Simposium Internasional bertema Kosmopolitanisme Islam Nusantara yang diselenggarakan Fakultas Islam Nusantara UNUSIA Jakarta dibuka oleh Ketua Umum PBNU KH Said Agil Siradj Senin (30/8/2021). Simposium yang berlangsung dua hari secara luring dan daring ini juga menghadirkan Menteri Pendidikana dan Kebudayaan Nadiem Makarim sebagai keynote speaker dan menghadirkan beberapa pembicara dari Indonesia maupun manca negara.
Dalam sambutannya, KH Said Agil Siradj menegaskan bahwa Islam Nusantara bukanlah agama baru, melainkan salah satu tipologi keislaman yang menjunjung tinggi kebudayaan, dalam hal ini kebudayaan lokal tempat Islam berkembang. “Ini merupakan Islam yang menghargai kebudayaan. Islam yang menjadikan kebudayaan sebagai infrastruktur agama,” katanya.
Tipologi seperti inilah, menurut Kiai Said, yang tidak dimiliki negara-negara Islam di kawasan Timur Tengah. Menurutnya, negara-negara Islam di kawasan Timur Tengah yang terus-menerus dilanda kekacauan itu dikarenakan tidak menghargai kebudayaan lokal sehingga saling menegasikan. “Karena itu mereka gagap dalam menerima perkembangan yang datang dari luar. Ini berbeda dengan Islam di Nusantara,” Kiai Said menegaskan lagi.
Lebih jauh Kiai Said menjelaskan, Islam akan berkembang dengan baik jika mampu menjadikan kebudayaan sebagai infrastrukturnya, bukan justru menolaknya. Dan, lanjutnya, dengan begitu Islam Nusantara bukan hanya praktik keislaman di wilayah Nusantara, tapi juga di belahan dunia lain. “Sepanjang mau menerima dan menjadikan kebudayaan sebagai insfrastrukturnya, itulah Islam Nusantara,” katanya.
Kiai Said berharap simposium internasional ini mampu melahirkan dan mengembangkan pemikiran-pemikirana baru di dunia Islam yang rahmatan lilalamin. Yang bisa menghargai dan menerima kebudayaan-kebudayaan yang berkembang di masyarakat namun secara syariat memang tidak bertentangan dengan Islam.
Setelah dibuka secara resmi oleh Kiai Said, sesi pertama smposium ini menghadirkan dua pembicara utama, yakni Prof Michael Feener dan Prof Azyumardi Azra. Dalam pembahasannya, Michael Feener memaparkan bahwa jalur perdagangan antara kawasan Timur Tengah yang dimulai dari pantai timur Yaman, Teluk Benggala, Malaka, Nusantara, hingga Cina, adalah satu jalur yang menghubungkan dua kawasan besar yang menjalin perdagangan rempah. Jalur ini membentuk kultur istana serta kultur Islam vernakular ala Asia Tenggara.
“Kultur Islam vernakular Asia Tenggara dapat diibaratkan seperti proses memasak. Memasak terjadi karena ada berbagai campuran bumbu, yang ketika matang rasanya melampaui bumbu asalnya,” terangnya.
Sementara itu, Prof Azyumardi Azra menegaskan bahwa Indonesia dianggap kosmopolitan sebab kedudukannya sebagai negara maritim mampu menjadi tempat pertemuan berbagai agama di dunia.
Ia menambahkan bahwa warisan budaya kosmopolitanisme Islam yang dapat kita rasakan salah satunya adalah Bahasa Melayu yang saat ini menjadi bahasa nasional. Sependapat dengan Feener, ia menyebut bahwa di Indonesia terdapat mutual accomodation yang menjadikan Islam Indonesia sebuah budaya vernakular (lokal) yang khas.
“Kosmopolitanisme Islam di Indonesia dibentuk oleh dua dua komponen utama, yakni Islam Nusantara dan Islam berkemajuan,” jelas Azyumardi Azra sebagai penutup pemaparannya.
besok lagi kan ya neng Auniya?