Setelah Ketukan Pintu Terakhir

6 views

Ia tidak bereaksi apa-apa tepat saat tiga orang berseragam biru tua mengetuk pintu bagian luar. Di dalam rumahnya, serta di kepalanya sudah berputar macam ketakutan, apalagi seluruh keluarganya pulas dalam dengkur. Hanya Upek, ayahnya, yang dengan tergesa terbangun untuk membuka pintu. Ia membuntuti dari belakang mengintip dari pintu kamar tengah. Sehabis membuka pintu, Upek sudah raib; terakhir kali ia melihat ayahnya itu diseret dan ditendang. Tiga orang berseragam biru tua, yang dengan mudah ia akan ingat wajah-wajah mereka. Lalu, ia menangis pada ibunya yang tidur dan menceritakan apa yang telah terjadi. Ibunya juga ikut meraung-raung.

***

Advertisements

Matropik menjauh dari ibunya yang memilih bersuami lagi. Tepat puluhan tahun yang lalu Matropik tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia hanya paham jika ayahnya diculik oleh tiga orang berseragam biru dan tidak akan pernah kembali untuk waktu yang sangat panjang. Atau, mungkin saja kembali dengan keadaan sudah tidak bernyawa. Matropik tidak pernah berharap lebih, atau bahkan mengharap ayahnya kembali. Dalam pikiran Matropik, tiga orang berseragam itu telah menyakiti ayahnya, entah dengan cara ditendang atau bahkan dicabut kukunya satu per satu. Begitulah kekejaman mereka yang diingat Matropik hari ini, setelah jauh dari ibunya.

“Mas, ibu saya dulu juga korban dari orang-orang berseragam itu,” istri Matropik seperti bernostalgia.

“Mereka memang utusan yang kejam, sama kejamnya dengan pemimpin mereka,” balas Matropik.

Hening sesaat, sebelum akhirnya ingatan itu muncul kembali di kepala Matropik. Ia mengingat ayahnya yang baik dan sepanjang hari kerja di pasar. Matropik kadang ikut ayahnya untuk berjualan bahan-bahan kebutuhan pokok. Itulah satu-satunya penghasilan yang bisa menghidupi Matropik, sampai ayahnya dijemput paksa itu.

Tidak ada yang berani menggugat atau mengadu kepada siapa pun ketika ayah Matropik dijemput tiga orang berseragam. Matropik menaruh kesal kepada dirinya, kenapa saat itu ia tidak ikut saja dengan ayahnya, kalau pun mati paling tidak ia bisa mengetahui keadaan ayahnya. Sementara ibunya, sudah seperti orang yang kurang peduli kepada Matropik, mungkin karena ia sudah beristri atau hal lain.

Matropik juga ingat semalam setelah ayahnya dijemput paksa, satu-satunya orang yang berusaha menghibur tidak lain adalah ibunya. Ia selalu meraung-raung menangis menyebut nama ayahnya. Ibunya kadang juga meneteskan air mata ketika Matropik terus menangis. Saat itu, ibunya selalu meyakinkan jika tidak lama lagi ayahnya akan kembali; sejenak Matropik percaya. Sehari sesudah ucapan itu ayahnya tidak muncul batang hidungnya dan ibunya terus mengulangi ucapan yang sama. Matropik juga tidak tahu mengapa ayahnya didatangi tiga orang berseragam biru tua, dia benar-benar tidak paham. Sampai akhirnya di sekolah menengah atas ia diberi pelajaran tentang keadaan mengerikan pada tahun di mana ayah Matropik dijemput paksa.

“Dik, kata ibu ayah dijemput paksa tepat sehari setelahh mengeluh karena harga barang dagangannya yang kelewat murah. Padahal beberapa bulan sebelumnya harga normal-normal saja dan hari itu harga-harga barang banyak yang turun.”

“Beda dengan aku, Mas. Aku tidak tahu kenapa malam itu ibu benar-benar dijemput oleh lima orang yang tidak berseragam resmi. Tiga orang menghalangi ayah dan dua lainnya menyeret ibu. Saat itu aku hanya bisa menangis.”

Matropik tumbuh dengan menjadi anak kecil yang sama sekali kurang kasih sayang ayahnya. Ia selalu merasa sendirian ketika penerimaan rapor di sekolah. Teman-temannya yang lain selalu datang bersama ayahnya, namun tidak dengan Matropik. Satu-satunya cara ialah pamannya yang datang menggantikan ayah Matropik. Sebab tidak mungkin kalau ibunya yang mengambil ke sekolah. Di kampungnya, perempuan tidak bebas melakukan apa yang bisa dilakukan lelaki. Kalau kebetulan pamannya tidak bisa hadir, maka Matropik meminta sendiri ke kantor. Beruntung guru-guru dulu pada paham bagaimana keadaan Matropik dan musibah yang menimpa keluarganya.

Ingatan itu yang terus menghantui Matropik sewaktu tidak ada pekerjaan seperti sekarang ini. Saat ia sudah bercakap-cakap dengan istrinya, ia kerap mengingat apa yang menimpa Upek—ayahnya. Apalagi istrinya kadang secara tidak sengaja juga mengingat ibunya yang mengalami hal nyaris serupa. Mereka seperti disatukan oleh nasib yang sama, sama-sama melihat dengan kepala sendiri bagaimana keluarganya diseret oleh orang-orang yang kejam.

***

“Sampai kapan pun Matropik tidak setuju ibu menikah dengan lelaki itu.”

“Tapi ibu tidak bisa terus hidup sendirian, Pik, apalagi kamu sudah berkeluarga.”

“Kalau pun ibu mau menikah, tidak dengan bajingan itu.”

Saat ibunya memberitahu Matropik bahwa ia dilamar oleh mantan petugas itu, sejenak dada Matropik remuk. Ia masih ingat meski samar-samar wajah tiga orang yang malam itu membawa paksa ayahnya. Hari ini, dua orang itu telah meninggal dan tertinggal satu orang, dialah yang melamar ibu Matropik. Tetapi, Matropik tidak terus-terang kepadanya ibunya soal orang yang melamar itu. Dengan keras Matropik hanya melarang ibunya kawin dengan dia karena alasan dia adalah bajingan yang tidak pantas mendampingi ibunya. Benar, beberapa orang telah bersaksi bahwa dia adalah orang yang tidak baik, atau bahkan bejat.

“Ibu tahu sendiri, dia telah membunuh banyak orang di sini.”

“Itu dulu, Pik, sekarang dia tidak lagi seperti apa yang ada di pikiranmu.”

“Terserah ibu, tapi jangan harap Matropik ke sini lagi setelah ibu menikah dengan si bajingan itu.”

Sesudah mengucapkan sesumbarnya itu, Matropik benar-benar tidak pernah lagi bertemu ibunya. Kemarahan di dadanya masih belum padam apalagi ibunya tetap ngotot menikah. Matropik benar-benar merasa wajahnya dilumuri tahi. Ia pikir, ayahnya juga akan menangis jika tahu ibunya menikah dengan orang yang sudah menjemput paksa malam itu. Kiranya memang sulit untuk mematikan api dendam di dada Matropik, kecuali ia juga bisa menumpas leher orang yang membawa ayahnya malam itu. Tapi, dua orang yang diketahui Matropik sudah mati, satu-satunya yang tersisa adalah suami ibunya itu.

***

“Apa maksud kamu harga barang-barang murah,” tanya lelaki kekar dengan wajah yang mencoba dibuat sesangar mungkin.

“Tidak ada maksud apa-apa, pak, saya benar-benar tidak tahu,” jawab Upek yang wajahnya sudah lebam.

Di ingatan Upek, kali terakhir tiga orang itu membenturkan kepalanya pada bak truk di halaman rumahnya. Sesudah sadar, yang ada di kepala Upek adalah wajah anaknya —Matropik. Ia menangis meraung-raung di kamar yang hanya disinari senter. Ia benar-benar ingat malam terakhir saat tidur bersama istri dan anaknya. Upek benar-benar tidak tahu jika malam itu ia harus pergi dengan paksa dari rumahnya. Andai ia tahu, tidak mungkin ia buka pintu, atau bahkan mungkin malah dikunci rapat-rapat. Sayangnya, nasib buruk tidak bisa dihindari, ia membuka pintu dan tidak mengiraukan anaknya yang membuntuti dari belakang.

“Tidak usah menangis, tolol, lelaki kok cengeng,” seseorang dengan wajah tertutup memarahi Upek.

Ia tetap tidak berhenti dari tangisnya, betapa wajah Matropik masih lekat di kepalanya. Upek merasa bersalah karena tidak lagi bisa mengelus kepala anaknya dan menemaninya tidur. Upek juga yakin jika Matropik tidak akan berhenti menangis setelah ia dijemput paksa. Bagaimana pun Matropik memang selalu bersama Upek, ke mana pun. Daripada ibunya, Matropik lebih dekat kepada Upek. Di kepala Upek terbayang jika istrinya akan menikah lagi dan anaknya dibiarkan telantar. Tanpa sadar Upek berteriak lebih keras dan membuat tiga orang berseragam biru tua itu naik pitam. Tendangan secepat kilat mendarat di perut Upek, lalu disambut pukulan keras di bagian belakang lehernya.

Tapi Upek bertahan. Ia bahkan tidak pingsan setelah menerima pukulan-pukulan keras. Tiga orang berseragam itu mengikat tangan Upek lalu menggiringnya lewat lorong yang gelap. Hingga sampai di kamar mandi dengan bak mandi yang cukup lebar dan dalam. Tanpa aba-aba, tubuh Upek dimasukkan ke dalam. Tangan Upek tidak bisa memberontak, selain kakinya yang hanya menendang-nendang tanpa tujuan. Tawa tiga orang berseragam itu pecah berbarengan dengan tubuh Upek yang melemas. Ia diangkat dari bak mandi dan dibiarkan tergolek lemah di lantai. Setengah jam kemudian, Upek membuka mata pelan.

“Masih hidup juga lelaki miskin yang goblok ini,” suara itu entah dari orang yang mana.

Yang jelas, telinga Upek sudah tidak terlalu kuat untuk menangkap suara. Air serasa sudah memenuhi lubang telinga, hidup, dan mulut Upek. Di ujung pelipisnya, darah pelan-pelan mengucur, sebelum akhirnya bunyi pistol menembus bagian belakang kepala Upek.

***

Saya putus asa ketika ibu dengan ngotot menikah dengan orang telah membawa paksa ayah malam itu. Namun, saya tidak bisa bersikap berlebihan kepada ibu. Bagaimana pun ia tetap orang tua yang telah melahirkan saya dengan sangat susah payah. Ia membesarkan saya dengan keringat yang tidak bisa dibalas. Namun, untuk pilihannya menikah dengan lelaki itu, saya benar-benar tidak pernah rela, demi apa pun. Saya sudah bercerita kepada istri dan ia hanya berusaha menyuruh saya bersabar. Saya benar-benar tidak bisa bersabar, lelaki keparat itu telah menghancurkan masa kecil saya, ia telah membunuh ayah saya.

Sekitar jam delapan malam saya meminta izin kepada istri untuk bertamu ke rumah ibu. Sebagai manusia biasa saya tentu masih diliputi kangen yang tidak gampang diobati. Saya harus bertemu dengan ibu, namun tidak untuk suaminya. Rencana saya di sana hanya akan mengobrol dengan ibu Kalau pun suaminya ikut nimbrung, tidak akan pernah saya hiraukan. Sebagaimana malam-malam sebelumnya saat saya hendak berjalan, saya tetap tidak lupa untuk membawa sesuatu sebagai tanda kelelakian. Pisau peninggalan ayah yang dulu sering digantung di balik pintu, saya bawa, takut ada apa-apa di tengah jalan.

Setibanya di sana, pintu rumah ibu tertutup. Saya berusah mengetuknya, tapi sebelum itu pikiran buruk saya muncul. Saya menyiapkan pisau yang telah dibawa dari rumah, melepas sarung pisau yang terbuat dari kulit sapi. Saya membayangkan dalam-dalam malam terakhir saat ayah dijemput paksa.

Sesaat ketukan saya pada pintu lalu disambut suara lelaki dari dalam. Kuletakkan pisau di belakang tanpa kelihatan, tiga detik kemudian pintu terbuka dan si keparat suami ibu berada tepat di tengah pintu. Tanpa banyak pikir saya melompat menerjang dadanya, ia rubuh. Dari dalam ibu keluar, tapi sayang pisau peninggalan ayah sudah tertancap di dada si bajingan.

Tangis ibu pecah dan kepala saya kembali diserang ingatan-ingatan tak berguna malam itu. Kepala saya berisi ayah yang ditendang dan diseret dengan paksa oleh orang yang saat ini tengah tergeletak di hadapan mata kepala saya sendiri. Tidak ada perasaan yang lebih menggembirakan selain melihat si bajingan ini dengan dada bolong. Paling tidak ia merasakan betapa ketukan pada pintu adalah penanda kematian.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan