Di sebuah ruangan, para penyair tua berkumpul. Mereka membahas polemik perbukuan, terlebih buku-buku yang ditulis para anak muda. Mereka —sebagian besar penyair itu— berpendapat bahwa para anak pemuda mengasumsikan sajak dan puisi tak lain kegunaannya hanya untuk menginterpretasikan rasa cinta yang seolah-olah dalam dan penuh makna, padahal tak sekalipun dalam.
Orang tua-orang tua tak lagi suka sajak dan puisi karena asumsi mereka yang dangkal, menyangka bahwa sajak dan puisi hanya soal gombalan-gombalan usang anak muda.
Para penyair, satu persatu mempresentasikan nasib mereka selama menjadi penyair. Sekarang giliran orang tua berambut gondrong menjuntai sepaha itu berbicara: “Saya merasa terhina oleh sajak-sajak dan puisi-puisi anak muda. Mereka mampu menyuguhkan diksi-diksi yang seolah-olah dalam maknanya, tapi sebenarnya sama sekali tidak efektif penggunaannya. Aku merasa perlu mengeksplorasi perasaan anak muda, atau paling tidak, aku bertanya pada anakku yang masih perjaka. Agar buku-buku puisiku laku.”
Seperti itulah nasib penyair berambut gondrong sepaha itu. Buku-buku kumpulan sajak dan puisinya tak sama sekali laku di pasaran. Setahun ini, tiga buku sudah ia cetak dan disebarluaskan di toko-toko buku.
Penerbit yang menerbitkannya pun tak kepalang tanggung: Republika. Namun, dari tiga bukunya itu, hanya tiga yang terjual selama satu tahun. Itupun buku yang berjudul “Cinta di Segelas Kopi.” Adapun yang dua selain itu, “Kontemplasi Hidup” dan “Tuhan Maha Paradoks” sama sekali tak laku.
Dua buku itu lebih dahulu cetaknya daripada “Cinta di Segelas Kopi”.
Suatu waktu ketika istrinya mengeluh tak punya uang buat beli beras, ia menelepon pihak penerbit dan menanyakan royalti. Namun, pihak penerbit mengkonfirmasikan bahwa selama enam bulan, dua bukunya tak sama sekali terjual.
Bukan main patah arang Sang Penyair. Ini tak wajar, batinnya, sambil bergedek-gedek kepala. Surut sudah semangatnya menulis.
Masih dalam panggilan ketika keduanya sama-sama diam, Sang Penyair bertanya, “Buku best seller tahun ini judulnya apa, Pak”
“Istriku Seorang Janda,” jawab pihak penerbit. “Jadi, kalau Bapak mau menerbitkan buku, saya rekomendasikan Bapak mengarang tentang buku yang mengulas tentang cinta, Pak. Buku-buku bacaan berat sulit laku saat ini. Para pembaca lebih suka membaca bacaan-bacaan tentang cinta, atau paling tidak yang humorislah.”
“Iya, Pak. Terima kasih.” Sang Penyair mengakhiri telepon.
Geleng-geleng Sang penyair dibuat oleh pernyataan dari pihak penerbit. Istrinya menunggu di dekatnya sambil duduk memainkan kriya di atas meja; ditiup-tiupnya bunga yang kering itu, lalu diembus dalam-dalam, dan dirasakan. Entah aroma apa yang diciumnya sehingga membuat hidungnya memerah. Cantik benar istri Sang Penyair.
“Tidak ada royalti tahun ini, Dik,” jelas Sang Penyair pada istrinya dengan wajah lesu.
“Lha kita beli beras pakai uang apa?!”
“Pinjam dulu ke Mbok Martiyem. Nanti kalau sudah ada royalti, Bapak yang bayar.
Istri Penyair itu beranjak keluar menuju warung Mbok Martiyem, berutang beras untuk masak hari itu.
***
Di tengah-tengah penyair berambut sepaha itu bicara, seorang anak muda menyuguhkan minuman untuk para penyair. Salah satu penyair bertubuh ringkih yang duduk di sebelah kanan paling pojok memanggilnya.
“Namamu Robert, bukan?” sapa Penyair pada anak muda.
“Iya, Tuan.”
“Apa benar kau yang menulis buku puisi berjudul Cinta dan Konspirasi Syahwat Lelaki?”
“Ya, benar.”
Semua penyair yang ada di perjamuan itu menoleh pada Robert. Mereka semua geram. Ya maklumlah. Mereka, para penyair, yang merasa belajar bahasa bertahun-tahun, harus disingkirkan oleh anak muda macam tak punya malu itu. Wajahnya saja macam monyet, penuh bulu.
Karena geram merasa tersaingi, salah seorang penyair nyolot berbicara: “Kepada siapa kau belajar membuat sajak, Anak Muda?!”
Beberapa penyair menggerutu, berbisik-bisik kepada yang lain.
Robert diam. Menunduk ia gemetar. Semua penyair yang ada di perjamuan itu melototinya. Mata mereka tertuju pada Robert, seorang pemuda berwajah penuh bulu.
Robert membatin: Mereka ini penyair beneran apa tidak? Kok seperti ini, tidak bangga dengan munculnya karya-karya anak muda.
Macam mana Robert tidak membatin, sedang baru kemarin ketika launching buku di rumah gurunya, Ki Joko Purbaya, semua penyair yang hadir membanggakannya, juga memujinya sebagai penyair yang cerdas. Ia masih ingat betul raut wajah gurunya yang tersenyum manis sekali ketika bukunya terbit dan menjadi salah satu dari buku yang paling laku keras tahun itu. Gurunya sumringah, bangga atas pencapaiannya.
“Jawab!” bentak penyair yang tanya.
“Jadi saya belajar menulis sajak kepada Ki Joko Purbaya, Pak,” jawabnya dengan penuh gemetar.
Melihat wajah-wajah penyair yang hadir macam singa-singa lapar, ia takut.
“Kata Ki Joko Purbaya, unsur terdalam dalam sebuah puisi adalah bunyi. Bunyi yang dimaksud di sini adalah suara hati yang benar-benar murni keluar dari perasaan, Pak,” lanjutnya.
Semua penyair terdiam. Tiba-tiba mereka semua saling pandang. Beberapa saat, mereka semua menunduk, mendengarkan kata-kata Robert:
“Puisi bukan hanya kata-kata. Ia tercipta karena rasa dan pengolahan jiwa setelah kedewasaan sikap terhadap apapun. Sebelum mengarang puisi, Ki Joko Purbaya bertanya kepadaku perihal pengalaman apa yang paling berkesan dalam hidupku, Pak. Aku menjawab, cinta. Dari itu, beliau menyuruhku mengarang puisi tentang cinta, dan lahirlah “Cinta dan Konspirasi Syahwat Lelaki.” Saya mengarangnya dengan penuh perasaan dan air mata.”
Para penyair yang ada di perjamuan itu masih menunduk. Aneh bin ajaib, mereka yang dengan penuh amarah dan emosi saat awal, ketika Robert berbicara, tiada badai tiada angin tiba-tiba terdiam. Entah, mungkin mereka sadar bahwa selama ini, buku-buku tulisannya hanya sekedar ajang pencarian uang. Sehingga, tak pakai lama menyelesaikan naskahnya tanpa penggalian rasa dan kontemplasi yang dalam.
Tak lama setelah itu, Robert beranjak dari tempatnya menuju kasir warung kopi itu, meninggalkan para penyair yang melingkar di meja. Ingat, mereka menunduk. Sepertinya, mereka meresapi benar kata-kata Robert. Mereka benar-benar mendengarnya.
***
Aku akhiri kisahku ini tepat di ujung kalimat mendengar. Karena sepandai apapun seseorang, kalau tak mau mendengarkan, akan dungu, dan ilmu pengetahuannya akan stagnan pada pemikirannya sendiri.
Aku ingin semua penyair yang ada di kisah itu lebih membesarkan hatinya untuk menerima keadaan, bahwa era sekarang, manusia lebih menyukai hal-hal instan. Manusia era ini tidak suka hal-hal berat. Apalagi tulisan yang berat.
Dan karena aku yang mengarang-ngarang cerita ini, aku ingin tunduk pada idealisku sendiri, yang memaksa pembaca untuk tunduk terhadap pemikiran-pemikiran saya. Aku terlalu egois dalam menulis cerita-ceritaku. Namun meski begitu, aku tidak peduli. Karena menulis adalah caraku mengekspresikan apapun: perasaan, luka, bahagia, maupun suka.
Orang bilang, penulis adalah Tuhan bagi tulisannya sendiri. Sebab itu, aku mengada-ada cerita ini dan kukemas kisahnya dengan tanpa logika dan rasional. Sekarang, aku sedang berada di hatimu, menghipnotismu dengan diksi-diksi yang kutulis di dalam cerita ini.
ilustrasi: lukisan hajriansyah, antara.