Sepintas Gegar Budaya dan Ihwal Kecanggungan Berbahasa

243 kali dibaca

Teringat kembali, sekitar pertengahan tahun 2013, untuk pertama kalinya saya mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. Dengan sebuah tas cangklong dan koper berukuran sedang, saya berjalan menuju terminal Damri untuk jadwal keberangkatan menuju Terminal Lebak Bulus. Tak berselang lama—setelah beberapa sopir taksi berupaya menawarkan jasanya, tetapi dengan halus saya tolak—sebuah bus dengan kaca depan bertuliskan Bandara—Lebak Bulus tiba, saya bergegas mencari tempat duduk yang kosong.

Sepanjang perjalanan, saya tidak henti melihat ke luar kaca. Ada dunia lain yang bekerja di luar sana. Sebagai ‘seorang udik’ yang datang dari pulau seberang, saya dibuat heran dengan banyak hal; jalan-jalan mulus bertingkat, gedung-gedung besar penuh cahaya, kemacetan yang seolah tak berujung, juga orang- orang di sekitar saya yang bercakap dengan ‘elu-gue’. Saya seperti berada dalam dunia rekaan yang ganjil, sebab semua hal yang saya alami, sebelumnya hanya dapat saya saksikan di televisi dan media sosial.

Advertisements

Kecanggungan semacam ini merupakan hal yang lumrah, saya tentu tidak sendiri. Para pendatang lain pun, terutama yang berasal dari daerah, pasti akan mengalami pengalaman serupa. Keudikan tersebut lambat laun menghilang seiring waktu. Tidak sebentar, perlu banyak penyesuaian memang, hingga pada akhirnya kita dapat menjadi bagian dari ‘masyarakat baru’ yang hidup dan berbaur di perkotaan.

Upaya adaptasi pun dilakukan, salah satunya dalam hal komunikasi. Sejak kecil hingga lulus pesantren, saya tidak pernah sekalipun diajarkan oleh orang tua atau para guru—karena kami terbiasa menggunakan bahasa Melayu Banjar—untuk menggunakan kata ganti ‘elu-gue’ dalam percakapan sehari-hari. Namun, semasa kuliah, pada akhirnya saya turut menggunakan kata ganti tersebut agar dapat lebih luwes dalam berinteraksi kepada sesama sejawat sehari-hari.

Bisa dibayangkan, jika saya bersikeras menggunakan kata ganti ‘saya’ atau ‘aku’ dalam pergaulan sehari-hari ketika berinteraksi dengan karib dekat. Terkesan formalistik dan berjarak, bahkan cenderung kaku. Anasir persahabatan yang memiliki kesan cair dan santai, seketika dapat menciptakan tembok tinggi.

Belakangan, saya memahami, bahwa apa yang saya alami merupakan bagian dari Gegar Budaya.

Gegar Budaya dalam The Silent Language

Berdasarkan uraian dalam sebuah jurnal penelitian berjudul, Analytical Theory: Gegar Budaya (2020), yang diuraikan Sabrina Maizan, dkk, gegar budaya merupakan reaksi emosi terhadap perbedaan budaya yang tidak terduga dan kerap terjadi kesalahpahaman pada pengalaman yang berbeda. Kesalahpahaman itu pun mengakibatkan munculnya perasaan tidak berdaya, mudah terpancing emosi, takut akan dibohongi dan dilukai, serta diacuhkan.

Teori gegar budaya sendiri pertama kali dicetuskan pada tahun 1959 oleh Edward T. Hall, seorang Antropolog Amerika, dalam bukunya The Silent Language sebagai sebuah gangguan pada semua hal yang biasa dihadapi di tempat asal menjadi sangat berbeda dengan hal yang dihadapi di tempat baru dan asing.

Di dalam buku tersebut, Hall mengatakan bahwa setiap yang dilakukan oleh makhluk hidup di muka bumi ini pasti mengalami tahapan kehidupan yang pasti akan dilewatinya, yang berbeda dari satu tempat dengan tempat lainnya, tidak terkecuali dengan fenomena gegar budaya yang dialami oleh setiap individu. Setiap orang akan mengalami kebingungan saat pertama kali berpindah dari daerah satu ke daerah lainnya. Kemudian ia mengalami beragam perbedaan signifikan dengan daerah asalnya. Hall menjabarkan  secara singkat tahapan tersebut dalam empat proses:

Pertama, tahap bulan madu, fase ini ditandai dengan perasaan bahagia saat di mana seseorang tiba di sebuah lokasi atau tempat baru. Ia membayangkan, bahwa tempat barunya akan memberikan pengalaman dan hal-hal yang menyenangkan. Dalam hal ini, kita bisa mengambil contoh seorang mahasiswa dari dusun antah berantah yang bersemangat menempuh pendidikan tinggi di Ibukota. Dengan penuh sukacita ia menata kamar kosnya, membeli perabotan baru, dan membayangkan ruang kelas yang menyenangkan.

Kedua, tahap krisis, yakni munculnya perasaan tidak berdaya karena perbedaan signifikan dengan daerah asalnya. Perbedaan latar belakang bahasa, tradisi, sosial, dan faktor lainnya yang dirasakan si mahasiswa baru menjadi alasan munculnya ketidaknyamanan tersebut. Namun, hal ini biasanya tidak berlangsung lama, tergantung kemampuan si mahasiswa untuk segera mengatasinya melalui penyesuaian diri yang baik. Asal tidak cerewet dan bersikap terbuka, fase ini akan mudah ia lalui.

Ketiga, tahap penyesuaian, si mahasiswa baru mulai membangun interaksi positif dengan lingkungan barunya. Ia sudah mulai pandai berbaur, terbiasa dengan budaya baru, serta fasih menggunakan bahasa setempat. Ia juga sudah pandai menyikapi perbedaan di lingkungannya. Fase ini merupakan hal terpenting dan menjadi penentu baginya untuk menghadapi tahun-tahun yang akan ia lewati setelahnya.

Keempat, tahap dwikebudayaan, fase terakhir di mana si mahasiswa merasa nyaman dengan kedua budaya dan bahasa yang dimilikinya. Hal ini menunjukkan keberhasilannya melewati tantangan adaptasi. Namun sayangnya, ada pula sebagian mereka yang terlalu mengagungkan budaya dan bahasa asing sehingga merasa menjadi ‘orang baru’ ketika kembali ke kampung halamannya.

Imigran Amerika di Brazil

Teori Gegar Budaya yang dilahirkan Hall ini, setahun kemudian, semakin diperkuat dengan penelitian lapangan yang dilakukan oleh Kalervo Oberg, seorang antropolog dan ahli etika asal Kanada, dengan menggambarkan respons perasaan stres atau kecemasan serta adanya ketidakmampuan yang dialami oleh individu dalam lingkungan barunya, yang mana ketidakmampuan tersebut terjadi pada kognitif, sehingga menyebabkan gangguan pada identitas.

Penelitian terkenal Kalervo Oberg yang mengharumkan namanya sebagai Antropolog adalah penelitian mengenai fenomena gegar budaya yang dialami oleh imigran Amerika yang bekerja sebagai teknisi di Rio, Brazil. Di mana para imigran baru ini belum pernah sama sekali memiliki pengalaman tinggal di luar negeri sebelumnya. Dengan ketekunannya yang penuh kesabaran, Oberg mencatat adanya pola umum dalam sindrom gegar budaya yang dialami oleh imigran tersebut.

Penelitian itu terangkum kurang lebih begini: pada awalnya, para imigran tersebut merasa senang ketika diberi tugas di negara Brazil. Namun, rupanya kesenangan itu tidak berlangsung lama, mereka mengalami transisi cepat menuju fase depresi. Mereka cenderung merasa kecewa, sering memberikan kritik yang keras terhadap budaya Brazil, dan mulai memiliki kesadaran akan masalah kesehatan. Mereka melihat bahwa orang-orang Brazil meiliki gaya hidup serampangan, tidak sehat. Oberg mengamati fenomena ini secara informal dengan mendiskusikannya bersama istri-istri imigran Amerika dalam suatu klub di Rio de Janeiro.

Penelitian yang dilakukan oleh Oberg di atas setidaknya menjelaskan aspek lain gegar budaya, di antaranya; (1) Adanya ketegangan karena upaya untuk beradaptasi secara psikologis, (2) Rasa kehilangan terhadap teman, status, profesi, dan harta. (3) Ditolak atau menolak anggota budaya baru, (4) Kebingungan dalam peran, harapan dan nilai. (5) Cemas hingaa jijik dan marah saat menyadari adanya perbedaan budaya, (6) Adanya perasaan tidak berdaya karena kurang atau bahkan tidak mampu dalam mengatasi lingkungan baru.

Gegar Kebudayaan, Sebuah Keniscayaan

Walhasil, dari uraian singkat di atas, dapat dipahami bahwa gegar budaya merupakan hal yang lazim dirasakan  dan dialami oleh siapa pun. Dengan berpikiran terbuka dalam menerima perbedaan, membuka diri seluas-luasnya terhadap pengalaman baru, serta memperbanyak sosialisasi, akan memudahkan kita untuk beradaptasi dan merasa nyaman dengan lingkungan baru.

Penyesuaian ini, tentu bisa diawali dengan cara kita berbahasa. Bahasa, merupakan senjata utama untuk dapat terhubung kepada manusia lain secara langsung. Sehingga kita tidak perlu kaget, jika di ibukota dan sekitarnya, mendengar “elu-gue” diucapkan dengan dialek medok ala jawa atau mengayun seperti logat melayu. Sebab, mereka berupaya untuk dapat menjadi bagian ‘dunia baru’ yang sedang mereka jalani.

Sumber Bacaan:

Edward. T. Hall (1959). The Silent Language. New York: Doubleday.

Kalervo Oberg (1960). Symptoms of Culture Shock. Practical Anthropology.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan