Sobir dan Kesabarannya

23 views

“Aduh, duh,” minyak setengah penggorengan itu meletup keras, setelah bapak memasukkan potongan-potongan ayam berbalut tepung ke dalam wajan berisi minyak panas. Sebelumnya ayam itu harus diulat dengan bumbu khas. Paduan bawang merah goreng, bawang putih goreng, ketumbar, merica, dan tak lupa garam yang telah disangrai sebentar agar tak menggumpal. Lalu dicampurkan dan diblender dengan halus menjadi satu. Itu semua tugas ibu, kecuali bagian pemasaran dan juga pengolahan, yang semua dipegang oleh bapak dan aku.

Meski sudah memasarkan, manajemen keuangan masih dipegang oleh “ibu negara” kami. Memang selayaknya perempuan mempunyai daya konsentrasi tinggi dalam hal perputaran uang. Mereka bisa mengolahnya dengan telaten dan presisi. Sedang kami hanya bagian garda depan untuk menjalankan amanat pemasaran. Dengan kelebihan yang diberikan Tuhan pada tubuh kami, yang terdiri dari 45 persen otot, memang agaknya pantas kami disemati tulang punggung keluarga. Karena kami yang lebih bisa diandalkan jika berurusan dengan berat.

Advertisements

“Kamu kenapa?” tanya bapak.

“Ini, kena letupan minyak.”

“Ah, tenang saja. Tak ada sakit yang bertahan selamanya.”

“Tapi ini nanti berbekas,” ucapku sambil menggosok bagian yang terkena minyak.

“Bagi laki-laki bekas luka itu kebanggaan.”

“Kebanggaan atas apa pak?”

“Untuk tanda bukti bahwa kita pernah berjuang.”

“Kalo untuk perempuan?”

“Kalo perempuan itu sebagai anugrah.”

“Loh, kok bisa.”

“Karena Tuhan akan menggantinya dengan yang lebih berharga.”

Aku cuma manggut-manggut sambil memegangi dagu. Tampaknya omongan bapak ada benarnya. Meskipun aku tahu bahwa dia tak sengaja mengucapkan itu semua.

“Heh, Sob. Ngelamun apa. Itu hati-hati gosong ayamnya.”

“Oh iya, sorry-sorry. Cuma mikirin omongan bapak tadi.”

“Hah, omongan yang mana?”

“Nah, kan. Sudah lupakan.”

Kami melanjutkan tugas kami masing-masing. Sedang di depan gerobak sudah banyak pelanggan yang mengantre . Yang tampaknya sudah tak sabar karena ini sudah mepet dengan waktu berbuka.

Tak lama semua ayam selesai diangkat. Sekarang ini bagianku untuk melayani para pembeli. Bersenjatakan capitan dari stainless steel dan kertas koran yang dilapisi plastik, aku menyabet setiap pesanan dengan singkat. Jadi pedagang memang tak mudah. Kau harus punya daya tahan yang kuat, selain fisik juga harus mafhum dengan perhitungan. Meski tak setelaten para wanita. Namun para pedagang harus bisa menimbang untung rugi sendiri. Terlebih jika berhadapan dengan naiknya harga bahan baku. Bapak harus memutar otak agar bisa memuaskan pelanggan dan menyimpan laba yang setara. Dan, semua harus dilakukan bersamaan.

Ibarat neraca, kita harus bisa menjaganya pada posisi yang sesetabil mungkin. Bohong jika neraca itu akan selalu berimbang. Namun bukan masalah berimbang atau tidaknya sebuah neraca, tapi bagaimana usaha kita. Itu perkataannya di suatu malam saat kami pulang berdagang. Meskipun aku tahu, dia pasti sudah lama melupakannya.

Udara dingin pantai utara Jawa agaknya tak bisa diremehkan. Kami harus menempuh perjalanan membelah hutan Mertai yang gelap saat malam. Sekali lagi tubuh kami dituntut untuk lebih kuat setiap harinya. Agar raga yang telah dikaruniakan oleh Tuhan ini tak sia-sia. Juga agar beberapa perut yang ada di rumah tak kosong esok hari.

Ini memang saat jeda sekolahku. Selanjutnya setelah setahun bekerja aku ingin kuliah di kota. Permintaan itu disetujui oleh bapak. Dia tak pernah pilih-pilih jika keinginan anaknya mempunyai makna. Dengan segenap apa yang dia punyai akan i korbankan. Bahkan jika itu nyawa, seumpama saja.

“Pak, jika aku suka sama seseorang gimana.”

“Emang udah ada?”

“Ya belum, semisal aja.”

“Oh tak kira,” lalu menyulut sebatang rokok dari sakunya.

“Ya prinsipnya sama kayak dagang.”

“Apanya? Kayak jual beli?”

“Ya enggak,” sambil menjitak ubun-ubunku. Aduh.

“Yang paling penting itu jujur, le. Bapak tahu dunia ini akan semakin buruk. Tapi kita diberi akal oleh Gusti Maha Kuasa untuk dapat memilih. Katakan semuanya, dari dalam dirimu. Kita seperti apa, dan bagaimana jadinya.”

Itu semua sudah lama. Bapak mungkin sudah sangat lama memberikan wejangan-wejangan tak sengaja itu. Sebelum semua perkuliahanku selesai. Aku sudah mengusahakan sebisa mungkin. Meski hanya mendapat predikat terbaik di fakultas. Aku berharap kedua orang tuaku tak kecewa. Meskipun sebelumnya mereka sudah mengabari keadaan, bahwa tak ada yang bisa menjemputku pulang kecuali hanya sebatas doa.

Kecewa? Tidak. Tidak mungkin tak ada rasa kecewa. Sebagai manusia aku juga berkewajiban untuk memanusiakan perasaanku sendiri. Tapi sebagai seorang lelaki, pantang hukumnya kecewa dilebur dalam raut wajah. Menatap semua kawan disambut peluk mesra, membawa ijazah, dan foto bersama. Kulihat wanita impianku senyumnya tengah mengembang dengan teman-temannya. Kami sudah menghabiskan delapan semester bersama. Meski semua itu harus menyakiti orang terkasihku yang lainnya.

Kuhampiri dia dengan langkah mantap. Sebelumnya sudah kuisi rongga dadaku berulang kali, dan mengembuskan isinya dengan perlahan. Berulang kali juga. Lalu tangkap pergelangan tangannya sembari mengucap permisi, boleh saya pinjam dulu berliannya? Tanyaku pada gerombolan gadis manis itu. Dan mereka mempersilakanku dengan sedikit sipu-sipu. Aku ingin menuntaskan semuanya di sini.

“Mira, aku ingin bicara,” dia tersipu terhadapku mungkin mengharap sesuatu.

“Semua yang kamu tahu tentangku itu salah.”

Aku menjelaskan semuanya. Semua yang telah kupendam lama. Entah dia mau menerimanya atau tidak. Bagiku tak masalah. Pilihan tetaplah di tanganku, sedang takdir Tuhan siapa yang tahu. Waktu itu aku sudah pasrah. Memilihku terserah, tidak juga tak apa. Mira melangkah pergi dengan wajah ditekuk penuh. Kebenciannya tertumpuk pada alis yang bertemu di tengah keningnya. Sebelum itu dia mencuatkan kalimat, “Dasar pemuda miskin”. Lalu pergi begitu saja. Aku berjalan ke kos sendiri membawa selembar ijazah tergulung di ikat pita. Menatap langit dengan senyum lega. Mengetahui bahwa seenteng ini bila dari awal hubungan kami dilandasi kejujuran.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan