Gus Dur merupakan fenomena yang tak pernah habis dikaji. Di mana pun dan sebagai apa pun.
Para pengembara intelektual Al-Azhar banyak membahas Gus Dur sewaktu menjadi pelajar di Kairo, Mesir. Para kiai mengkaji kekiaian Gus Dur. Ulama mengulas kealiman Gus Dur. Kaum Nahdliyin membincangkan peran Gus Dur terhadap NU. Para pejabat membicarakan masa pemerintahan Gus Dur. Golongan pemikir memikirkan cara berpikir Gus Dur. Kalangan santri pun renyah mengisahkan cerita-cerita Gus Dur semasa di pesantren.
Buku Gus Dur, Santri yang Gemar Membolos ini memuat kisah-kisah unik Gus Dur saat menjadi santri di beberapa pesantren. Termasuk kisah-kisah kenakalannya. Dari mencuri ikan hingga menyembelih kambing milik kiai.
Namun, kisah kenakalan Gus Dur ini tak perlu dicontoh, sebab kita tak cukup modal (lahir dan batin) untuk menirunya. Kita cukup membaca, menyaksikan dan merenungkan saja.
Saya menyambut hangat hadirnya buku ini, sebab dengan membaca kisah-kisah kenakalan Gus Dur ketika berada di pesantren ini, tergambar potret sisi kemanusiaan Gus Dur yang pada masa kecil dan remajanya juga pernah berbuat usil dan nakal.
Tetapi, kenakalan Gus Dur masih dalam taraf normal seorang santri. Bukan kenakalan yang di luar batas, seperti mabuk-mabukan dan bermain perempuan. Kenakalan yang dimaksud di sini merupakan kenakalan Gus Dur yang penuh kelucuan, yang mengakibatkan orang terpingkal-pingkal karenanya.
Terdapat sembilan kisah kenakalan Gus Dur yang disajikan dalam buku setebal 170 halaman ini, yakni menyelinap keluar saat pengajian kitab, menonton pertandingan sepak bola, mencuri ikan milik sang kiai, bolos mengaji untuk menonton film di bioskop, menyembelih kambing milik kiai, membaca koran saat santri lain sibuk tadarus Al-Qur’an, selalu tidur saat mengaji dan diskusi, mengusili teman pondok, dan kisah ketika selamat dari hukuman setelah membolos.
Selain pandai, semasa mondok Gus Dur juga dikenal usil, tak terkecuali terhadap teman-temannya sendiri. Salah satu korban keusilan Gus Dur adalah Gus Sholeh Hamid, temannya ketika nyantri di Tambakberas, Jombang. Gus yang bernama lengkap KH Moh Sholeh Abdul Hamid ini, akhirnya menjadi salah satu pengasuh di Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas.
Sejak kecil Gus Sholeh biasa menghafal surat-surat pendek Al-Qur’an pada malam hari sambil mengelilingi masjid pesantren. Ia berangkat dari menara dan kembali ke menara lagi sembari berulang-ulang menghafal ayat-ayat suci Al-Qur’an. Kebetulan waktu itu yang dihafalnya adalah surah at-Takwir.
Sementara Gus Dur sudah mengetahui kebiasaan kawannya ini sejak lama. Tanpa sepengetahuan Gus Sholeh, Gus Dur memasuki menara tersebut sebelum Gus Sholeh memulai hafalannya. Setelah beberapa kali mengitari masjid, Gus Dur menyadari bahwa sesampainya di menara, ayat yang dibacakan Gus Sholeh adalah fa aina tadzhabun (mau ke mana?). Dan benar saja, waktu itu Gus Sholeh membacakan ayat tersebut. Dari balik menara terdengar suara Gus Dur menyahut, “Ila WC, Gus.” Sontak, Gus Sholeh terperanjat (hlm. 144).
Selain itu, Gus Dur juga pernah usil kepada ustaz pimpinan pondok di Tambakberas bernama Ustaz Chudlori (bukan Kiai Chudlori Magelang). Alkisah, terdapat seorang santri nakal yang melanggar peraturan pesantren, tetapi tetap tidak mau mengakui kesalahannya. Kemudian saking geramnya Gus Sholeh memukul santri tersebut, namun orangtuanya tidak terima dan melaporkan ke polisi.
Selaku pimpinan pondok, Ustaz Chudlori mengajukan diri untuk ditahan. Ia menutupi fakta bahwa Gus Sholeh yang memukul santri tersebut. Alhasil, Ustaz Chudlori ditahan di penjara selama 15 hari, namun dibebaskan oleh Kiai Fattah Hasyim. Meski sebentar, pengalaman di sel tahanan membuat Ustaz Chudlori trauma.
Gus Dur yang mengetahui bahwa Ustaz Chudlori trauma dengan polisi, lantas berbuat usil kepadanya. Waktu itu Ustaz Chudlori masak bareng dengan santri-santri lain. Setelah masakan siap santap, tangan-tangan santri, termasuk tangan Ustaz Chudlori, telah siap untuk makan besar. Saat Ustaz Chudlori siap melahap, tiba-tiba dari kamar pondok, Gus Dur berteriak keras menyebut polisi, “Polisi, polisi, polisi.” Spontan, mendengar kata polisi, Ustaz Chudlori lari terbirit-birit mencari tempat sembunyi (hlm. 146).
Kisah keusilan Gus Dur tak hanya sampai di sini. Buku ini juga mengisahkan keusilan Gus Dur saat belajar di Mesir yang mengelap gelas untuk minuman tamunya (Gus Syukri) dengan celana dalam, kemudian diaduk pakai sikat gigi. Dan ketika di Baghdad, Gus Dur mendatangi penjual ikan meminta 20 kepala ikan besar untuk dimasak kari buat menu makan bersama 20 temannya dengan melobi ke penjual ikan, “Saya memelihara 20 anjing.”
Kisah yang tak kalah menarik mengenai kenakalan Gus Dur adalah saat mencuri ikan milik Kiai Chudlori, Pengasuh Pondok Pesantren Salaf Asrama Perguruan Islam Tegalrejo, Magelang. Gus Dur menyuruh teman-temannya menyebur ke kolam untuk mengambil ikan. Sementara Gus Dur berada di pinggir kolam dengan dalih mengawasi lingkungan sekitar, terutama sewaktu-waktu Kiai Chudlori keluar dari rumah dan melewati kolam.
Dalam kisah ini, Kiai Chudlori menjumpai kelakuan santri-santrinya di kolam, lalu mereka kabur dan tinggal Gus Dur yang masih berdiri sambil memegang ikan hasil curian. Namun, berkat kecerdikan Gus Dur, ikan hasil curian tersebut menjadi halal meski telah mengorbankan teman-temannya.
Beda lagi dengan kisah Gus Dur yang menyembelih kambing milik kiainya saat nyantri di Pesantren Tegalrejo sekitar tahun 1957-1959. Beda juga ketika bolos mengaji untuk menonton film di bioskop. Berbeda pula dengan kisah beliau yang selamat dari hukuman usai membolos. Dan masih banyak lagi kisah lain dari kenakalan Gus Dur selama nyantri.
Mungkin banyak hal yang ingin disampaikan Gus Dur dari kenakalannya tersebut, hanya saja otak kita terbatas untuk menerimanya. Namun, yang pasti, dari kenakalan Gus Dur ini, banyak orang mengambil hikmah, ibrah, pelajaran, termasuk juga menyegarkan otot dan pikiran yang kaku.
Identitas Buku
Judul Buku : Gus Dur, Santri yang Gemar Membolos
Penulis : Nur Rokhim
Penerbit : DIVA Press
Cetakan : I, April 2023
Tebal : 170 halaman
ISBN : 978-623-189-189-1