Semakin banyak naskah yang disubmit ke laman www.duniasantri.co justru kian banyak yang tidak bisa dirilis. Apa sebab?
Catatan ini sengaja kami publikasikan untuk menjawab semua pertanyaan (lewat japri) yang datang bertubi-tubi, yang tidak mungkin dijawab satu per satu. Catatan ini juga untuk melengkapi catatan-catatan redaksi yang terhimpun dalam panduan pengiriman naskah yang sudah ada di sini. Tujuannya, agar kualitas penulisan, terutama penulis opini, semakin berkualitas, dan memenuhi kriteria untuk bisa dirilis.
Pada bagian awal catatan ini, akan ditegaskan hal-hal yang harus dihindari oleh setiap penulis. Pada bagian berikutnya, dijelaskan hal-hal yang perlu dilakukan oleh penulis.
Menggurui
Hal pertama yang harus dihindari oleh penulis adalah menggurui. Artinya, sebagai penulis, kita harus menghindari adanya pretensi untuk menggurui pembaca. Naskah yang kita tulis juga harus menghindari sifat menggurui. Sebab, salah-salah kita yang kecela karena pembaca sudah lebih tahu dari kita, penulisnya. Contoh naskah yang menggurui, misalnya, adalah tulisan-tulisan yang bernada meminta pembaca untuk melakukan “ini atau itu” untuk tujuan “ini atau itu”.
Sok Tahu
Hal kedua yang harus dihindari oleh penulis adalah bersikap sok tahu. Di zaman batu dulu, mungkin suatu ilmu atau informasi hanya diketahui oleh beberapa atau bahkan satu orang. Di era globalisasi dengan perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat, kita harus berasumsi semua orang juga sudah menguasai ilmu atau informasi yang kita kuasai. Contoh naskah yang sok tahu, misalnya, adalah tulisan-tulisan yang bernada memberi tahu pembaca dengan contoh kalimat, “Tahukah Anda bla-bla-bla…” Termasuk, dalam penulisan topik atau tema, kita merasa sebagai orang yang paling tahu. Itu harus dihindari. Sebab, salah-salah kita yang kecela karena pembaca sudah lebih tahu dari kita, penulisnya.
Kalau tidak boleh menggurui dan sok tahu, apa yang harus kita lakukan? Yang kita sajikan atau tawarkan dalam artikel-artikel kita adalah pikiran-pikiran kita, gagasan-gagasan kita, diutamakan yang mengandung unsur kebaruan, atau dengan sudut pandang baru, yang dengannya bisa memantik diskusi atau menggugah pemikiran dari pembaca. Sebab, kalau tidak mengandung kebaruan, gagasan-gagasan baru, sudut pandang baru, buat apa kita susah payah membuat tulisan.
Data, Fakta
Berikutnya, hampir semua naskah yang tidak bisa dirilis, atau bahkan beberapa yang dirilis, punya kelemahan yang sama: miskin fakta, miskin data. Tanpa fakta dan data, pijakan tulisan kita tidak kokoh. Tanpa fakta dan data, bagaimana kita bisa membangun argumen yang kuat untuk merumuskan pendapat? Tanpa fakta dan data, tulisan kita hanya menjadi semacam gerundelan atau dengung.
Contohnya, misalnya, akhir-akhir ini banyak naskah disubmit dengan mengusung tema “manajemen pesantren” atau “penerapan teknologi digital di pesantren. Dalam tulisan disebutkan banyak pesantren yang telah melakukan modernisasi manajemen atau menerapkan teknologi digital dalam proses pembelajaran. Meskipun penulisnya sudah menyebut “banyak”, namun tak satu pun sekadar disebut contoh nama pesantrennya —apalagi soal bagaimana proses transformasinya itu terjadi.
Begitu banyak naskah yang berniat mengangkat-angkat tema pesantren, namun sesungguhnya tidak bicara apa-apa tentang pesantren. Termasuk tema-tema yang lain, juga tidak banyak bicara. Misalnya, naskah yang mengangkat tema kekerasan fisik dan kekerasan seksual di pesantren. Banyak, namun tak satu pun yang menyajikan datanya, atau faktanya, atau analisa dari ahli, padahal data dan fakta-fakta itu tersedia, bahkan dari lembaga yang otoritatif.
Akhirnya seringkali naskah-naskah itu terlihat lucu atau culun. Sebab apa? Banyak dari kita mengalami sindrom kemalasan untuk melakukan riset, termasuk riset kecil-kecilan. Di zaman dulu, riset memang harus turun ke lapangan atau berkutat di ruang apek perpustakaan. Namun, di era digital ini, riset bisa dilakukan dengan sangat mudah dan hampir semua yang kita butuhkan tersedia di Internet. Kita tinggal klik. Jika data belum tersedia, tetap ada fakta atau fenomena yang bisa kita peroleh dari sana.
Kita tinggal mengolah datanya, atau faktanya, atau fenomenanya, dan dari sana kita bisa menawarkan pandangan-pandangan baru, gagasan-gagasan baru, atau sudut pandang baru dengan bangunan argumen yang kokoh.
Itulah kelemahan kita selama ini: malas riset, miskin data dan fakta. Saatnya kita mulai membiasakan diri dengan riset, bergelut dengan data dan fakta atau fenomena lebih dulu, baru menuliskannya.
Mantap – Hebat – Bermartabat