Satu teori menyebutkan Islam masuk ke Nusantara lewat perdagangan, dan menyebar luas di pulau-pulau barat sampai timur Nusantara, juga lewat perdagangan. Agus Sunyoto dalam Atlas Walisongo mencatat, setidaknya ada tiga jalur perdagangan yang punya pengaruh pada masuknya Islam dan perkembangannya di Nusantara. Yakni, jalinan perdagangan antara China dan kerajaan-kerajaan di Nusantara (salah satu yang terpenting adalah kunjungan Laksamana Cheng Ho pada awal abad ke-15 M), jalinan perdagangan Persia-India dan Nusantara, serta jalinan perdagangan antara Arab dan Nusantara.
Setelah Islam mulai berkembang di Jawa dan Sumatra, berbagai tempat pusat perdagangan seperti bandar (pelabuhan) menjadi jalur yang saling mendekatkan berbagai kawasan Islam. Atas dukungan Kerajaan Giri, Kesultanan Gowa bisa menjadi pengislam aktif yang baik terhadap daerah tetangganya di pulau-pulau lain yang lebih jauh seperti Banda, Lombok, dan Sumbawa (Michael Laffan, 2011). Awal penyebaran itu pun tidak lepas dari hubungan perdagangan yang sudah dijalin sebelumnya.
Dengan demikian, perdagangan sebagai salah satu elemen krusial dalam ekonomi, menjadi faktor penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Kalau waktu itu umat Islam tidak memedulikan kegiatan ekonomi, akan sulit bagi Islam untuk berkembang sejauh ini di bumi Nusantara. Dakwah Islam bisa diterima dan terus berkembang karena faktor ekonomi dan budaya.
Pilihan itu tidak bisa lepas dari kontribusi para tokoh penyebar Islam. Selain menguasai ilmu agama, mereka juga tercatat sebagai ahli atau tokoh pula dalam kedua bidang yang bisa dibilang “duniawi” tersebut, demi menegakkan keluhuran Islam. Hal ini membuktikan, para wali penyebar Islam itu memiliki pemahaman pada agama dan problematika masyarakatnya yang sama baiknya.
Sikap itulah yang butuh dimiliki para tokoh agama dewasa ini. Kontektualisasi Islam dengan realitas sosial masyarakat Nusantara oleh para tokoh penyebar Islam dan berpengaruh pada berkembangnya Islam di Nusantara itulah yang belakangan disebut Islam Nusantara, utamanya setelah diangkat Nahdhatul Ulama sebagai tema besar dalam Muktamar PBNU Ke-33 di tahun 2015.
Penting menghubungkan antara konsep Islam Nusantara dengan ekonomi, utamanya terkait penanganan kemiskinan dan ketimpangan sosial, karena tipologi dakwah Islam Nusantara dinilai berhasil menyebarkan nilai-nilai Islam dalam peradaban Nusantara, yang ternyata sangat terkait erat dengan semangat ekonominya.
Bila ingin membahas lebih jauh diskursus hubungan Islam dan kemiskinan, utamanya di Indonesia, mesti berangkat dari pengetahuan akan masa lalu, agar terjadi kebersinambungan, untuk kemudian diambil pelajaran dan dikembangkan.
Teladan Para Wali
Para wali tercatat manis dalam sejarah masyarakat Nusantara bukan hanya karena jasanya dalam menyebarkan Islam, tetapi juga karena punya andil dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, termasuk usaha peningkatan ekonomi yang memang menjadi salah satu bidang strategis dakwah para wali. Kontribusi nyata bagi problematika masyarakat itulah yang membuat para wali diterima dalam mengajarkan nilai-nilai Islam. Karena, dakwah Islam bagi mereka tidak lepas dari kepedulian aktif pada kebutuhan masyarakat.
Tokoh penyebar Islam yang dikenal punya kepedulian pada orang-orang miskin adalah Sunan Drajat dan Syekh Malik Ibrahim. Sunan Drajat mendidik masyarakat sekitar untuk memperhatikan nasib kaum fakir miskin, mengutamakan kesejahteraan umat, memiliki empati, etos kerja keras, kedermawanan, pengentasan kemiskinan, usaha menciptakan kemakmuran, solidaritas sosial, dan gotong-royong (Agus Sunyoto, 2017).
Ajaran dakwahnya yang terkenal terangkum dalam pepali pitu (tujuh dasar ajaran), yang mencakup tujuh falsafah yang dijadikan pijakan dalam kehidupan masyarakat. Ajaran yang ketujuh itu sejalan dengan etos untuk mengutamakan kesejahteraan umat, yaitu menehono teken marang wong kang wuto, menehono mangan marang wong kang luwe, menehono busono marang wong kang wudo, wenehono pangiyub marang wong kang kaudanan.
(Berikan tongkat kepada orang buta; Berikan makan kepada orang yang lapar; Berikan pakaian kepada orang yang tak memiliki pakaian; Berikan tempat berteduh kepada orang yang kehujanan).
Sementara, Syekh Malik Ibrahim dikenang masyarakatnya yang diabadikan dalam nisannya, salah satunya sebagai tokoh yang “dermawan kepada fakir miskin (wa ghaisul-masâkîn wal-fuqarâ`)”.
Menghubungkan Islam dan ketimpangan sosial di Nusantara, mesti tidak melewatkan sepak terjang tokoh kontroversial Syekh Siti Jenar. Walau dikenal kontroversial dengan ajaran manunggaling kawulo gusti-nya, Agus Sunyoto mencatatnya sebagai tokoh pengusung gagasan komunitas baru dengan mengubah konsep feodalistik kawulo (hamba, budak) menjadi egaliter melalui pembukaan hunian-hunian baru yang disebut Lemah Abang.
Berakar dari pemahaman ketuhananya yang kental, Syekh Siti Jenar menanamkan suatu pemahaman bahwa semua makhluk di dunia pada hakikatnya sama di hadapan Tuhan. Kesetaraan tanpa membedakan stratifikasi sosial ini penting untuk menciptakan masyarakat yang terbebas dari ketimpangan sosial. Syekh Siti Jenar mengingatkan kita pada teladan Nabi Muhammad yang mampu membebaskan kaum lemah Makkah waktu itu dari penindasan para pemuka Quraisy.
Beberapa wali juga dikenal sumbangsihnya terhadap perkembangan alat produksi dan varian ekonomi masyarakat. Sunan Kudus dalam dakwahnya mengajarkan penyempurnaan alat-alat pertukangan, kerajinan emas, dan pande besi. Sunan Kalijaga dikenal sebagai wali serba bisa, yang salah satu profesinya yaitu perancang alat-alat pertanian. Tembang gubahanya, Lir-Ilir, menjadi tembang penyemangat dalam bekerja. Serta ada Sunan Majagung atau Raden Alim Abu Hurerah yang mengajarkan mengolah berbagai macam jenis masakan, lauk-pauk, memperbarui alat-alat pertanian, dan membuat gerabah.
Ekonomi dan Solidaritas Umat
Ekonomi menjadi salah satu faktor kuat dalam mendorong solidaritas umat beragama dalam mengatasi problematikanya. Bermula dari kebijakan penjajah Belanda yang dianggap menghambat ekonomi rakyat kebanyakan, solidaritas umat Islam waktu itu melahirkan gerakan besar dalam sejarah politik bangsa ini, yakni Perang Jawa.
Menurut Michael Laffan dalam The Makings of Indonesian Islam, alasan di balik perang yang dipimpin Pangeran Diponegoro ini terutama dipicu oleh penjarahan Yogyakarta oleh Inggris pada 1812, meningkatnya serbuan Belanda setelahnya, dan pelembagaan pajak pertanian oleh orang-orang Tionghoa.
Dalam sejarah permulaan era kebangkitan secara nasional di Indonesia, di mana kesadaran sebagai satu bangsa mulai terbentuk dan keinginan untuk merdeka mulai digalakkan, diskursus mengenai organisasi Sarekat Dagang Islam tidak bisa dilewatkan. Organisasi yang diklaim pendirinya H. Samanhudi lahir pada 16 Oktober 1905 ini, bertujuan untuk menghimpun para pedagang muslim (utamanya batik) untuk bersemangat politik dan membangkitkan semangat nasional melawan kapitalisme Belanda dan kapitalisme China yang telah mulai merajalela di tanah air pada saat itu. Organisasi ini nantinya menghasilkan tokoh-tokoh yang punya andil besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, seperti Tirto Adi Surjo, Tjokroaminoto, H Agus Salim, dan sebagainya.
Islam dan Ketimpangan Sosial
Islam tidak memaklumi kemiskinan. Sebaliknya, Islam menganjurkan manusia untuk berkecukupan dan bahkan Al-Quran menganjurkan untuk memperoleh kelebihan (Quraish Shihab, 1998). Karena salah satu bahaya dari kefakiran adalah dekat dengan sikap kufur nikmat Allah. Nabi Muhammad sering berdoa, “Allahumma inni a’udzubika minal kufri wal faqri” (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran dan kefakiran.”
Itulah mengapa, para tokoh Islam tercatat memiliki jejak sejarah dalam semangat ekonomi dan usaha pengentasan kemiskinan dan ketimpangan sosial. Mereka memprioritaskan ekonomi umat dalam perhatian mereka, peka terhadap problematika ekonomi umat, menciptakan sistem sosial-ekonomi yang adil, memperdayakan sumber daya umat dan menginisiasi gerakan kebangkitan ekonomi umat. Karena dengan majunya dan kesadaran ekonomi yang tinggi, Islam terbukti bisa tersebar di bumi Nusantara. Dan dengan usaha kontekstualisasi pada situasi dewasa ini lewat para tokoh agama pula, Islam akan luhur dengan mampu mendorong kebangkitan ekonomi bangsa ini.
Wallahu a’lam bish showab.
Refrensi
Agus Sunyoto, Atlas Walisongo: Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah , Cetakan VII, (Tangerang Selatan: Pustaka IIMaN, September 2017).
Michael Laffan, Sejarah Islam di Nusantara (Terjemahan The Makings of Indonesian Islam), Cetakan I, (Yogyakarta: Bentang Pustaka, September 2015).
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an:Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat, Cetakan VIII, (Bandung: Mizan, November 1998).