Justru setelah berkurban, Kaban merasa terteror oleh mimpi buruk. Bahkan hingga Hari Raya Kurban telah lama berlalu, mimpi buruk itu selalu menindih-nindih yang membuat Kaban tak bisa tidur nyenyak.
Pertama kali mimpi itu datang sekitar dua pekan setelah hari pemotongan hewan kurban, ketika irisan daging terakhir telah ludes disantap. Dan mimpi itu rutin mengunjungi tidurnya, dan kemudian ia menceritakannya kepada istrinya.
***
Kaban kaget bukan kepalang ketika malaikat menyerahkan seekor hewan kepadanya.
“Ini kendaraan keluargamu menuju surga.”
Kaban bengong sebentar, lalu menggeleng, “Ini bukan sapi kami.”
“Iya, bukan. Pasti salah alamat,” istrinya menimpali.
“Ini pasti sapi orang lain. Ini sapi yang tertukar,” Kaban mengimbuhi.
“Mana ada Tuhan membuat kesalahan,” jawab malaikat.
“Tapi sapi yang kami beli untuk kurban tidak seperti ini. Kami membeli sapi yang sangat mahal. Gemuk dan sehat. Sangat berdaging. Warnanya kuning keemasan. Bersih berkilau dan mulus. Seperti sapi persembahan kaumnya Nabi Musa. Sungguh, tidak seperti ini,” kata Kaban mundur selangkah sambil menunjuk sapi di depan matanya dengan pandangan sinis.
“Iya, aku saksinya. Saat membeli, aku juga ikut,” istrinya menimpali.
“Sapi kami mirip-mirip seperti itu,” kata Kaban sambil menunjuk sapi lain yang dikendarai keluarga lain yang sedang melintas tak jauh darinya. “Tidak seperti ini!”
Kaban terlihat begitu bergidik melihat sapi di depan matanya. Sapi itu terlihat begitu kurus, nyaris tak berdaging. Yang tersisa hanya tulang belulang yang terbungkus kulit yang kering dan kusam. Bahkan, ekornya pun terlihat sangat keriput dan tak berambut. Yang paling membuat Kaban keheranan, sapinya tidak punya kepala! Wujud sapi itu hanya terdiri dari badan yang kurus dan kaki-kaki yang ringkih.
“Jika benar ini sapi kami, lalu ke mana kepalanya?” tanya istri Kaban.
“Kepalanya sudah kalian bakar sendiri. Lalu kalian santap bersama teman-teman pilihan kalian sendiri. Kalian merasa itulah pesta kalian.”
Kaban dan istrinya saling berpandangan, kemudian berpegangan tangan.
“Tapi jika benar ini sapi kami, kenapa menjadi kurus kering begini? Kenapa hanya tersisa tulang-tulangnya? Kenapa kakinya begini kecil, ringkih, nyaris tak berdaging?” tanya Kaban.
“Mungkin kalian lupa, daging-daging terbaik dari sapi itu telah kalian pilah-pilah sendiri, kemudian kalian masak sendiri. Ada yang kalian bikin rendang. Ada yang kalian bikin dendeng. Ada yang kalian bikin sup. Ada yang coba-coba kalian bikin steak. Entah kalian bikin apalagi. Kemudian, semuanya kalian makan sendiri. Kalian nikmati sendiri. Sampai perut kalian kembung.”
“Tapi menurut ahli fikih kami, kami boleh mengambil sepertiga dari daging hewan kurban kami untuk kami makan sendiri,” kata Kaban.
“Memang boleh. Tapi tidak harus, bukan?”
“Berarti kami tidak salah. Kenapa sapinya jadi berubah wujud begini?” istri Kaban menimpali.
“Tapi dengan cara bagaimana kalian memilah-milah dan memilih-milih daging terbaik untuk kalian makan sendiri, itu sama artinya yang dibagikan kepada mereka yang berhak menerima hanyalah sisa-sisa. Remah-remah.”
Kaban dan istrinya tetap saling berpegangan tangan, tapi kini keduanya tertunduk lesu, tidak berani menatap sapi di depan matanya.
“Bayangkan, orang-orang yang fakir miskin itu, yang tak jauh dari rumah kalian, yang nyaris tak pernah memperoleh asupan bergizi karena tak pernah mampu membeli daging terbaik, yang berharap banyak di Hari Raya Kurban, hanya kebagian remah-remah. Ibaratnya, mereka hanya merebus atau membakar tulang yang di sana-sini ketempelan daging. Atau mereka hanya kebagian mengunyah daging liat yang mengandung banyak lemak. Fakir miskin yang uzur tak akan berani mengunyah daging-daging liat itu. Jika untuk dinikmati sendiri, buat apa kalian berkurban?”
Kaban dan istrinya terdiam. Tubuh mereka mulai gemetar. Sementara sapinya diam menunggu, terlihat seperti patung.
“Ayo, kendarai hewan kurbanmu,” perintah malaikat memecah kesunyian.
“Dengan kaki-kaki seringkih itu, tanpa mata dan tanpa kepala, bisakah sapi ini mengantar kami ke surga?” tanya Kaban menunjuk sapinya dengan tangan gemetar.
***
Selalu, mimpi Kaban berakhir sampai di situ. Pertanyaan yang sama selalu menjadi penutup mimpinya. Padahal, yang dia inginkan adalah jawaban malaikat atas pertanyaannya itu. Kaban butuh kepastian, agar mimpi itu tidak terus menerornya.
“Aku jadi ketakutan setiap mau tidur seperti ini. Takut mimpi seperti itu datang lagi, dan tanpa jawaban,” kata Kaban kepada istrinya yang berbaring di sampingnya.
“Siapa tahu malam ini mimpimu semakin panjang, sampai malaikat memberi jawaban,” sahut istrinya. “Ayo, tidurlah…”