Lebaran bagi Darsem adalah titik di mana ia sungguh menyaksikan betapa di dunia yang ia pijak ini, harta benda adalah lebih besar dari tuhan yang dielu-elukan saat takbiran. Jangan gusar dulu, maksudku begini, semestinya ketika bibir mengelukan takbir, mengelukan keagungan tuhan, maka detik itulah kita mestinya merasa kecil. Yang terjadi kebanyakan, justru sebaliknya. Pseudo-takbir istilahnya. Membesarkan nama Tuhan tapi tak menyadari kekecilan diri. Membesarkan nama Tuhan tapi juga sekaligus merasa besar.
Di kampung ini, kampung Tajur namanya, Darsem tinggal bersama ibunya, Narsem. Dia dinamai Darsem sebab menurut Narsem, anak perempuan mesti dinamai dengan huruf akhir yang mingkem1. Sebab mingkem adalah filosofi dari perempuan jawa yang tegar, yang meski tersisihkan oleh dunia, disakiti sana-sini, maka ia mesti mingkem (diam). Menanggung segala dengan tegar, tanpa perlu berteriak-teriak marah, memprotes dan nangis-nangis. Berjuang menghadapi segalanya, tangan dan badan bekerja, namun bibir tetap mingkem. Tetap diam. Sebab bekerja, menurut Narsem adalah dengan tangan, bukan dengan mulut. Filosofi itu mendarah daging pada Darsem, yang belajar hidup tidak dengan buku dan pensil di sekolah-sekolah, namun dari ibunya yang tidak memiliki tradisi sekolah.
Darsem tinggal di kawasan pereng2, kecil, sempit, dan berdinding tabag3 bersama ibunya yang sudah lama menjanda. Bapaknya dulu bergabung dengan tentara kemerdekaan dan ikut perang melawan Jepang sampai mengorbankan kaki kirinya. Bertahun lalu, ketika bapaknya masih hidup, mereka pernah mengajukan pada pemerintah agar bisa mendapat dana tunjangan veteran. Yang tentu saja gagal mereka dapatkan sampai akhirnya bapaknya meninggal. Alur birokrasi terlalu ribet dan mereka terlalu malu harus berkali-kali meminta tetapi selalu pulang dengan tangan kosong dan tanpa kejelasan apa-apa. Memang dana tunjangan itu tidak banyak dan si bapak juga sebenarnya tidak ingin menagih imbalan negara untuk perjuangannya di masa menjelang kemerdekaan, tetapi hidup yang terlalu keras baginya dan rasa lapar yang tak tertanggungkan membuatnya terpaksa meminta. Meskipun pada akhirnya juga tak pernah ia dapatkan.
Atap rumah yang terbuat dari seng sudah mulai karatan, menghitam, dan beberapa sudah bocor. Namun rumah kecil ini, bagi Darsem dan ibunya adalah surga. Surga yang mereka beli dengan darah dan keringat mereka dari hasil berjualan tape. Dengan suami yang kehilangan satu kaki serta mulai sakit-sakitan dan seorang anak perempuan yang masih balita, Narsem berjuang mencari penghidupan hingga akhirnya mampu membeli sebidang tanah yang mereka tempati hingga kini dan menafkahi diri dengan berjualan tape. Meski sederhana, bahkan reot, namun bagi mereka berdua, rumah ini adalah istana. Rumah yang dibeli sendiri, bukan sekadar warisan atau tinggalan dari harta gono-gini.
Lebaran tahun ini, yang terjadi di kampung Tajur adalah rutinitas tahunan yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Bukan hanya tentang gema takbir yang menggema tanpa putus-putusnya sejak semalam, namun tradisi masak besar, menghidangkan kue-kue lebaran dan memakai baju baru adalah juga rutinitas yang tiada pernah berubah. Bagi Darsem, yang rutinitas hariannya adalah membuat tape, maka yang terhidang di meja -yang tak kalah reot dengan rumah yang ditempatinya- adalah beberapa piring tape dan sekaleng biskuit yang harganya Rp 36 ribu. Ada sesuatu yang menggelitik ketika menemukan bahwa Darsem membeli biskuit kalengan yang harganya Rp 36 ribu itu. Bagi beberapa orang, harga Rp 36 ribu mungkin tidak demikian berarti. Beberapa orang bahkan mungkin membeli biskuit kalengan yang harganya mencapai nominal di atas Rp 50 ribu per kalengnya. Namun bagi Darsem, yang sehari-harinya hanya bekerja sebagai penjual tape, Rp 36 ribu pun adalah nominal yang sangat besar.
Penghasilan harian Darsem rata-rata per harinya hanya berkisar antara Rp 20-25 ribu. Itupun nanti harus dibelanjakan untuk membeli singkong sekitar Rp 7.500 untuk 5 kg singkong dan ragi sekitar Rp 1.500. Per kilo singkong mentah, ketika sudah diolah menjadi tape, bisa menghasilkan uang sekitar Rp 4-5 ribu. Segalanya adalah serba pas-pasan. Tidak sebanding dengan kerja keras Darsem yang harus menyusuri pasar demi pasar untuk menemukan singkong berkualitas bagus yang bisa dijangkau oleh uangnya yang minim. Setelah itu, singkong harus dikupas, kemudian dikerok, dicuci, lalu singkong itu dikukus hingga matang baru diberi ragi. Kelihatannya memang sederhana, tapi barangkali, asumsi bahwa tape-lah yang memang memilih tangan si pembuat tape barangkali benar adanya. Di tangan Darsem, tape itu menjelma menjadi cemilan yang manis, empuk, berwarna putih memplak, tidak kemerahan.
Beberapa penjual tape terkadang heran dengan tape buatan Darsem. Tapenya tidak benyek7, sangat manis dan rupanya cantik. Ketika ditanya rahasianya apa, Darsem pun tak mampu menjawabnya. Ia hanya melakukan apa yang diajarkan Narsem kepadanya. Segala prosesnya pun sama dengan pembuatan tape pada umumnya. Begitu diurapi ragi, bakal tape itu lantas dimasukkan dalam keranjang anyaman yang diberi daun pisang, lalu ditutup rapat dengan daun pisang. Bakal tape itu didiamkan selama 1-2 hari, ketika dibuka, berubahlah singkong menjadi tape yang enak dan manis. Beberapa penjual tape di pasar tempat Darsem berjualan sering mengembuskan berita bahwa Darsem menggunakan aji-aji agar tapenya enak. Sesuatu yang lucu, kalau menurut Darsem. Soalnya kalau memang benar ia memakai aji-aji, pasti tapenya tidak hanya enak, namun laris manis dan kaya rayalah ia. Uangnya lantas bisa untuk memperbaiki rumah yang ia tinggali bersama ibunya itu dengan beton dan semen, bukan hanya tabag yang sudah reot dan bolong disana-sini. Dan yang lebih niscaya adalah bahwa di hari lebaran ini, ia pasti memakai baju baru dan mukena baru juga sajadah baru. Jika benar memang ada aji-aji, tentunya.
Namun nyatanya, seenak dan seistimewa apa pun tape buatannya, Darsem tetap datang ke mesjid untuk sholat Idul Fitri dengan baju yang tidak baru, mukena yang tidak baru, dan sajadah yang juga tidak baru. Baju yang ia kenakan adalah baju terusan warna putih yang kini sudah tidak putih lagi. Warnanya kusam, lusuh, dan kekuningan. Seberapa pun ia berusaha mencucinya dengan pemutih murahan seharga seribu rupiah. Namun itu adalah baju terbaik satu-satunya. Mukena yang ia kenakan pun tak kalah lusuh dengan baju yang ia pakai, sementara sajadahnya, satu-satunya sajadah yang ia miliki, sudah sedikit berlubang di bagian bawah yang biasanya dijejaki sepasang kaki kurusnya ketika berdiri untuk sholat.
Dan di sepagi itu, Darsem berjalan menuju mesjid dengan langkah kakinya yang panjang-panjang. Sementara ibunya, Narsem, tetap tinggal di rumah karena sudah tidak mampu berjalan jauh. Padahal letak mesjid dari rumah Darsem mencapai lima kilometer. Usia membuat Narsem tidak sanggup berjalan sejauh lebih dari dua kilometer tanpa tersengal-sengal kepayahan. Itulah kenapa Narsem tetap tinggal di rumah reotnya sementara Darsem menuju ke mesjid untuk bersembahyang Idul Fitri.
Begitu sampai di mesjid, puluhan orang di kampung Tajur sudah memadati mesjid dan bahkan sampai luber ke halaman mesjid. Darsem tersenyum pada orang-orang yang ia temui, ia ulurkan tangan untuk bersalaman. Beberapa yang menyambut uluran tangannya hanya sekadar membalas saja, namun muka tetap masam, tidak terbersit sedikitpun senyum. Beda sekali, ketika yang mengajak bersalaman adalah orang terpandang di kampung. Seperti bu guru, bu RT, bu RW, dan orang-orang kaya yang menguasai ekonomi kampung sebagai juragan beras, juragan gula jawa, atau pemilik kios-kios. Cara bersalamannya pun berbeda. Dengan Darsem, mereka hanya mengulurkan tangan, tanpa jabatan erat dan tanpa ber-rangkulan, apalagi cium pipi kanan-kiri.
Darsem mengedarkan pandangan, mencari tempat yang kosong untuknya menghamparkan sajadah. Di deretan depan, para nyonya dengan baju muslim model terbaru, warna-warna mencolok, gelang emas yang kemrincing, dan mukena-mukena penuh bordiran bunga-bunga, dengan dagu diangkat, menghamparkan sajadahnya yang serupa permadani. Anak-anak kecil mereka pun didandani serupa putri raja, pakaian gemerlap, mukena warna-warni, dan sajadah-sajadah mungil yang lucu-lucu. Darsem tersenyum kecut, membayangkan betapa kelak ketika ia menikah dan punya anak perempuan, maka anaknya itu pasti akan tertunduk di sebelahnya, tidak berani mengangkat dagu karena silau dengan segala gemerincing dunia yang dikenakan teman-temannya di leher, pergelangan tangan, dan jari jemari. Anak sekecil itu pasti belum tahu bahwa dunia yang mereka kenakan di tubuhnya akan menghimpit dan membebani mereka seumur hidup. Meminta semakin banyak, untuk memenuhi kebutuhan mereka akan kesilauan orang-orang di sekitar.
Namun Darsem, meski tersisih di sudut belakang, di atas sajadah usangnya, tersenyumlah ia, sebab ia mengerti bahwa ini barangkali adalah cara tuhan agar dia menunduk, tidak mendongak atau jumawa, sebagaimana ia mengecilkan diri, ketika sepasang bibirnya melantunkan takbir. Maka ia jalani prosesi pagi itu dengan senyum lebar. Meski yang bersalaman dengannya tak jua menciptakan segaris senyum di bibir mereka yang bergincu mahal. Dan Darsem makin tersenyum, teringat sekaleng biskuit seharga Rp 36 ribu yang ditata di atas meja di rumah reotnya, yang akan ia persembahkan pada para tetamu yang barangkali berkunjung ke rumahnya untuk bersalam-salaman. Sekaleng biskuit bersama beberapa piring tape manis yang ia buat dengan kasih, agar yang memakannya senantiasa merasa, bahwa dalam hidup yang pahit pun, ada tape yang manis apabila digigit dan dinikmati.
Dan Darsem, ketika acara sungkemnya dengan sang Ibu telah usai, duduk menatap mejanya, berganti-ganti menatap ke daun pintu, menunggu orang datang mengetuk untuk bersalaman pada Ibunya yang renta, dan bisa ia buatkan secangkir teh tanpa gula, untuk dinikmati bersama tape dan biskuit kaleng seharga Rp 36 ribu itu.
“Seumur hidupmu nduk, aku tak pernah mampu membelikanmu biskuit seperti itu, kau cicipi sajalah barang satu-dua keping, biar kau tahu bagaimana rasanya,” ujar Narsem tiba-tiba.
“Untukmu saja Yung, aku tidak kepingin… biar nanti kau dan tamu-tamu itu yang menikmatinya Yung,” jawab Darsem yang selalu memanggil ibunya dengan panggilan Biyung8.
Darsem menatap biskuit kaleng seharga Rp 36 ribu itu berganti-ganti dengan menatap daun pintu reot di rumahnya. Menunggu barangkali ada yang akan mengetuk untuk sungkeman dengan ibunya. Menunggu barangkali ada orang yang akan ia buatkan secangkir teh dan menikmati tape buatannya serta biskuit kalengan seharga Rp 36 ribu yang belum pernah ia cicipi bagaimana rasanya itu. Namun, Darsem dan biskuit kalengan itu ternyata adalah sepasang yang juga me-reot bersama dengan semakin reotnya rumah mereka. Sebab, hingga hari ke-7 setelah lebaran, tak satupun orang di kampung itu mengetuk pintu rumah Darsem dan menikmati sekaleng biskuit seharga Rp 36 ribu yang selalu dipandangi Darsem berganti-ganti dengan memandangi daun pintu di rumahnya.
Catatan:
1mingkem : yang dimaksud akhiran mingkem adalah konsonen bilabial seperti huruf ‘m’/’p’/’b’
2pereng : tanah dengan ketinggian lebih dari sekitarnya, namun posisinya miring, sehingga rawan terhadap longsor
3tabag : dinding rumah yang terbuat dari anyaman bambu
4mbojo : menikah
5randa : janda
6gula jawa : jenis gula berwarna coklat yang terbuat dari nira pohon kelapa
7benyek : lembek
8biyung : adalah bahasa jawa untuk menyebut ibu