Stoikisme, Islam, dan Titik Temu Ajarannya

989 kali dibaca

Stoikisme merupakan aliran filsafat yang memiliki akar dan tumbuh pada masa Yunani kuno. Ajaran-ajaran yang dibawanya, telah memikat pikiran dan hati banyak orang selama berabad-abad.

Didirikan oleh Zeno dari Citium pada awal abad ke-3 SM, stoikisme berkembang menjadi salah satu sekolah pemikiran yang paling berpengaruh dalam sejarah filsafat Barat. Nama “stoikisme” sendiri berasal dari kata “stoa poikile” atau “serambi berhias”, tempat di mana Zeno biasa mengajar murid-muridnya di Athena.

Advertisements

Tokoh-tokoh seperti Seneca, Epictetus, dan Marcus Aurelius kemudian mempopulerkan ajaran stoikisme, membawanya dari akar Yunani ke peradaban Romawi. Melalui tulisan-tulisan mereka yang mendalam dan praktis, stoikisme menjadi panduan hidup yang dianut oleh berbagai lapisan masyarakat, mulai dari budak hingga kaisar.

Kekuatan stoikisme terletak pada kemampuannya untuk menawarkan kebijaksanaan yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, terlepas dari status sosial atau keadaan eksternal seseorang.

Kemudian beberapa tokoh ternama seperti Epictetus, Seneca dan Marcus Aurelius juga turut mempopulerkan ajaran stoikisme, dan membawanya dari akar Yunani ke peradaban Romawi. Melalui karya-karya yang mereka tulis, ajaran dari stoikisme kemudian menjadi panduan hidup bagi masyarakat dari berbagai lapisan, baik itu budak hingga kaisar.

Stoikisme memiliki kekuatan atas kemampuannya dalam menawarkan kebijaksanaan yang dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, tanpa terikat oleh status sosial ataupun keadaan eksternal individu.

Inti dari ajaran stoikisme adalah konsep hidup selaras dengan alam dan akal budi. Para pengikut stoikisme percaya bahwa kebahagiaan sejati tidak bergantung pada keadaan eksternal, melainkan pada kemampuan seseorang untuk mengendalikan pikiran dan emosinya. Mereka mengajarkan pentingnya menerima hal-hal yang di luar kendali kita dengan ketenangan, sambil fokus pada pengembangan karakter dan kebajikan sebagai satu-satunya hal yang benar-benar dapat kita kendalikan.

Stoikisme menekankan empat kebajikan utama: kebijaksanaan, keadilan, keberanian, dan pengendalian diri. Para filsuf Stoik mengajarkan bahwa dengan mengembangkan kebajikan-kebajikan ini, seseorang dapat mencapai keadaan ataraxia (kedamaian batin) dan eudaimonia (kebahagiaan atau kesejahteraan). Mereka juga menekankan pentingnya menjalani hidup sesuai dengan prinsip-prinsip moral, terlepas dari konsekuensi atau imbalan eksternal.

Korelasi Stoikisme dengan Islam

Di sisi lain, Islam, sebagai agama yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW pada abad ke-7 Masehi, membawa pesan universal tentang penyerahan diri kepada Allah dan hidup sesuai dengan kehendak-Nya. Meskipun berasal dari tradisi yang berbeda, Islam dan stoikisme memiliki beberapa titik temu yang menarik untuk dieksplorasi.

Beberapa kesamaan mendasar antara stoikisme dan Islam adalah, pertama, penekanan pada pengendalian diri dan penerimaan terhadap takdir.

Dalam stoikisme, konsep ini dikenal sebagai “amor fati” atau cinta pada nasib, sementara dalam Islam, ini tercermin dalam konsep “tawakkal” atau berserah diri kepada Allah setelah berusaha. Kedua tradisi mengajarkan bahwa kedamaian batin dapat dicapai melalui penerimaan atas hal-hal yang di luar kendali kita.

Stoikisme dengan empat kebajikan utamanya memiliki keselarasan dengan konsep akhlak dalam Islam. Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad SAW penuh dengan ajaran tentang pentingnya memiliki sifat-sifat terpuji seperti kejujuran, kesabaran, keberanian, dan kebijaksanaan.

Dimensi pengendalian diri di atas, menjadi aspek sentral baik dalam ajaran Stoikisme maupun Islam. Stoikisme mengajarkan bahwa emosi yang tidak terkendali (pathos) dapat mengaburkan penilaian rasional dan mengganggu ketenangan batin. Mereka menekankan praktik seperti meditasi dan refleksi diri untuk mengembangkan disiplin emosional.

Senada dengan itu, Islam juga sangat menekankan pengendalian diri atau mujahadah an-nafs. Al-Qur’an menyebut orang-orang yang mampu mengendalikan diri sebagai orang-orang yang beruntung.

Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa “Orang kuat bukanlah orang yang menang dalam pergulatan, tetapi orang kuat adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.”

Baik Stoikisme maupun Islam memandang pengendalian diri bukan sebagai pengekangan, melainkan sebagai jalan menuju kebebasan sejati dari belenggu hawa nafsu dan emosi yang merusak.

Kedua, yakni berkenaan dengan konsep rasionalitas dan penggunaan akal budi yang juga menjadi titik temu antara kedua tradisi ini. Stoikisme sangat menekankan pentingnya hidup sesuai dengan akal, sementara Islam berulang kali mengajak umatnya untuk menggunakan akal dalam memahami ayat-ayat Allah, baik yang tertulis (Al-Qur’an) maupun yang terhampar di alam semesta.

Pandangan tentang kesederhanaan dan zuhud (asketisme) menjadi area di mana stoikisme dan Islam menekankan ajarannya. Para filsuf Stoik mengajarkan untuk tidak terlalu terikat pada hal-hal duniawi, sebuah prinsip yang juga ditekankan dalam ajaran Islam. Nabi Muhammad SAW sendiri dikenal dengan gaya hidupnya yang sederhana, meskipun memiliki kesempatan untuk hidup dalam kemewahan.

Meski demikian, ada hal yang juga penting untuk digarisbawahi, bahwa terdapat perbedaan fundamental antara stoikisme sebagai filsafat dan Islam sebagai agama wahyu. Stoikisme lebih berfokus pada pencapaian kebajikan melalui usaha manusia semata, Islam menekankan hubungan personal dengan Allah sebagai sumber utama petunjuk dan kekuatan moral.

Stoikisme, sebagai sistem etika yang dibangun oleh manusia, tidak memiliki konsep ketuhanan yang personal seperti dalam Islam. Bagi seorang Muslim, tujuan akhir bukanlah sekadar mencapai ataraxia, melainkan mendapatkan ridha Allah dan kebahagiaan di akhirat. Tetapi hal tersebut bukan berarti stoa menafikan keberadaan Tuhan Sebagaimana dalam ajaran agama Islam. Melainkan karena memang stoikisme lahir dan berkembang jauh sebelum Islam dibawakan oleh Nabi Muhammad SAW.

Tentu selain dari apa yang telah dipaparkan di atas, masih banyak prinsip-prinsip stoikisme yang sejalan dengan ajaran Islam dan dapat memperkaya pemahaman seorang Muslim tentang bagaimana menjalani kehidupan yang bermoral dan bermakna.

Kemudian, menjembatani antara kedua ajaran tersebut, juga menunjukkan bahwa meskipun berasal dari tradisi yang berbeda, manusia di berbagai belahan dunia dan zaman telah merenungkan pertanyaan-pertanyaan mendasar yang sama tentang bagaimana menjalani kehidupan yang baik dan bermakna, dan bagaimana mencapai kebijaksanaan tanpa meninggalkan serta menanggalkan hubungan dengan yang transendental.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan