Beberapa hari ini, Tarsawi tertegun di depan rumahnya. Sikapnya akhir-akhir ini berubah. Itu terjadi setelah dua orang berjaket kulit, tubuhnya tampak kekar, menghampiri Tarsawi di ladangnya.
Saat itu ia sedang membersihkan rumput pengganggu yang mengelilingi pohon-pohon singkong tanamannya. Ia mencabuti beberapa tumbuhan yang menjalar, melilit pohon-pohon singkongnya. Sinar matahari yang menyelinap di antara dedaunan membuat matanya berkunang-kunang, saat dua orang berbadan kekar menghampirinya.
“Kapan kamu mau menjual tanah ini sama Pak Budiman?”
“Saya belum ada pikiran untuk menjualnya kang.”
Dua lelaki yang ada di depannya terdiam. Seorang mengambil telepon genggam dari sakunya, lalu menelepon, entah siapa di seberang sana. Dari logat bicaranya, nampak bahwa lelaki itu sedang menghubungi pesuruhnya.
Sedangkan, lelaki yang satunya masih memandang ke sudut-sudut kebun singkong milik Tarsawi.
Kedua lelaki itu lalu pergi tanpa sepatah katapun. Tarsawi masih membersihkan rumput-rumput pengganggu. Namun pikirannya sedang bekecamuk. “Jika aku menjual tanah warisan ini, apa kata orang nanti?” gumamnya. Apalagi orang tuanya baru meninggal dan belum genap empat puluh hari.
***
Kebun seluas satu setengah hektare itu berada di antara tanah-tanah proyek perumahan. Semua tetangga kebunnya sudah terjual, bahkan beberapa bangunan sudah berdiri seakan menantang kebun singkong milik Tarsawi.
Sejak kecil, ia sudah akrab dengan kebun ini. “Kebun ini adalah tinggalan kakek buyutmu, suatu hari engkau akan menggarapnya. Jadi jaga baik-baik tanah ini!” demikian ia mengingat pesan ayahnya.
Ketika ayahnya masih sugeng, para petani yang memiliki lahan di sekitar kebunnya juga tak menerima tawaran dari Budiman untuk menjual tanahnya. Bahkan di suatu siang yang terik, pernah terjadi adu mulut antara anak buah Budiman dengan beberapa petani yang mempertahankan lahannya.
Namun para petani itu goyah setelah ayahnya Tarsawi mulai sering sakit. Padahal ketika diperiksakan ke rumah sakit terbesar di Malang dan didiagnosa dokter, ayahnya Tarsawi tidak memiliki penyakit apa pun.
“Aneh ya mas, padahal hasil lab menyatakan bahwa Pak Wandi tidak memiliki gangguan penyakit dalam, tetapi kenapa beliau terkulai lemas begitu?” ucap salah satu dokter yang kebingungan dengan kondisi Pak Wandi.
Karena kondisi Pak Wandi semakin tak menentu, akhirnya Tarsawi dan istrinya membawanya pulang. Ayahnya dirawat jalan. Sampai akhirnya Pak Wandi mendengar dari salah satu tetangga yang menjenguknya, bahwa sebagian besar petani yang memiliki lahan di dekat kebunnya semua sudah menjual tanah mereka ke brandalan itu.
Sejak saat itu, Pak Wandi lebih sering murung. Kondisinya semakin lemah. Ia jarang makan dan minumpun hanya seteguk saja. Sampai akhirnya ia tertidur selamanya.
“Mungkin Pak Wandi ngenes karena mendengar kabar bahwa tinggal kebunnya yang belum terjual,” Mujib dan Ijad rerasanan.
Tangis Tarsawi dan istrinya tak terbendung. Anaknya yang masih berusia dua tahun menangis di bawah lincak kakeknya. Lamat-lamat Tarsawi teringat amanah ayahnya yang tiba-tiba muncul di antara anak sungai air matanya yang deras. Ia mantap untuk tidak menjual tanahnya, apa pun itu amanah yang harus dijaga dan dilaksanakan.
***
Bisnis perumahan memang sedang digandrungi. Selain sangat menguntungkan, rumah memang sudah menjadi kebutuhan yang berlomba-lomba manusia untuk memilikinya. Untuk ditempati sendiri atau menjadi investasi masa depan.
Budiman sedang duduk dan menikmati sebatang rokok. Di atas mejanya sudah ada beberapa berkas kelengkapan perumahan yang baru, di mana hanya kurang satu lahan yang belum berhasil ia kuasai. Ini bisa menghambat kerja Budiman dan anak buahnya.
Kerja sama dengan beberapa toko bangunan dan pengusaha properti terhambat, karena Tarsawi belum menjual kebun milik mendiang ayahnya. Roadmap pembangunan sudah dipegang oleh Budiman. Dan sesuai rencananya, tepat di tanah milik Tarsawi akan bibangun pusat perbelajaan. Karena tanah itu berada di pinggil jalan, dan posisinya seperti di pojok, sangat strategis untuk usaha apa pun.
Tanah-tanah yang lain sudah diukur dan dipeta-petakan, rumah-rumah baru sudah mulai dibangun. Tinggal satu bidang tanah, kebun singkong milik Tarsawi, yang belum dipetakan dan dijual oleh pemiliknya.
***
Tarsawi sudah berunding dengan istrinya, pun dengan paman dan beberapa pamong desa. Hasilnya masih berat sebelah. Istrinya mengikuti saja keputusan Tarsawi. Sementara, paman dan salah satu pamong desa mengingatkan, “Dijual saja tidak apa-apa, jangan berurusan dengan Budiman, dia orangnya nekat.”
Mendengar hal itu, Tarsawi mulai goyah. Beberapa hari kemudian ia menemui Pak Budiman. Ia menanyakan berapa harga belinya, namun Pak Budiman malah bertanya baik, “Kamu mau jual berapa?”
Tarsawi yang tidak pernah pengalaman menjual tanah, juga tak mengerti perkembangan harga tanah, akhirnya diam. Karena terlalu lama menunggu jawaban Tarsawi, Budiman akhirnya angkat suara.
“Bagaimana jika aku membelinya, dua miliiar, luas tanah itu kan satu setengah hectare, toh?”
Tarsawi hanya membisu, lama ia berpikir, sambil memandang Budiman; rumahnya besar, ruang tamunya dihiasi beberapa senjata, mulai dari bedil, parang, sampai samurai.
“Jika saya tidak menjualnya bagaimana Pak? Warisan bapak saya tinggal itu?” tanya Tarsawi
“Lah, tujuanmu ke sini apa kalau bukan untuk menjual tanah? Kamu jangan mempermainkan saya. Apalagi kalau tanah itu jadi kamu jual, kamu bisa beli tanah lain,” jawab Budiman geram
“Em…, saya perlu berbicara dengan keluarga pak, beri saya waktu tiga hari, saya juga perlu memanen singkong terlebih dahulu.”
“Baik, tiga hari saya tunggu kepastiannya. Kalau tidak, kamu bisa pilih, senjata mana yang pas untuk jari-jari tangan dan lidahmu.” Budiman sambil menujuk senjata-senjata yang menghiasi dindingnya.
“He-he-he…, iya pak, saya bisa memastikan.”
Tarsawi tiba-tiba seperti mendapat bisikan, bahwa ia harus pergi ke Gunung Grangsil menemui pamannya yang menyendiri di sana. Selepas pulang dari rumah Budiman, ia tidak langsung pulang ke rumah, namun ia pergi ke Gunung Grangsil.
***
Anak buah Budiman mengikutinya, namun tidak sampai ikut ke Grangsil. Di pertengahan jalan mereka kembali dan melaporkan kepada Budiman. Ia meminta anak buahnya untuk pergi ke rumah Tarsawi, untuk menakuti istrinya yang baru melahirkan, agar mau membujuk suaminya.
“Kalau tidak mau, katakana kepadanya, jari dan lidah suaminya akan segera tertanam di kebun singkong miliknya,” perintah Budiman. Segera anak buahnya pergi menemui istri Tarsawi.
***
“Ada apa Le? Kayaknya kamu bingung begitu?” tanya Paman Tarsawi
“Tanah milik bapak, mau dibeli paksa oleh bos perumahan.”
“Ealah, di sana sudah berjibun bangunan-bangunan ya Le?”
“Enggih, Pak Lik.”
“Semakin hari semakin jauh keblangsuk-nya, tanah yang seharusnya jadi resapan air, jadi lahan untuk pohon-pohon agar rindang daunnya, udara biar bersih, tapi karena polah manusianya, ya begitulah. Makanya kenapa Pak Lik lebih senang tinggal di sini, udaranya, masyarakatnya, dan masih tersedia lahan-lahan luas untuk dimanfaatkan sebagai sumber penghidupan masyarakat.”
“Saya harus bagaimana Pak Lik?”
Tiba-tiba HP Tarsawi berdering. Panggilan dari istrinya. Sambil menangis, istrinya mengatakan kalau baru saja didatangi oleh dua orang berbadan kekar, dan mengancamnya kalau tidak mau merayu suaminya untuk menjual tanahnya, maka jari dan lidahnya Tarsawi akan ditanam di kebun singkong miliknya.
Mendengar tangis dan cerita istrinya, ia terbelalak, kaget, dadanya sesak. Kemarahannya memuncak sampai ke ubun-ubun.
Kemudian ia masuk menemui Pak Liknya lagi, dan mengatakan semuanya. Pak Liknya Tarsawi tak menanggapinya, Ia lalu masuk ke kamarnya, kemudian ke dapur mengambil segelas air putih.
“Minumlah, dan ini, bungkusan ini jangan kamu buka, bawa ke mana-mana, temui pembeli tanah itu, keluargamu sudah diusik. Bapakmu itu orang berani, masak kamu klemar-klemer.” Nada suara Pak Liknya berubah, setelah mendengar bahwa istrinya Tarsawi diancam-ancam.
“Enggih Pak Lik, sembah nuwun.” Tarsawi meminum segelas air putih tadi, lalu berpamitan pulang.
***
Tiga hari setelah itu, Tarsawi benar-benar pergi menemui Budiman. Siang itu ada yang berbeda dari Tarsawi. Ia benar-benar seperti bapaknya dulu. Ke mana-mana membawa sebilah pisau, tidak besar juga tidak terlalu kecil, tetapi kilaunya menunjukkan bahwa pisau itu tajam, lengkap dengan rangkanya.
Ia berpamitan kepada istrinya, mencium anaknya yang masih berumur dua bulan. Ia hanya berpesan, “Kalau aku yang diancam tidak masalah, tetapi karena istriku, garwaku, yang diancam, maka sudah menjadi lain urusannya.”
Tarsawi pergi menaiki motonya. Istrinya terus memandanginya sampai ia ditelan kejauhan. Ia selalu berdoa dalam hatinya, agar suaminya selamat tak kekurangan apa pun.
Budiman sudah menunggu sejak pagi rupaya. Ia dipersilakan duduk. Tak ada air minum. Tak ada pertanyaan tentang kabar. Ia langsung menanyakan jadi atau tidak Tarsawi menjual tanahnya.
Ia tak menanggapinya. Tarsawi malah bertanya mengapa anak buanya mengancam istrinya. “Istri saya tidak tahu-menahu perihal ini. Jadi tidak usah disangkutpautkan.”
Budiman hanya tertawa. Sambil menjawil anak buahnya, seperti paham kode dari bosnya, mereka yang tadinya duduk di belakang Budiman, kini pindah duduk di belakang Tarsawi. Tarsawi menyiapkan diri dan tetap waspada. Ia ingat pesan paman dan beberapa pamong desanya, yang mengatakan bahwa Budiman orangnya nekat.
Melihat gelagat tak menyenangkan, Tarsawi mengatakan bahwa ia mengurungkan niatnya untuk menjual tanahnya, dan berpamitan pulang. Mendengar hal itu, Budiman marah. Sejurus kemudian dua tangan besar memegan pundak Tarsawi, namun ia bisa terlepas dari genggaman itu. Ia menerjang dua anak buah Budiman, seketika terperosok ke bawah meja.
Budiman lari mengambil bedil ke dalam, disusul oleh Tarsawi. Tidak sempat meraih bedilnya, Budiman sudah tersungkur karena dipukul dengan potongan meja yang diraih Tarsawi di depan. Lalu ia mengeluarkan pisaunya, dan menghunuskannya ke Budiman. Ia pegang lehernya, lalu dibawa keluar. Anak buahnya tak bisa berbuat apa-apa, karena semakin maju, Budiman akan tertusuk pisau tajam di tangan Tarsawi.
Entah apa yang membuatnya kalap. Sekonyong-konyong Tarsawi menebaskan pisaunya ke jari-jari Budiman. Akhirnya beberapa jarinya terlempar ke tanah. Jerit Budiman memenuhi pekarangan rumahnya. Anak buahnya lari mendekap Budiman yang dilemparkan ke tanah oleh Tarsawi. Ia sudah menjadi manusia yang nekat, emosinya tak bisa dikendalikan, kepalanya panas. Ia merasa tertindas selama ini, dan diam saja. Akumulasi kemarahannya membuat Tarsawi dikuasai oleh rasa dendam.
Anak buah Budiman tak berkutik. Mereka tiba-tiba mengkerut ketika Tarsawi menggertaknya, dan menghunuskan pisaunya ke arah mereka berdua. Budiman pingsan. Darah yang mengalir dari tangannya sangat banyak. Beberapa waktu semua lelaki itu terdiam, napasnya tersengal-sengal.
“Bawa Budiman ke rumah sakit. Tiga jari itu jangan dibawa, mau aku tanam di kebun singkongku. Itu adalah tanda bahwa ia berani mengusik keluargaku,” ucap Tarsawi lirih.
Budiman dibopong dan segera dibawa pergi dari hadapan Tarsawai. Tarsawai segera pulang dan membersihkan diri. Keesokannya ia menemui Pak Liknya di Grangsil, dan mengembalikan bungkusan yang pernah diberikannya itu. Ia juga sudah menanam tiga jari milik Budiman di kebun singkongnya.
***
Tiba waktu panen singkong, orang-orang berduyun-duyun mengambil daun singkong untuk ternak mereka, melewati deretan rumah mewah yang berjajar di perumahan itu. Salah satu dari pencari rumput menemukan tulang belulang yang masih tersisa daginya, menempel bersama gumulan semut.
“Iki kok koyok driji yo…, Kang Tar, kok enek drijine wong nek kebunmu iki,” katanya sambil menunjukkanya ke Tarsawi. Tarsawi terdiam beberapa detik, lalu tersenyum.
“Iku jimate kebunku, jadi tanduren maneh yo…” ucap Tarsawi.
Lelaki pencari rumput itu terdiam, bingung, kemudian mengubur kembali tulang yang berbalut sisa-sisa daging itu.
Rumah Jogo Kali, 2021.