Sepenggal Kisah Putri Tukang Becak

345 views

Pak Rusdi menghentikan becaknya tidak jauh dari gerbang sekolah. Tatapan matanya segera meredup melihat ekspresi wajah anaknya yang murung. Padahal, ketika bertemu biasanya dia selalu menyapa ayahnya itu dengan senyuman. Bahkan kemarin dia meloncat-loncat kegirangan begitu melihat dirinya meraih nilai UN terbaik di sekolahnya.

“Kenapa kok murung, Nduk? Katanya kemarin kamu jadi juara, kok sekarang malah murung begitu?” pertanyaan Pak Rusdi diiringi rasa khawatir. Gadis kecil bernama Fastabiqul Khoirot itu seperti tidak mendengar pertanyaan ayahnya. Dia segera duduk di becak dan tetap membisu. Muka masamnya semakin kentara.

Advertisements

Setibanya di rumah, gadis kecil itu segera merebahkan tubuhnya di kasur kamarnya. Melihat tingkah anaknya yang tidak seperti biasa itu, Bu Alini mengerutkan dahi dan kemudian menyusul putrinya ke kamar. Fasta adalah sumber kebahagiaan bagi keluarga itu. Jika dia sedang berduka, maka sumber kebahagiaan itu telah redup. Dan redup pulalah cahaya kebahagiaan dalam keluarga itu.

“Kenapa, Nduk? Kok langsung tiduran?” tanya Bu Alini sambil duduk di sampingnya. Sepatu yang masih menggantung di kaki gadis itu dilepaskannya. Fasta tidak menyahut pertanyaan ibunya itu. Dia juga membiarkan ibunya melepaskan sepatu yang masih membungkus telapak kakinya. Kepalanya memeluk bantal. Muka gadis itu tenggelam ke dalamnya.

“Makan dulu Nduk. Nanti nasinya keburu dingin lho.”

Dan Fasta masih saja mendiamkan ibunya. Ibu muda itu menarik napas dalam-dalam.

“Fasta nggak lapar? Tadi makan apa di sekolah?”

“Makan angin.” Jawab Fasta ketus.

“Kok makan angin to Nduk? Sekarang makan dulu ya? Ibu masak ikan tongkol kesukaanmu lho.”

Gadis kecil itu tidak juga memberikan respons.

“Fasta sakit?”

Gadis itu menggeleng.

“Fasta nggak mau sekolah di sini,” tiba-tiba gadis itu bersuara. Suaranya tidak jelas karena wajahnya masih tenggelam ke dalam bantal.

“Apa Nduk? Bangun dulu dong biar suaranya jelas. Ibu kan tidak dengar kalau Fasta suaranya seperti itu.”

“Fasta nggak mau sekolah di MTs Al Barokah.”

“Lho kenapa kok tidak mau? Bukannya kemarin sudah didaftarkan gurumu ke sana? Di sana itu kamu nggak bayar lho Nduk, gratis. Ayah nggak perlu repot-repot mencarikan biaya untukmu lagi. Apalagi letaknya dekat. Ayah bisa antar-jemput kamu setiap hari. Kalau ke tsanawiyah negeri itu jauh. Fasta harus tinggal di kota. Nggak setiap hari bisa bertemu ibu dan ayah.” Bu Alini menjawab dengan lembut apa yang dilontarkan anaknya itu.

Gadis itu tidak menjawab. Tapi tidak berapa lama kemudian dia sesenggukan. Bu Alini mulai mengerti permasalahan anaknya. Ia lantas mengelus-elus punggung anak kecil itu. Mencoba menghibur kegelisahannya.

Tiba-tiba pintu kamar itu berderit. Pintu berbahan triplek itu kemudian mengeluarkan suara mirip kambing tercekik. Pak Rusdi mengintip anak dan istrinya dari celah pintu itu.

Fasta tengah berbaring. Anak kecil itu sedang berbicara sesuatu dengan ibunya. Langkah kaki Pak Rusdi terhenti di tengah pintu lagi. Lalu terdengarlah percakapan mereka.

“Aku tidak ingin sekolah di tsanawiyah negeri, Bu,” kata Fasta lirih. Tangisnya sudah mereda tapi sisa air matanya masih menggenang di pelupuk mata. Membuat matanya yang jernih itu berkilauan. Napasnya pun masih tersengal. Anak itu berbaring dengan kepala di pangkuan ibunya. Sang ibu mengelus rambutnya yang tumbuh lebat.

“Lalu kamu ingin meneruskan sekolah di mana sayang?”

“Di Jombang, Bu. Fasta ingin sekolah di pesantren sambil menghafal Al-Qur’an. Teman-teman Fasta banyak yang belajar ke sana juga Bu.”

Mendengar ucapan anaknya itu Pak Rusdi terpaku di tengah pintu.

* * *

“Bagaimana, Ta? Kamu sudah bilang pada ayahmu?” tanya Salma di suatu sore sambil melangkah pulang dari TPQ.

“Bilang apa, Ma?” Fasta menjawab pertanyaan sahabatnya itu dengan memberikan petanyaan balik. Pelan langkahnya serta kepalanya yang tertunduk mengisyaratkan kegalauan pikirannya.

“Kamu gimana, sih? Yang kita bicarakan kemarin, Ta. Katanya kamu pingin hafalan Qur’an juga? Sayang Ta kalau nggak diterusin. Kamu kan tinggal nambah dua puluh sembilan juz lagi? Aku yang belum hafal satu juz pun saja mau melanjutkan ke sana.” Salma berbicara sambil memegang pundak Fasta. Mencoba menyalurkan semangat yang dimilikinya. Namun Fasta masih tetap saja tertunduk. Dia melangkah pelan membawa diamnya.

“Ta!!! Kamu denger aku ngomong nggak sih?”

“Denger Ma! Aku belum budek!

“Kalau denger jawab dong?” Salma menurunkan volume suaranya. Merasa takut melihat Fasta yang biasanya kalem itu beteriak.

“Aku harus jawab bagaimana Ma? Kamu kan tahu, ayahku hanya seorang tukang becak. Mau narik sehari seratus orang pun belum tentu bisa bayar uang masuknya. Apa bedanya antara bilang mimpiku itu dan tidak padanya?”

“Jadi kamu nggak bilang?” Salma bertanya lagi. Kali ini suaranya semakin lirih.

“Ke ayah nggak. Ibu iya.”

“Kan yang kerja ayahmu Ta. Kenapa bilangnya malah ke ibumu?”

“Bilang ke ayah hanya menambah bebannya saja Ma. Aku nggak tega. Terlalu banyak yang harus dipikirkannya. Setidaknya ibu bisa mendoakanku. Walau kerja ayahku biasa saja tapi doa ibuku luar biasa. Doa ibu pada anak adalah doa yang mustajab. Hanya itu yang bisa kulakukan kini.”

Mendengar jawaban Fasta seperti itu Salma terdiam. Dia bingung harus bilang apa. Kemudian keduanya melangkah pulang diiringi diam. Hanya ketepak kakinya ketika menjejak aspal suara yang terdengar oleh telinga mereka. Di atas sana langit senja sedang muram. Sang matahari yang biasanya membuat cerah merona sedari tadi siang tidak menampakkan diri. Mendung sedang mengurung hamparan langit di balik tebal sayapnya yang kehitam-hitaman.

* * *

Fasta bangkit dari tidurnya. Dari kamar ia mendengar percakapan antara kedua orang tuanya. Maka terdengarlah betapa sulit kehidupan keluarganya kini. Gadis kecil itu merasa kasihan pada orang tuanya. Namun, di balik rasa kasihan itu ada keinginan yang tidak dapat dibendung. Matanya yang masih jernih itu berkaca-kaca.

Kenyataan yang tidak sejalan dengan keinginannya itu membuat tubuhnya sakit. Karena keadaan semakin parah akhirnya Pak Rusdi dan Bu Alini membawanya ke rumah sakit. Dan Fasta sadar bahwa keinginannya semakin jauh dari kenyataan yang dihadapi. Anak kecil itu hanya bisa berdoa. Ayah dan ibunya silih berganti menjaga dirinya di rumah sakit. Teman-temannya juga banyak yang menjenguknya. Salma dan Tania adalah dua teman Fasta yang melanjutkan belajar ke pesantren. Mereka juga menjenguknya. Mereka sempat membincangkan rencana belajar di pesantren. Dan itu semakin membakar keinginannya. Air mata sering menetes tak tertahan menyadari kenyataannya sekarang begitu sulit.

Berlalunya waktu seiring perubahan keadaan membawa perubahan pula pada kesehatan Fasta. Gadis kecil itu berangsur-angsur sehat.

* * *

“Jadi bagaimana Dok? Pengobatan seperti apa yang bisa menyembuhkan putri saya?” tanya seorang lelaki mendapati seorang dokter keluar dari ruang operasi.

Belum sempat pertanyaan itu dijawab, lelaki berpenampilan necis itu tiba-tiba menabrak seorang gadis kecil yang berjalan gontai di depannya. Lelaki itu berjalan dengan pikiran tidak karuan karena keadaan kritis anaknya. Pikiran yang sedang tidak fokus membuatnya tidak melihat ada anak kecil berjalan di depannya. Dia sedang mengejar informasi dari dokter yang merawat anaknya.

Anak kecil yang sedang berjalan sambil mendorong tiang infus itu jatuh tersungkur. Lelaki itu segera menyadari kesalahannya. Ia menolong gadis kecil itu.

“Kamu mau ke mana, Nak?” tanyanya setelah meminta maaf.

“Ke mana orang tuamu, Nak?” tanya dokter itu pula.

Gadis itu hanya menggeleng mendapati pertanyaan yang bertubi-tubi. Karena anak itu tidak segera menjawab pertanyaannya akhirnya dokter itu memeriksa kesehatannya. Ternyata anak itu sudah tak perlu dikhawatirkan lagi kesehatannya. Setelah keadaannya membaik, anak itu pun mau menjawab pertanyaan mereka. Dia sedang menunggu ibunya yang harus pulang untuk memasak makanan untuk dirinya. Sedangkan, ayahnya sedang bekerja. Menarik becak.

Akhirnya lelaki itu kembali meneruskan perbincangan dengan sang dokter. Bocah itu juga masih berada di situ. Di kursi ruang tunggu.

“Harus ada orang yang mendonorkarn ginjalnya Pak. Kita usahakan dulu. Semoga ada stok kita minggu ini,” kata dokter itu lirih.

“Itu pun kalau Bapak setuju ginjal putri Bapak ditransplantasi. Dan bapak tentu harus siap dengan biaya yang tidak sedikit,” lanjutnya lagi.

“Iya Dok, saya insaallah siap berapa pun biayanya. Tolong usahakan ya, Dok, demi nyawa putri saya,” pinta lelaki itu memelas.

Dokter itu menarik napas dalam-dalam kemudian mengangguk pelan. Tak lama kemudian keduanya berpisah, diakhiri dengan saling berjabatan tangan. Sang dokter bergegas melangkah menuju ke ruangannya. Dokter muda itu memutar otaknya untuk mencari solusi. Tangannya kemudian sibuk memencet keypad HP. Menghubungi nomor relasinya. Tiba-tiba pintu ruangannya diketuk. Pikirannya yang berselancar dengan berbagai urusan kini segera terpusat pada pintu itu. Setelah menyuruh masuk, pintu itu segera terbuka. Dokter itu kaget melihat yang datang adalah seorang bocah. Otaknya yang cerdas masih sangat ingat, dia adalah anak yang baru saja ditolongnya. Ia terheran-heran mengapa anak kecil itu datang menemuinya?

* * *

Sore itu Pak Rusdi merasa begitu payah sepulang narik becak. Wajahnya lesu karena menyadari pendapatannya hari ini belum cukup untuk sekadar biaya perawatan anaknya di rumah sakit. Ia mengayuh becaknya perlahan menuju rumah sakit. Ketika sampai di kamar tempat anaknya dirawat, terkejutlah dia mendapati istrinya menangis tersedu di samping anaknya yang terbaring diam.

“Kenapa dengan anak kita, Bu?” tanya Pak Rusdi tergopoh-gopoh.

“Fasta Pak, Fasta….”

“Kenapa Bu? Ada apa dengan Fasta? Kenapa dia pingsan?”

“Fasta menjual ginjalnya Pak. Tadi ada seorang dokter yang datang ke sini. Katanya dia melakukannya supaya bisa melanjutkan sekolah.”

“Kenapa Ibu sampai tak tahu? Kenapa ibu membiarkannya?”

“Aku masih masak di rumah Pak. Tahu-tahu dia sudah seperti ini ketika aku tiba.”

Suami istri itu kemudian terdiam. Menyelami keadaan yang terpampang di depannya dengan perasaan bingung.

“Tapi Bapak nggak usah terlalu kawatir,“ Bu Alini berkata setelah lama terdiam. “Sebentar lagi dia akan sadar. Sekarang sebaiknya Bapak pergi ke rumah Haji Ali untuk bertanya bagaimana caranya mendaftar ke Pesantren Al-Hidayah sebelum pendaftarannya tutup. Jangan sampai pengorbanan Fasta sia-sia. Dokter tadi menasihatiku seperti itu Pak,” kata Bu Alini kemudian. Matanya sayu menatap sang suami.

Mendengar ucapan istrinya itu Pak Rusdi terdiam sambil memandangi anaknya yang terkulai lemas di pembaringan. Matanya berkaca-kaca. Setelah mencium keningnya, lelaki itu melangkah pergi. Menuruti nasihat istrinya untuk menyadur kembali mimpi anaknya melanjutkan sekolah di pesantren. Ketika langkah kakinya sampai di tengah pintu, ia berhenti. Ditolehnya lagi putri satu-satunya itu. Wajah gadis itu putih bersinar. Dari bibir mungilnya seolah-olah merekah seulas senyuman yang menguatkan hatinya. Lelaki itu terharu. Kemudian mengutuki dirinya sendiri yang tidak bisa memberikan apa yang diinginkannya. Karena semata-mata ketidaksanggupannya melaksanakan tanggung jawab sebagai seorang ayah-lah putrinya itu kemudian menggadaikan ginjalnya, demi meraih cita-cita.

“Betapa putih hatimu, Nak. Maafkanlah ayahmu yang tidak bisa berbuat apa-apa ini,” gumam lelaki itu dalam hati sambil melangkah pergi.

“Mau ke mana Pak?” tanya seseorang yang berpakaian dokter ketika Pak Rusdi baru melangkahkan kaki keluar ruangan. Di belakangnya ada lelaki pejabat kemarin.

“Mau pulang dulu, Dok. Ada apa ya?” tanya Pak Rusdi, wajahnya mengisyaratkan kecemasan yang luar biasa.

“Apa Bapak ini ayahnya Fasta?” tanya Dokter.

“Iya … Pak… eh Dok.” Pak Rus semakin panik

“Jadi begini Pak. Kemarin anak bapak menemui saya dan bilang mau mendonorkan ginjalnya. Menjualnya maksud saya. Katanya dia sedang sangat membutuhkan uang untuk melanjutkan sekolahnya, sedangkan orang tuanya sedang sakit. Sebenarnya saya tidak berani melakukan operasi itu tanpa ada orang tuanya. Namun, di sisi lain ada Bapak Heri ini yang sedang membutuhkan ginjal itu untuk kesembuhan anaknya. Pak Heri kemudian memaksa saya untuk mengambil ginjal anak Bapak. Sebenarnya saya masih bingung, namun akhirnya saya mau melakukan operasi itu juga. Saya sudah sempat membiusnya. Namun Tuhan memang sedang memerankan skenarionya. Saat itu pula tiba-tiba terdengar kabar putri Bapak Heri yang menderita gagal ginjal itu meninggal dunia. Akhirnya saya tidak jadi melanjutkan operasi itu.”

Mendengar penuturan dokter itu, Pak Rusdi hanya terdiam. Bingung harus menanggapi bagaimana. Bahkan dia tidak paham kabar itu apakah baik baginya ataukah tidak.

“Nah, atas kebaikan anak Bapak, saya bermaksud untuk membiayai sekolah anak Bapak. Sebagai penghargaan saya atas perjuangan dan kebaikannya. Ya sudah Pak. Saya mau pergi dulu,” kata lelaki bernama Heri itu. Matanya masih sembab. Bekas air mata menangisi kepergian anaknya.

“Semoga putri Bapak bisa meraih cita-citanya Pak,” kata sang Dokter sambil menjabat tangan tukang becak itu.

Pak Rus masih terbengong ketika dua lelaki itu telah sekian langkah meninggalkan dirinya. Dia terlambat memahami keadaan. Namun, kemudian dia segera tersenyum menyadari peristiwa ini. Terucaplah takbir dari mulutnya yang kering karena terlalu lama menganga itu. Langkahnya kemudian bergegas menuju kamar inap putrinya didorong oleh rasa bahagia yang tiba-tiba menguar dari kedalaman hatinya.

Wel-Wel, Simeulue, 24-11-2015

Multi-Page

Tinggalkan Balasan