Fakta historis telah menunjukkan bahwa dinamika peradaban Islam mengalami penurunan hingga kejatuhan setelah berhasil menorehkan kemajuan dalam segala bidang.
Penurunan ini jelas dilatarbelakangi faktor-faktor tertentu. Di antara faktor krusial tersebut adalah stagnasi yang berujung regresivitas pemikiran Islam. Filsafat dan pemikiran Islam mulai menunjukkan penurunan setelah al-Ghazali mengharamkan filsafat (Kuru: 2020, 194).
Al-Ghazali dalam pemikirannya mengemukakan bahwa terdapat kecacatan fatal yang berujung pada kekafiran dalam filsafat. Ia menemukan adanya kekacauan dalam filsafat yang digaungkan oleh para filsuf muslim terkemuka seperti al-Kindi dan al-Farabi (Arifin & Harahap: 2021, 76). Dengan adanya serangan kritik tersebut terjadilah penguatan ortodoksi Sunni dan pelemahan filsafat (Ibnu Rusyd: 2021, 127).
Ajaran agama Sunni, baik pada ranah praktis maupun teologis, memang berbeda dengan paham yang dianut oleh Dinasti Abbasiyah sebagai otoritas pemerintahan resmi pada waktu itu. Paham Mu’tazilah merupakan paham atau aliran yang digunakan secara resmi oleh khalifah Dinasti Abbasiyah dan diterapkan secara komprehensif dalam setiap lini kehidupan.
Paham Mu’tazilah cenderung menempatkan porsi yang lebih kepada akal sebagai sumber dalil aqly daripada porsi yang diberikan kepada nash-nash syar’i sebagai sumber dalil naqly. Hal ini tecermin dalam corak tafsir dan teologi Mu’tazilah (Rahman & Rahman: 2020, 199-189).
Adapun, paham ajaran Sunni lebih menitikberatkan pada penggunaan dalil-dalil syar’i sebagai sumber naqly daripada penggunaan porsi akal sebagai sumber aqly. Tampaknya ajaran Sunni lebih memilih mengambil sikap hati-hati dalam menafsirkan dalil naqly agar tidak keluar dari koridor yang ditetapkan oleh syariat itu sendiri.
Salah satu karakteristik ajaran Sunni adalah inovasi atau dobrakan dalam ajaran agama jauh lebih sedikit karena prinsip kehati-hatian tersebut. Sandaran kepada riwayat yang diwariskan secara turun-temurun menjadi alasan mengapa hal tersebut dapat terjadi. Corak ajaran Sunni ini sendiri dapat terlihat dari corak tafsir dan teologi Sunni yang memang lebih menitikberatkan pada dalil naqly yang berbasis riwayat tersebut (Rahman & Rahman: 2020, 188-189).