyak ilmu jika kebaikan adalah jalan hidupnya. Menolong adalah napas hidupnya. Sedangkan aku?
Gading, 6 april 2012.