Selawat itu ditulis tangan dengan tinta hitam di kertas kuning. Jenis kertas yang persis dengan kertas kitab-kitab di pesantren. Kemudian oleh kakek Hawa, selawat itu dibingkai dengan pigura dari rangkian kayu gaharu dan dicantolkan di dinding papan kayu ruang fasholatan[1].
Hawa hapal betul dengan wewangian yang bersumber dari pigura itu. Sejak masih bocah ia kerap salat juga bersih-bersih di ruang fasholatan. Emaknya juga sering mewanti-wanti kepadanya, “Kamu jangan teledor menjaga dan mengamalkan selawat itu, Nduk. Jika kamu sampai teledor hatimu pasti butek, hitam keruh, dan perilakumu pasti tak harum. Ingat itu, Nduk!”
Hawa ingat betul pesan itu. Kalimat keramat itu selalu diulang-ulang emaknya hingga akhir sebelum ajal Emak tiba. Kini, hanya Hawa dan Rijal, suaminya yang menempati rumah itu. Rumah peninggalan kakeknya.
Pada suatu sore, Hawa penuh hati-hati membersihkan pigura yang membingkai selawat itu. Kaca pigura yang sudah sedikit buram dan berbintik-bintik hitam. Kayu gaharu berukir itu juga sudah berdebu. Tak lagi menguar wewangian khas. Hawa lupa kapan terakhir mengelap pigura seukuran foto 10 R itu. Namun, beberapa jenak kemudian, tangan Hawa tidak lagi bergerak-gerak di pigura itu, sorot pandangannya kosong. Peristiwa kebakaran yang terjadi pada Maret tahun 1980 kembali menyusup dalam lamunan Hawa.
Kala itu, Hawa yang khidmat mengikuti proses belajar di bangku kelas satu dasar dikejutkan oleh suara riuh warga. Juga bunyi kentongan tak henti-henti membuat miris semua orang yang mendengar.
“Kebakaran! Kebakaran!”
Api membeludak dari salah satu rumah di kampung Pilang. Begitu cepat api itu meraksasa dan menjilati rumah itu. Lantas diantar angin kencang, lalu kobaran api itu sangat ganas melahap rumah-rumah warga kampung Pilang yang masih banyak berbahan anyaman bambu dan kayu. Pun belum ada aliran listrik di kampung itu. Penduduk berhasil memadamkan api dengan alat seadanya, tetapi nyaris seluruh rumah di kampung Pilang gosong dan roboh, kecuali rumah kakek Hawa yang selamat. Letak rumah kakek Hawa paling ujung di samping jembatan kecil. Jembatan pembatas kampung dengan sawah-sawah.
Mungkin karena kelekar kakek Hawa yang sering ditanya orang-orang perihal punya amalan apa atau punya azimat apa sehingga rumahnya tak tersentuh amukan api?
“Oooh, itu berkat selawat sakti.”
Dalam hitungan jam, warga kampung Pilang dan kampung sebelah minta dituliskan selawat tersebut–supaya sekeluarga selamat dari marabahaya–kehendak warga kepada kakek Hawa.
“Saya bersedia menuliskan selawat sakti itu asalkan kalian harus sanggup mengamalkannya sembilan kali setiap hari, bagaimana?” pinta kakek Hawa sebagai syarat. Orang-orang yang datang di rumah kakek Hawa mengangguk.
“Kakek. Bukankah selawat itu yang ada di ruang fasholatan?” tanya Hawa kecil yang membaca tulisan tangan kakeknya.
“Iya, Nduk.”
“Kata Emak, wangi di rumah ini bersumber dari pigura selawat itu, benarkah, Kek?”
“Benar.” Kakek melempar senyum.
“Apa Kakek yang melaburi minyak wangi di pigura itu?”
“Tidak. Kakek tidak pernah melaburi minyak wangi di pigura itu. Begini, lho, ceritanya: selawat itu pemberian Mbah Kiai Hasyim ketika kakek bersama teman-teman laskar Hizbullah siap berangkat jihad ke Surabaya. Mbah Kiai Hasyim membagikan selembar demi selembar selawat itu seraya berkata, ‘Selagi napas kita masih di kandung badan jangan sampai tidak mengamalkan selawat itu’. Hampir semua santri yang ikut bergerak ke Surabya diberi selembar bertuliskan selawat itu. Tapi ….” Kakek Hawa menjeda kisahnya. Air bening dan hangat merembas-melurik di pipi tirusnya.
“Kala itu, para pahlawan dan rakyat biasa banyak yang gugur. Enam ribu lebih. Begitu juga pada serangan mendadak dari agresi militer Belanda tahap kedua di Malang tahun 1947. Dan kakek baru mudeng titah Mbah Kiai Hasyim ketika rombongan laskar Hizbullah sampai di Surakarta. Yakni mengamalkan. Bukan sekadar membaca. Sedangkan pigura itu awalnya membingkai bendera merah putih di Markas Hizbullah Malang. Ketika Markas Hizbullah Malang roboh dan pindah Markas ke Surakarta, kekek selamatkan pigura yang membingkai bendera Merah Putih itu. Kemudian, tulisan selawat itu kakek taruh di badan bendera Merah Putih itu,” lanjutnya.
Hawa tersadar ketika petir memekakkan telinganya. Ia menghentikan gerakan tangannya yang sudah melenceng, tidak pada kaca pigura, melainkan pada kaca meja. Ia bangkit ke teras–mendongak–langit semakin gelap oleh mendung. Semoga Mas Rijal segera sampai sebelum hujan turun, harapnya dalam hati.
Semenjak Rijal menduduki kepala staf di pemerintahan daerah, ia kerap pulang terlambat, tetapi masih sebatas di awal malam.
Hawa menutup jendela, pintu, dan menyalakan lampu-lampu. Azan Maghrib mengurungkannya melanjutkan bersih-bersih pigura. Ia meninggalkan pigura selawat sakti berikut alat pembersih di meja kaca ruang tamu–hendak menunaikan salat Maghrib.
Dua jam berikutnya, hujan sudah reda, dan Hawa rampung menyiapkan makan malam berikut segelas teh jahe panas untuk dirinya. Ia menyalakan tivi, sesaat mata bulatnya memelototi tivi yang tengah memberitakan ujaran kebencian dari sesosok yang dianggap panutan oleh sebagian kaum ‘khilaf’.
“Astagfirullah … itu orang pasti salat, tetapi mengapa akhlaknya tak mencerminkan orang yang rajin mendirikan salat?” gumam Hawa.
Hawa mengempaskan tubuhnya di sofa, kembali mengelap pigura itu. Terus mengelap. Cairan pembersih kaca ia tuang begitu banyak pada pigura. Gerakan tangannya menggosok sedikit ditekan dengat ritme cepat, tetapi belum tampak hasil yang memuaskan.
Hawa mengganti kain beludru dengan sesobek baju kebaya yang sudah tak terpakai, kembali mengecrotkan cairan pembersih itu. Ia terus menggosok-gosok dengan gerakan naik-turun dan memutar-mutar. Bahkan, Hawa mengerok kaca dengan silet. Hanya sedikit yang bening kaca itu, tepat di bagian teraan titimangsa penulisan dengan harakat Arab pegon. Jika diucapkan berbunyi: Tebuireng, Rabiul Awal, 1364 H.
Hawa belum lega melihat hasil usaha melunturkan bintik-bintik hitam sejak sore tadi. Sementara di depannya, tivi itu masih saja mengoceh, memberitakan penceramah yang hobi mengujar kebencian.
“Ceramah, kok, menghujat, mengujar kebencian. Jelas orang itu tidak menjaga salatnya,” gerundel Hawa, lalu memindah saluran tivi.
Selang beberapa menit, terdengar klakson mobil. Hawa bangkit, lalu menyibak gorden jendela. Mobil siapa malam-malam begini berhenti di depan, batinnya. Panah pandang mata Hawa melesat ke arah jam dinding yang kedua jarum berwarna putih bertumpang tindih di angka 9. Sepasang mata Hawa kembali fokus pada mobil itu. Dua kali klakson berbunyi, dan ternyata Rijal yang keluar dari mobil kempling[3] itu. Hawa bergegas membuka pintu.
“Mas, itu mobil punya siapa?” tanya Hawa setelah menyambut suaminya.
“Punyaku. Punya kita … lihat platnya saja masih putih,” jawab Rijal menyandarkan punggungnya di sofa.
“Lha, motor, Mas?” selidik Hawa berlanjut ngeloyor ke dapur menyiapkan air panas untuk mandi suaminya. Rijal biasanya lebih memilih naik motor daripada mobil dinas, plat merah.
***
Pukul dua puluh satu mereka berdua menikmati hidangan makan malam. Secangkir kopi jahe juga diseduh Hawa untuk suaminya.
“Dik,”
“Iya, Mas.”
“Pigura di meja depan bukannya pigura selawat sakti?”
“Iya, betul. Kenapa, Mas?”
“Kok, buram dan tidak wangi.”
“Tapi, masih bisa terbaca selawatnya, toh?”
“Kalau pembacanya tidak hapal selawat yang selalu kita baca setiap duduk tasyahud[2], ya, bacanya tersendat-sendat atau malah tidak bunyi. Sebab tertutup bintik-bintik hitam,” komentar Rijal.
“Makanya itu, Mas. Sejak tadi sore aku bersihkan, aku kerok pakai silet juga. Tapi, hanya selarik yang bening, selebihnya tetap buram dan tidak wangi. Sebel!”
“Ganti kacanya saja,” saran Rijal.
Hawa tersedak dan batuk-batuk, lantas meminum air putih.
“Apa, Mas lupa dengan pesan Emak?”
“Tidak. Apakah mengganti kaca yang sudah tidak layak dengan kaca yang baru itu perbuatan merusak? Aku rasa tidak. Malah, itu perbuatan menjaga.”
“Jika kita ganti kacanya, apakah akan kembali wangi?” Hawa balik tanya. Rijal hanya mendengus dan geleng-geleng.
“Mas!” panggil Hawa dari depan kulkas.
“Ya.” Rijal menghentikan gelas di depan mulutnya.
“Mas, kan, sering balik dari kantor petang dan waktu Maghrib masih di jalan karena macet, sampai rumah jamaah Isya sudah rampung, itu artinya ….”
“Tidak saat Maghrib! Kamu mendikte salatku, toh!” sahut Rijal keras.
“Bukan itu maksudku.”
“Lantas!”
“Selama ini, kita berdua selalu jamaah salat Isya dan jamaah Subuh, tetapi Maghrib ….”
“Sudah, sudah! Aku tahu arah omonganmu!” bentak Rijal memotong kalimat istrinya, terus kabur keluar. Di luar Rijal menutupi mobil dengan body cover.
Rampung menyelimuti mobil, Rijal berseru kepada Hawa untuk mengambilkan rokok dan kopi jahe yang belum sempat ia nikmati.
“Mas, mobil itu kreditkah?” selidik Hawa seraya menaruh wedang dan sebungkus sigaret filter di meja, lantas ikut duduk di teras. Rijal menjawab setelah menyeruput wedang dan menyulut sebatang rokok.
“Semua surat-surat lengkap dengan faktur pembayaran lunas. Tuh, ada di tas hitamku.”
“Itu mobil mewah, lho, Mas?”
“Iya, kenapa?” jawab Rijal sambil menikmati rokoknya, sorot matanya ke depan, fokus ke mobil.
“Mas, ti … tidak korupsi, kan?” tegur Hawa sedikit gemetar. Rijal terentak, matanya spontan mendelik ke arah istrinya.
“Asal kamu tahu, ya! Sudah sewajarnya, jika aku sebagai pimpinan staf di pemerintahan daerah yang juga punya wewenang mutlak untuk memutuskan kontraktor mana atau PT apa yang memenangkan tender proyek peremajaan jalan raya, cor beton, dan pembangunan GOR pada tahun ini. Sebagai rasa terima kasih kontraktor yang terpilih, maka aku dikasih kompensasi berupa mobil mewah itu. Apa itu namanya korupsi, hah!”
“Tidak. Tetapi itu penyuapan,” protes Hawa.
“Penyuapan bagaimana! Itu aturan sah sejak zaman bahula. Coba kamu minta stempel ke kantor instansi pemerintah. Pasti kamu akan meninggalkan amplop, meskipun dua puluh ribu isinya!” kelit Rijal dengan dada naik-turun, “Sudah, sana masuk!”
Hawa membisu, melangkah masuk rumah dan hendak memberesi pigura berikut peralatan pembersih yang berserakan di meja. Namun, ia tercengang, kedua matanya nanap saat melihat kaca pigura itu kian banyak bintik-bitik hitam. Hitam yang gelap. Tidak terlihat lagi bendera Merah Putih dan tulusan selawat sakti.
Demak, 2021.
Kosa kata:
- Kamar / ruang khusus untuk salat di dalam rumah.
- Tasyahud (duduk tawaruk atau duduk di akhir salat )
- Kempling (mengkilat, anyar gres, terbaru).
Kalimat yang terakhir indah, meskipun ada salah tulis. Mantab!
Pak @Rusrdi El Umar, Terima Kasih atas apresiasinya.