Seringkali zuhud disalah-tafsirkan sebagai sikap seseorang dengan penampilan kumal, kumuh, dan kotor. Hal ini tentu saja perlu diluruskan, agar makna zuhud mendaptkan marwahnya sebagai sikap seseorang yang di hatinya hanya ada Allah swt. Karena hakikat zuhud adalah persoalan hati, jadi tidak dapat dinilai hanya dengan tampilan luarnya saja. Meskipun, bisa niscaya bahwa seseorang dengan tampilan “gila” adalah termasuk sebagai ahlu al-zuhd.
Di dalam chanel YouTubenya, Dr. A. Wahid Hasan menjelaskan secara lebih kompleks terkait dengan zuhud, kaitannya dengan era milenial, era digital, atau era industri 4.0. Mengutip pendapat Imam Al-Junaid dalam kitab Madarij as-Salikin, dosen pascasarjana INSTIKA Sumenep ini menjelaskan, “Orang yang zuhud tidak menjadi bangga karena memiliki dunia dan tidak menjadi sedih karena kehilangan dunia.” Jadi zuhud adalah sikap seseorang yang hatinya selalu bersama Allah swt.
Jika sikap zuhud itu dimaknai sebagai orang yang miskin atau tidak memiliki harta adalah suatu kekeliruan. Karena tidak sedikit para sahabat di masa Rasulullah saw yang mempunyai harta melimpah. Ustman bin Affan misalnya, yang memiliki harta berlimpah tetapi tetap bersikap zuhud. Artinya, ketika harta yang banyak itu diperlukan untuk kegiatan dakwah, maka Utsam bin Affan tidak segan-segan untuk memberikan hartanya dengan begitu banyak. Dan Sahabat Utsman bin Affan tidak merasa sedih dengan mentsharrufkan harta bendanya di jalan Allah swt. Dan demikian itu hakikat dari sikap zuhud yang sebenarnya.
Abu Sulaiman Addaraini mengatakan bahwa zuhud adalah membuang segala sesuatu yang menyebabkan lupa kepada Allah swt. Misalnya, dengan membeli HP pintar yang terbaru, kemudian seseorang tidak ingat lagi untuk berzikir kepada Allah swt, maka hal demikian jauh dari sifat zuhud. Namun, jika dengan gadget baru kita tidak dilupakan dengan tetap mengingat Allah swt, maka hal tersebut bukan sebagai penghalang dalam sifat dan sikap zuhud.
Ciri-ciri Zuhud
Menurut Imam Al-Ghazali, zuhud memiliki ciri-ciri sebagai berikut. Pertama, tidak gembira dengan yang dimiliki dan tidak sedih jika yang dimiliki itu hilang. Baik hilang karena diambil seseorang tanpa sepengetahuan, maupun hilang karena disedekahkan. Tidak gembira dengan harta yang dimiliki bukan berarti menghilangkan rasa syukur. Sebab kebahagiaan yang paling purna adalah diberinya sikap wara’ oleh Allah swt. Jadi sikap syukur tetap eksis di dalam jiwa para orang zuhud dengan segala kondisi yang telah diberikan.
Kedua, dipuji atau dicaci, rasanya sama saja. Kalau dalam pepatah Madura, “Epoji tak kera ngabber, ecale tak kera gaggar, (dipuji tidak akan terbang, dicaci tidak akan jatuh).” Tentu hal ini sangat berat dan perlu riyadhah yang terus menerus. Apalagi di era milenial saat ini, begitu banyak cacian dan hinaan di media sosial. Maka ketika kita mampu bersikap tidak peduli dengan hinaan atau cacian tersebut, sikap zuhud telah tertanam di dalam hati. Namun sebaliknya, jika kita masih marah, emosi ketika dihina, maka latihan untuk menjadi zuhud masih membutuhkan waktu yang cukup panjang.
Ketiga, merasakan nikmat ketika taat kepada Allah swt. Ini juga menjadi ciri yang tidak mudah. Diperlukan komitmen dan latihan yang berkesinambungan agar nikmat taat kepada Allah swt, tertanam kuat di dalam hati. Salat yang lima waktu bukan dilakukan hanya sekadar kewajiban saja. Atau puasa di bulan Ramadhan dilakukan dengan sangat terpaksa, misalnya. Maka ketaatan yang demikian masih jauh dari sikap zuhud. Perlu latihan-latihan yang lebih intensif, sehingga setiap ketaatan yang kita lakukan terdeskripsikan sebagai kenikmatan dan kebahagiaan.
Level-level Zuhud
Ada tiga level zuhud sebagaimana dijelaskan oleh Dr. A. Wahid Hasan melalui chanel Abdul Wahid Hasan. Pertama, tarkul haram atau meninggalkan hal-hal yang haram. Level ini termasuk tingkatan paling rendah. Zuhud paling rendah adalah meninggalkan sesuatu yang diharamkan. Setiap muslim sudah barang pasti untuk meninggalkan hal-hal yang haram. Jadi tingkatan zuhud ini adalah yang paling awam (umum).
Kedua, tarkul fudhul min al-halal, yaitu meninggalkan sesuatu yang berlebih. Bukan berlebihan, karena kalau berlebihan itu sudah masuk dalam perbuatan mubazir (membuang-buang, berhambur-hamburan). Misalnya, ketika kita punya 1 HP, kemudian masih beli lagi HP lainnya. Maka HP yang satu itu hakikatnya tidak diperlukan, karena sudah ada HP yang pertama. Maka meninggalkan sikap berlebih yang seperti itu termasuk ciri berkarakter zuhud.
Ketiga, meninggalkan segala sesuatu yang menghalangi diri untuk ingat kepada Allah swt. Apapun bentuk dan kebutuhannya, ketika hal tersebut akan memalingkan kita dari cinta kepada Allah swt, maka hal tersebut harus dihindari. Tingkatan ini termasuk dalam tingkatan yang sudah purna. Merasakan nikmat yang luar biasa ketika berdialog hanya dengan Allah swt. Maka terkadang ada seseorang yang memiliki sikap zauq (menyatu dengan Allah swt) sehingga lupa terhadap dirinya sendiri. Sehingga terkesan kumuh, kotor, kumal, dan terkesan sebagai orang gila. Ingat, zuhud itu perkara hati, jangan dilihat dari tampilan zahirnya saja.
Zuhud di Era Milenial
Karena zuhud adalah perkara hati, di zaman milenial tidak menutup kemungkinan untuk berlaku zuhud. Bahwa di era digital ini, kita disibukkan dengan berbagai kegiatan dan program. Bukan berarti kita tidak bisa menjalankan sikap zuhud. Karena hakikat dari zuhud adalah abai terhadap dunia dan bersikap erat dengan kehidupan akhirat.
Zuhud bukan berarti harus miskin. Orang kaya pun dapat bersikap zuhud jika di dalam hatinya, harta yang dimiliki tidak dijadikan sebagai tujuan. Sebaliknya, orang miskin yang hatinya selalu tertanam dengan harta benda, maka sikap tersebut jauh dari sikap zuhud. Artinya, sebagai generasi digital, hendaknya bersikap zuhud dengan cara tidak menjadikan keduniaan sebagai tujuan. Akan tetapi, jadikan harta benda itu sebagai washilah (perantara) untuk lebih dekat kepada Allah swt. Membantu yang membutuhkan, tidak risau ketika harta benda hilang, serta menyerahkan segala takdir kepada Allah swt.
Berlatih menjadi zuhud adalah bagian dari zuhud itu sendiri. Melaksanakan kewajiban, seperti salat lima waktu, melaksanakan puasa Ramadan, membayar zakat, dan lain sebagainya adalah bagian dari riyadhah menuju sikap zuhud. Menghindari maksiat, tidak mencuri, tidak menghina, tidak melakukan ghibah, dan lain sebagainya juga bagian dari latihan menuju sikap zuhud yang sesungguhnya.
Karena zuhud itu perkara hati, maka tidak ada penghalang terhadap sikap zuhud apapun profesi yang kita lakukan. Ulama, ustaz, pebisnis, politikus, pejabat, youtuber, pelajar, santri, dan orang awam sekalipun dapat menjadi ahlu al-zuhd (pelaku zuhud). Semoga kita diberi kesadaran untuk selalu dekat dengan Allah swt dalam kondisi kenikmatan yang begitu paripurna. Aamiin!
Wallahu A’lam bis-Showab!