Wayang adalah seni pertunjukan tradisional yang sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya Nusantara. Saat Islam datang, seni wayang diadopsi sebagai media dakwah. Terjadilah akulturasi agama dan budaya seperti yang kita kenal hingga kini.
Jauh sebelum agama-agama masuk ke Nusantara, seni wayang sudah ada terlebih dulu. Dengan berbagai macam jenis-jenisnya, seperti wayang golek, wayang kulit, dan lain sebagainya. Tak hanya itu, seni wayang ini bukan hanya menawarkan hiburan, tetapi juga sebagai salah satu media untuk menyampaikan pesan moral dan nilai-nilai spiritual.
Sebenarnya, istilah “wayang” berasal dari tradisi Jawa Kuno, yang mempunyai arti dari segi etimologinya. Wayang bermakna Ma Hyang yang berarti “Menuju Hyang”.
Dalam tradisi Jawa Kuno, Hyang berarti “Tuhan”. Jadi dapat ditarik kesimpulan, bahwa seni wayang merupakan seni pertunjukan tradisional yang dapat mengantarkan manusia untuk mendekatkan diri kepada Sang Tuhan Yang Maha Esa, karena nilai dan pesan spiritual yang disampaikan.
Seni wayang ini juga sempat dijadikan media dakwah oleh para ulama terdahulu, khususnya Sunan Kalijaga. Karena perpaduannya dengan nilai-nilai agama begitu kuat, maka seni wayang ini sangat relevan jika dijadikan media dakwah.
Sebagai Media Dakwah
Wayang sangat berperan aktif sebagai media dakwah. Meskipun masyarakat Jawa sebelumnya sering menggunakan wayang sebagai hal-hal yang tidak berfaedah. Pada zaman dulu, pergelaran wayang sering dijadikan ajang minum-minuman keras, bercampur antara laki-laki dan perempuan. Setelah Islam mulai masuk ke Nusantara kurang lebih pada abad ke-13 Masehi melalui jalur perdagangan, pendidikan, dan dakwah, fungsi wayang diperbarui.
Banyak sekali jenis dakwah yang dilakukan oleh para ulama, khususnya Wali Songo pada masa itu. Sampai akhirnya Sunan Kalijaga mengadaptasikan wayang sebagai media dakwah, dengan mengubah arti dan makna dari wayang-wayang tersebut. Sejak itu, pergelaran wayang di era Sunan Kalijaga sangat dipenuhi oleh nilai-nilai spiritual dan keagamaan.
Dalam prosesnya, Sunan Kalijaga mencoba mentransformasikan sedemikian rupa supaya jauh berbeda dengan seni wayang di zaman Jawa Kuno. Dari mulai bentuk wayangnya, arti dari nama wayangnya, makna dari wayang yang dibuat, hingga tata cara mengikuti pergelaran wayang diperbarui oleh Sunan Kalijaga.
Tetapi para wali, khususnya Sunan Kalijaga memang tidak semerta-merta langsung menjadikan wayang sebagai media dakwah ketika itu. Sebelum sampai pada keputusan wayang bisa dijadikan media dakwah, para wali berunding bersama dengan Sultan Demak. Perundingan itu menghasilkan 9 poin kesepakatan.
Pertama, seni wayang harus mempunyai perubahan yang signifikan seiring perkembangan zaman. Dengan begitu, seni wayang yang digunakan untuk media dakwah berbeda dengan seni wayang yang ada di zaman Jawa Kuno.
Kedua, Seni wayang harus bisa dijadikan sebagai media dakwah, bukan lagi sebatas sebagai hiburan dan tempat bermaksiat seperti sebelumnya.
Ketiga, wayang yang ketika dulu bentuknya sama persis seperti bentuk manusia pada umumnya harus diubah. Perubahan bentuk harus dilakukan karena menurut Islam segala sesuatu yang menyerupai postur manusia dihukumi haram.
Keempat, cerita-cerita yang dibawakan harus bernuansa Islam untuk menghindari kemusyrikan. Sebelumnya, cerita yang digunakan adalah cerita-cerita mitologi atau bisa juga legenda, seperti, cerita Mahabharata, yang di dalamnya ada tokoh-tokohnya, yang nanti diubah sedemikian rupa dengan versi Islam.
Kelima, pergelaran wayang tidak hanya sebagai hiburan semata, melainkan harus bernuansa ke-islaman, seperti menceritakan tentang keimanan, ibadah, akhlak, dan sopan santun. Dengan demikian pertunjukan wayan akan lebih bermanfaat.
Keenam, kisah wayang yang menceritakan tentang dewa-dewa pada wayang asli, harus diubah dan digambarkan mempunyai sifat-sifat ketuhanan atau ketauhidan.
Ketujuh, menerima tokoh dan cerita wayang hanya sebagai lambang saja yang perlu dimodifikasi dan ditafsirkan sesuai dengan ajaran Islam. Misalnya, tokoh Semar diganti menjadi “simaruddin” yang berarti “pakunya agama”. Dalam kisah Mahabharata ada cerita bahwa Drupadi adalah istri para Pandawa. Karena dalam Islam perempuan tidak boleh poliandri, maka versi Islam hanya istri Yudhistira saja.
Kedelapan, pertunjukan wayang harus diatur sama halnya seperti orang yang sedang salat dalam masjid. Sunan Kalijaga, misalnya, menganjurkan kepada masyarakat jika menonton pertunjukan wayang di halaman masjid berwudhu dulu. Yang belum bisa wudhu, diajari berwudhu. Juga ada aturan, sebelum memasuki halaman masjid harus membaca syahadat dulu. Dengan tata cara tersebut, perlahan Wali Songo mengajak masyarakat masuk Islam.
Kesembilan, seluruh unsur seni wayang harus memberi makna yang sesuai dengan ajaran Islam, termasuk alat-alat gamelan yang digunakan. Orang yang memainkan wayang dikenal dengan dalang. Istilah dalang diberi makna baru menjadi ngudal piwulang, yang berarti pemberi nasihat. Senjata paling ampuh milik Puntodewo atau Yudhistira adalah Kalimosodo, dalam cerita wayang versi Wali Songo dimaknai sebagai kalimat syahadat. Dalam cerita wayang, pemiliknya tidak bisa meninggal sebelum mampu memecahkan misteri dalam jimat Kalimosodo itu. Singkatnya, dia mengembara sampai ke Demak dan bertemu seorang wali yang membaca isi dari jimat Kalimosodo itu, yang ternyata isinya adalah kalimat syahadat. Setelah bisa membacanya, barulah kemudian dia meninggal. Kisah ini mengajarkan kepada kita agar tidak meninggal dalam keadaan tidak muslim.
Spiritualitas Islam
Spiritualitas Islam dalam wayang tidak hanya tercermin dalam kisah-kisah yang disampaikan, tapi juga dalam simbol-simbol, dialog, dan karakter tokoh-tokohnya.
Dalam pertunjukan wayang, setiap poin, setiap unit yang ada pada wayang, masing-masing memiliki makna. Misalnya, lampu yang digunakan dalam pertunjukan wayang disebut blencong. lampu ini biasanya menggunakan gambar burung, yang berarti “cahaya Ilahi” atau cahaya ketuhanan. Sehingga, kalau blencong ini tidak ada, maka pertunjukan wayang tidak akan berlangsung, karena yang membuat cerahnya kehidupan adalah “cahaya” itu atau blencong.
Tata cara peletakan wayang pun memiliki arti sendiri. Wayang yang diletakan di sebelah kanan, biasanya dimaknai tokoh-tokoh protagonis. Adapun, wayang yang diletakan di sebelah kiri, biasanya dimaknai tokoh-tokoh antagonis. Dua kelompok wayang ini menggambarkan makhluk ciptaan Tuhan yang ada di muka bumi, ada yang baik dan ada yang buruk.