Selamat Datang Ormas Tambang

208 kali dibaca

… pemerintah yang melanggar hukumnya sendiri juga dapat dengan mudah menghancurkan dirimu. Rekan bisnismu hari ini bisa menjadi kepala penjaramu atau lebih buruk lagi keesokannya. – VS Naipaul dalam A Bend in the River.

Ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan yang memberikan pengelolaan pertambangan kepada organisasi massa (ormas) keagamaan memantik kontroversi, saya teringat pada teori dari Edward Aspinall dan cerita dari VS Naipaul. Yang pertama seorang peneliti dan ilmuwan politik dari Australia yang banyak melakukan penelitian di Indonesia. Yang kedua seorang sastrawan dan novelis dunia kelahiran Trinidad keturunan India. Melalui kacamata Aspinall dan Naipaul, kita bisa meneropong apa yang sesungguhnya terjadi dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.

Advertisements

Pemberian konsesi tambang kepada ormas keagamaan, dalam kacamata teori klientelisme politik Aspinall, bisa dikategorikan sebagai bentuk lain dari money politic atau pembelian suara (dukungan). Praktik seperti ini, berdasarkan penelitian Aspinall yang tertuang dalam buku Democracy for Sale, jamak terjadi di seluruh Indonesia, dari tingkat pusat hingga daerah. Betapa program-program pemerintah di pusat dan di daerah, betapa sumber-sumber dan akses kekayaan negara di pusat dan di daerah, dibagi-dibagikan begitu saja untuk dan demi pendulangan suara, alias untuk kepentingan politik golongan, alih-alih untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Melalui kacamata Naipaul, kemungkinan-kemungkinan apa yang akan terjadi sungguh mengkhawatirkan. Novel A Bend in the River karya Naipaul mengisahkan apa yang terjadi di Afrika Tengah pasca-kolonial. Novel itu bercerita, untuk kepentingan politik penguasa, sang penguasa selalu mengubah-ubah peraturan atau undang-undang sesuai selera dan kemauan, dan jika perlu dilanggarnya sendiri. Dengan begitu, yang hari ini menjadi kawan dalam satu barisan, lain hari bisa ditempatkan di seberang barisan sebagai lawan. Naipaul sampai berkesimpulan, pemerintah atau penguasa adalah rekan bisnis yang buruk. Sebab, ketika titah dan arah angin berubah, rekan bisnisnya akan dihancurkannya.

***

Di Indonesia, penambangan atau eksplorasi sumber daya alam memang bisnis yang sangat luar biasa menggiurkan. Karena itu, selain menjadi tulang punggung keuangan negara, wajar jika di sana juga menjadi episentrum persekongkolan dan korupsi. Belum lagi kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh eksploitasi yang tidak terkendali. Dan itulah yang selama ini terjadi. Contoh terbaru adalah kasus korupsi tambang timah di Kepulauan Bangka Belitung yang nilainya ditaksir mencapai Rp 271 triliun.

Cerita Naipaul dan teori Aspinall tersebut bisa untuk mendeteksi berbagai kemungkinan yang akan terjadi setelah terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 yang memberikan pengelolaan tambang mineral dan batubara (minerba) kepada ormas keagamaan.

Pertama, ormas keagamaan, yang selama ini menjadi pemandu moral dalam kehidupan berbangsa dan negara, kini akan turun ke gelanggang episentrum persekongkolan dan korupsi itu. Meskipun melalui apa yang disebut amal usaha (badan usaha), toh yang akan ikut menjadi pemain tetap ormas keagamaan yang menerima “perlakuan khusus” itu. Dengan posisinya yang baru sebagai pemain, apakah ormas keagamaan akan bisa istikamah dalam menjalankan perannya sebagai pemandu moral atau malah berubah menjadi pemburu rente, waktu yang akan menjawab.

Kedua, “perlakuan khusus” yang diberikan kepada ormas keagamaan itu bisa berubah kapan saja sesuai dengan selera dan kepentingan penguasa. Dalam teori klientelisme politik, ketika dukungan suara sudah tidak diperlukan lagi, maka konsesi itu bisa dicabut. Atau, seperti yang digambarkan Naipaul, ketika sudah tidak bisa lagi menjadi “rekan bisnis yang baik”, kita akan dihancurkan.

Ketiga, “perlakuan khusus” yang diberikan kepada ormas keagamaan itu bisa menimbulkan kecemburuan sosial di kalangan akar rumput yang bisa berujung pada konflik horizontal. Sebab, ormas-ormas lain yang bukan berbasis keagamaan, atau kelompok-kelompok masyarakat lain, merasa diperlakukan tidak adil sebagai sesama anak bangsa. Bahkan, kecemburuan sosial itu bisa muncul di antara ormas keagamaan seagama yang bisa berujung pada ketegangan-ketegangan sosial.

Kehadiran ormas keagamaan, seperti lazimnya ormas yang dalam terminologi sosiologis disebut non-governmental organization (NGO) atau organisasi non-pemerintah, sedari mula memang dikhidmahkan untuk kepentingan masyarakat umum, yang belum disentuh atau tidak dipedulikan oleh negara atau bukan menjadi wilayah negara. Karena itu, lazimnya sumber pendanaan ormas bukan dari negara, melainkan dari masyarakat sendiri yang tidak menjadi bagian dari negara. Karena itu, ketika misalnya negara berlaku tidak adil kepada rakyatnya, atau mengabaikan hak-hak rakyat, ormas bisa berdiri dengan gagah dan indepensen memberikan perlindungan dan pembelaan.

Namun, ketika ormas terlalu banyak “disusui” oleh negara atau penguasa, dengan konsesi tambang, misalnya, apakah ormas keagamaan akan tetap pada khidmahnya, mengurusi jemaahnya? Atau justru lebih sibuk mengurusi mainannya yang baru, tambangnya? Jika yang terakhir yang terjadi, maka selayaknya memperoleh ucapan: Selamat Datang Ormas Tambang

Multi-Page

Tinggalkan Balasan