Ilustrasi Kegiatan Ilmiah

Sekilas Pergeseran Paradigma Peradaban Islam

11 views

Fakta historis telah menunjukkan bahwa dinamika peradaban Islam mengalami penurunan hingga kejatuhan setelah berhasil menorehkan kemajuan dalam segala bidang.

Penurunan ini jelas dilatarbelakangi faktor-faktor tertentu. Di antara faktor krusial tersebut adalah stagnasi yang berujung regresivitas pemikiran Islam. Filsafat dan pemikiran Islam mulai menunjukkan penurunan setelah al-Ghazali mengharamkan filsafat (Kuru: 2020, 194).

Advertisements

Al-Ghazali dalam pemikirannya mengemukakan bahwa terdapat kecacatan fatal yang berujung pada kekafiran dalam filsafat. Ia menemukan adanya kekacauan dalam filsafat yang digaungkan oleh para filsuf muslim terkemuka seperti al-Kindi dan al-Farabi (Arifin & Harahap: 2021, 76). Dengan adanya serangan kritik tersebut terjadilah penguatan ortodoksi Sunni dan pelemahan filsafat (Ibnu Rusyd: 2021, 127).

Ajaran agama Sunni, baik pada ranah praktis maupun teologis, memang berbeda dengan paham yang dianut oleh Dinasti Abbasiyah sebagai otoritas pemerintahan resmi pada waktu itu. Paham Mu’tazilah merupakan paham atau aliran yang digunakan secara resmi oleh khalifah Dinasti Abbasiyah dan diterapkan secara komprehensif dalam setiap lini kehidupan.

Paham Mu’tazilah cenderung menempatkan porsi yang lebih kepada akal sebagai sumber dalil aqly daripada porsi yang diberikan kepada nash-nash syar’i sebagai sumber dalil naqly. Hal ini tecermin dalam corak tafsir dan teologi Mu’tazilah (Rahman & Rahman: 2020, 199-189).

Adapun, paham ajaran Sunni lebih menitikberatkan pada penggunaan dalil-dalil syar’i sebagai sumber naqly daripada penggunaan porsi akal sebagai sumber aqly. Tampaknya ajaran Sunni lebih memilih mengambil sikap hati-hati dalam menafsirkan dalil naqly agar tidak keluar dari koridor yang ditetapkan oleh syariat itu sendiri.

Salah satu karakteristik ajaran Sunni adalah inovasi atau dobrakan dalam ajaran agama jauh lebih sedikit karena prinsip kehati-hatian tersebut. Sandaran kepada riwayat yang diwariskan secara turun-temurun menjadi alasan mengapa hal tersebut dapat terjadi. Corak ajaran Sunni ini sendiri dapat terlihat dari corak tafsir dan teologi Sunni yang memang lebih menitikberatkan pada dalil naqly yang berbasis riwayat tersebut (Rahman & Rahman: 2020, 188-189).

Dengan pernyataan tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa yang dimaksud penguatan ortodoksi Sunni adalah pemurnian agama dari hal-hal yang terlalu menyimpang karena penggunaan porsi akal yang dinilai liberal. Gagasan atau pemikiran ini membawa implikasi yang berskala global karena memengaruhi paradigma umat Islam yang sebelumnya bersandar pada filsafat terutama filsafat yang disebarkan oleh para filsuf muslim.

Penguatan ortodoksi Sunni yang kental dengan agama seakan berkonfrontasi dengan kemajuan peradaban terutama dalam bidang keilmuan. Implikasinya adalah pergeseran paradigma pemikiran secara masif dan orientasi kajian kelimuan pun berubah.

Orientasi pemikiran yang berubah berdampak pada pola kontruksi sosial sebagai produk dari pemikiran tersebut. Sebagai contoh, sebelum adanya pergeseran tersebut, kajian keilmuan diorientasikan pada filsafat liberal dengan tetap berpegang pada syariat sebagai basis kajian.

Corak penafsiran keagamaan terutama pada nash Al-Qur`an maupun Hadis ikut berubah. Dengan penafsiran liberal, para filsuf Muslim menafsirkan tentang keabadian alam dengan berlandaskan ayat “…dan Arasy-Nya berada di atas air…”(Terjemah Q.S. 11:7).

Imam al-Ghazali membantah hal tersebut dengan mengatakan tidak mungkin alam yang termasuk makhluk dapat mengadakan dirinya sendiri. Di samping itu, ia mengatakan bahwa sesuatu di luar Allah dapat ada dengan sendirinya sama saja dengan menegasikan iradah atau kehendak Allah SWT dalam pengadaan alam tersebut (Al-Ghazali:1966, 75).

Corak penafsiran keagamaan ini berpengaruh pada bidang keilmuan lainnya karena orientasi yang ikut berubah. Ajaran yang dibawa oleh al-Ghazali dalam menangkal arus liberalisasi ilmu pengetahuan adalah dengan mengarahkan agar ilmu pengetahuan hanya tertuju pada faktor-faktor ketuhanan.

Dengan berpikir dalam lingkup transendental yang begitu kental sebagaimana yang dicetuskan al-Ghazali, maka inovasi sebagai suatu perubahan dapat terhambat. Sebagai contoh, dalam memahami sifat panas dari api, maka ajaran al-Ghazali akan memotret sifat panas tersebut sebagai sesuatu yang murni atas kehendak Tuhan. Sifat api akan dipahami bukan sebagai sifat mutlak yang melekat pada api, karena dalam kisah Nabi Ibrahim sifat panas dari api itu menghilang atas kehendak Allah.

Pemahaman seperti ini dapat membawa implikasi serius seperti pada stagnasi berpikir. Ini karena dengan menganggap bahwa sifat panas dari api itu tidak mutlak karena hanya berdasarkan kehendak mutlak dari Allah, maka gagasan untuk melahirkan bahan isolator tidak akan ditemukan. Gagasan penemuan bahan isolator yang dapat menangkal sifat panas dari api tersebut akan dipotret sebagai sesuatu yang menyalahi kodrat Tuhan, yaitu mentakdirkan apakah api akan panas ataukah tidak.

Contoh lainnya adalah potongan Surat Al-An’am ayat 59 yang berbunyi “…dan tidak ada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya….”

Ayat ini jika dipotret dan bertolak dari pemahaman yang terlalu kental dengan unsur transendentalnya maka hanya akan menghasilkan pemahaman sempit dan terbatas. Ayat tersebut tidak akan dipahami selain sebagai ayat yang menandakan bukti kekuasaan Allah yang mengetahui segala hal, bahkan daun yang gugur sekalipun.

Jika dipotret dari sudut lain akan dipahami bahwa ayat tersebut menunjukkan adanya daya tarik bumi. Pemahaman yang tidak hanya berorientasi pada aspek teologis atau transendental akan melahirkan pertanyaan yang out of the box, seperti “mengapa Allah menyebut daun tersebut jatuh ke bawah?”

Dengan pertanyaan tersebut, maka pemikiran mengenai teori gravitasi dapat diekstrak dari ayat tersebut bukan hanya sekadar ayat yang menunjukkan kebesaran Allah semata. Adanya contoh tersebut menunjukkan bagaiman pemahaman dan penafsiran keagamaan sangat berpengaruh bagi pemikiran dalam hal keilmuan.

Ada ungkapan menarik antara korelasi agama dan ilmu pengetahuan sebagai salah satu produk peradaban yang berlaku terbalik di Barat dan Timur. Ungkapan tersebut adalah: “Barat maju karena mereka meninggalkan agama, sedangkan Timur mundur justru karena meninggalkan agama.”

Negara-negara Barat mulai menunjukkan kemajuan peradaban semenjak munculnya gerakan sekularisasi yang memisahkan secara ketat antara agama dan perkara dunia seperti ilmu pengetahuan. Gerakan sekularisasi ini berorientasi pada pembebasan metode pengkajian ilmu dari dogma-dogma gereja. Dogma gereja tersebut dianggap sebagai penghalang bagi kemajuan peradaban keilmuan itu sendiri (Pratiknya: 1986, 9).

Adapun dunia Timur, terkhususnya yang dimaksud adalah umat Muslim, dianggap mundur justru karena menjauhi agamanya. Seperti pada contoh kemajuan peradaban Islam pada abad VIII sampai dengan abad XVII Masehi dan menjadi acuan bagi dunia Barat pada umumnya (Pratiknya: 1986, 9).

Pada masa itu umat Muslim berhasil membawa peradaban dan perkembangan ilmu terlepas dari kritik al-Ghazali yang mengatakan bahwa kemajuan tersebut juga mengandung kecacatan terutama pada aspek teologis.

Bacaan:

Al-Ghazālī, I. (1966). Tahāfut al-Falāsifah. Kairo: Dār al-Ma’ārif.

Kuru, A. T. (2020). Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Pratiknya, A. W. (1986). “Maju Karena Meninggalkan Agama”, dalam Islam Multidimensional. Yogyakarta: Lembaga Penelitian Pengembangan dan Teknologi.

Rahman, O., & Rahman, M. G. (2020). “Tafsir Ideologi: Bias Ideologi dalam Tafsir Ideologi  Sunni, Muktazilah, dan Syiah.” Journal Hukum Islam, 1(2).

Rusyd, I. (2021). “Filsafat Islam dan Masalah Kemunduran Peradaban Islam”. Jurnal Al-Aqidah, 13(2).

Multi-Page

Tinggalkan Balasan