Modernisasi telah merambah hampir ke seluruh wilayah di Indonesia. Setidaknya ada beberapa hal yang dapat menandai derasnya arus modernisasi yang terjadi.
Rasionalisasi, pertumbuhan, dan perubahan suatu daerah yang terus bergeser secara signifikan, adopsi yang tinggi terhadap teknologi dalam kehidupan sehari-hari adalah contohnya.
Sebagaimana menurut Rossenberg yang dikutip oleh Aris, bahwa modernisasi dapat dilihat melalui sebuah kebiasaan baru yang berkaitan dengan perkotaan, termasuk sejauh mana dan bagaimana karakteristik pedesaan dalam suatu kelompok masyarakat dapat berubah atau hilang.
Dalam beberapa dekade terakhir ini, perkembangan peradaban yang sangat pesat telah mampu mengubah lanskap kehidupan masyarakat secara signifikan. Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, dan Yogyakarta, saat ini menjadi pusat pertumbuhan ekonomi, pendidikan, dan juga berbagai aktivitas modern lainnya.
Fenomena urbanisasi yang begitu masif, turut mendorong pertumbuhan populasi di wilayah perkotaan. Sehingga, kehidupan di kota-kota besar kini menjadi semakin padat dan dinamis. Hal tersebut dapat ditandai dengan tingginya mobilitas penduduk, kesibukan aktivitas sehari-hari, serta hiruk-pikuk yang menjadi ciri khas kehidupan urban.
Masyarakat urban pada akhirnya dihadapkan pada tantangan untuk mengikuti laju perkembangan kota yang semakin pesat, namun mereka sekaligus berupaya menyeimbangkan berbagai aspek kehidupan, seperti karir, pendidikan, interaksi sosial, dan kebutuhan personal lainnya.
Dampak dari perkembangan pesat kota-kota besar ini telah mengubah pola kehidupan masyarakat perkotaan, baik dari segi gaya hidup, cara berpikir, maupun dinamika sosial-budaya yang ada.
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan perkotaan yang serba dinamis dan mengejar pencapaian dalam berbagai aspek, masyarakat perkotaan juga seringkali dibenturkan pada problematika kehidupan personal untuk mencari makna dan keseimbangan dalam menjalani kehidupan. Tuntutan pekerjaan, rutinitas harian yang padat, serta gaya hidup konsumtif, kerapkali membuat individu-individu yang hidup di wilayah perkotaan merasa kehilangan pegangan dalam memaknai eksistensi diri dan tujuan hidup mereka yang lebih bermakna.
Kesibukan dan tekanan kehidupan modern tidak jarang menimbulkan rasa hampa, stres, dan krisis spiritual yang dapat berdampak pada kesehatan mental dan well-being individu. Dalam situasi demikian, kemudian muncul kebutuhan untuk mencari makna hidup dan mencapai keseimbangan diri di tengah dinamika perkotaan yang serba kompleks.
Menanggapi krisis spiritual dan kebutuhan untuk mencari makna hidup di tengah kompleksitas dan intensitas kehidupan kota, muncul kecenderungan di kalangan masyarakat perkotaan untuk mencari pemenuhan kebutuhan spiritual.
Spiritualitas dipandang sebagai jalan untuk menemukan keseimbangan hidup, memaknai eksistensi diri, serta mencapai kedamaian batin di tengah hiruk-pikuk kehidupan kota yang seringkali melelahkan secara fisik dan mental.
Upaya untuk memenuhi kebutuhan spiritual ini, kemudian memunculkan berbagai gerakan dan praktik spiritual yang unik dan khas di wilayah perkotaan. Masyarakat urban mulai terbuka terhadap eksplorasi dan propagasi spiritualitas melalui berbagai saluran serta platform yang lebih akrab dengan gaya hidup mereka, seperti komunitaskomunitas spiritual, kajian-kajian keagamaan di ruang publik, hingga praktik meditasi dan pengembangan diri.
Fenomena perkembangan gerakan dan praktik spiritual di wilayah perkotaan merupakan suatu gejala yang menarik untuk dikaji lebih mendalam. Di satu sisi, hal ini mencerminkan adanya upaya masyarakat urban untuk memenuhi kebutuhan spiritual mereka di tengah kehidupan modern yang seringkali dikritik sebagai materialistis dan kehilangan makna.
Namun di sisi lain, ini juga menunjukkan adanya dinamika baru dalam praktik spiritual yang menyesuaikan diri dengan konteks kehidupan perkotaan. Gerakan-gerakan spiritual yang muncul di wilayah perkotaan kerapkali memanfaatkan pendekatan yang lebih kontemporer, inklusif, dan adaptif terhadap gaya hidup masyarakat kota.
Sebagai contoh, banyak komunitas spiritual di perkotaan yang menggabungkan unsur-unsur tradisional dengan nuansa modern, seperti menggunakan media sosial untuk mempromosikan kegiatan mereka, mengadakan sesi meditasi atau kajian di tempat-tempat umum seperti kafe atau pusat komunitas, serta menawarkan program-program pengembangan diri yang relevan dengan kebutuhan masyarakat urban.
Fenomena ini juga menunjukkan adanya kecenderungan masyarakat kota untuk mencari spiritualitas di luar jalur mainstream atau institusi keagamaan formal, seiring dengan meningkatnya individualisme dan keinginan untuk menemukan makna spiritual secara mandiri.
Salah satu hal yang menarik dari perkembangan praktik spiritual di wilayah perkotaan adalah adanya pergeseran tempat pelaksanaan kegiatan tersebut. Jika sebelumnya praktik spiritual seperti pengajian, kajian kitab, atau ritual keagamaan lebih banyak dilakukan di tempat-tempat khusus seperti masjid, padepokan, pesantren, atau rumah-rumah ibadah, kini terjadi pergeseran ke arah penggunaan tempat-tempat umum yang lebih akrab dengan kehidupan masyarakat perkotaan.
Urban sufisme merupakan istilah yang dikenalkan oleh Julia Day Howell dalam tulisannya yang mengkaji mengenai tumbuhnya gairah masyarakat kelas menengah perkotaan terhadap dimensi spiritual. Hal itu ditandai dengan munculnya kalangan masyarakat perkotaan yang tertarik terhadap kajian-kajian sufisme.
Urban sufisme dianggap dapat mengatasi terhadap kekeringan spiritual dalam kehidupan masyarakat urban yang bisa menjadi akar dari berbagai problematika perkotaan, baik bagi ranah individu maupun kolektif.
Beberapa contoh tempat umum yang kini dimanfaatkan untuk kegiatan urban sufisme antara lain adalah kafe, pusat komunitas, taman kota, atau bahkan ruang kantor. Pemilihan lokasi ini tidak hanya menjadikan praktik spiritual-sufisme lebih aksesibel bagi masyarakat kota yang cenderung lebih dekat dengan kehidupan modern, tetapi juga menciptakan suasana yang lebih santai dan terbuka dalam menjelajahi spiritualitas.
Hal tersebut juga merefleksikan adanya keinginan masyarakat urban untuk memaknai kehidupan mereka melalui pencarian spiritualitas dan juga akseptasi terhadap ajaran-ajaran keagamaan tanpa harus meninggalkan gaya hidup dan lingkungan yang sudah menjadi bagian dari keseharian mereka.
Urban sufisme yang diselenggarakan di tempat umum seperti kafe sebagaimana telah disinggung di atas, merupakan contoh menarik dari praktik spiritual masyarakat perkotaan yang patut diteliti lebih lanjut. Kegiatan ini menunjukkan adanya upaya untuk membawa spiritualitas lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat kota. Proliferasi sufisme yang biasanya dilakukan di lingkungan pesantren atau majelis-majelis khusus, kini diadaptasikan ke dalam suasana yang lebih santai dan akrab dengan gaya hidup modern, yakni di kafe.
Fenomena ini mencerminkan bahwa masyarakat urban memiliki kebutuhan untuk mempelajari dan memperdalam spiritualitas tanpa harus meninggalkan rutinitas dan lingkungan kehidupan mereka sehari-hari.
Dengan menggelar kajian di kafe, nilai-nilai spiritual dapat disampaikan dan didiskusikan dalam suasana yang lebih rileks, sehingga lebih mudah diterima oleh kalangan masyarakat urban yang kerapkali memiliki kesibukan dan gaya hidup yang dinamis.
Selain itu, maraknya perhatian masyarakat kota terhadap urban sufisme juga menunjukkan adanya kecenderungan untuk mengakses spiritualitas di luar jalur mainstream atau institusi keagamaan formal.
Masyarakat urban nampaknya merasa lebih tertarik untuk menjelajahi spiritualitas melalui pendekatan yang lebih kontemporer dan sesuai dengan konteks kehidupan mereka. Kajian sufisme melalui kitab-kitab tasawuf di kafe, menjadi salah satu ekspresi dari keinginan masyarakat urban untuk menemukan makna spiritual secara lebih mandiri dan kontekstual dengan kehidupan modern mereka, serta juga merupakan representasi dari upaya masyarakat urban untuk mengonstruksi makna spiritualitas secara aktif dan adaptif.
Dengan mengangkat kajian atas karya-karya tasawuf klasik yang kaya akan nilai-nilai spiritual ke dalam setting modern seperti kafe, masyarakat kota berupaya untuk menegosiasikan dan menginterpretasikan ajaran-ajaran tersebut sesuai dengan konteks kehidupan mereka saat ini.
Proses ini mencerminkan adanya konstruksi makna spiritual yang dinamis, di mana masyarakat urban berusaha untuk mengintegrasikan nilai-nilai spiritual dengan realitas kehidupan modern yang mereka jalani sehari-hari. Melalui fenomena ini, dapat dilihat bagaimana praktik spiritual mengalami transformasi dan penyesuaian agar tetap relevan dan bermakna bagi kehidupan masyarakat di wilayah perkotaan.
Kafe Mainmain
Salah satu lokasi yang menjadi sorotan dalam suatu fenomena propagasi kajian sufisme adalah Kafe Mainmain yang terletak di tengah kota Yogyakarta. Kafe ini bukan sekadar tempat menikmati hidangan dan minuman seperti pada umumnya, melainkan juga menjadi ruang bagi kegiatan konstruksi dan diseminasi spiritual berupa kajian kitab tasawuf karya Ibnu Arabi, seorang tokoh sufi ternama dalam sejarah Islam.
Kafe Mainmain memiliki latar belakang yang unik. Selain menyediakan fasilitas kafe pada umumnya, tempat ini juga didesain sedemikian rupa agar dapat mengakomodasi kegiatan kajian dan diskursus keilmuan secara nyaman.
Hal tersebut dibuktikan dengan dibangunnya sebuah toko buku di area kafe, juga perpustakaan yang berisi bermacam literatur mulai dari buku-buku klasik hingga modern. Begitupun dengan kegiatan-kegiatan keagamaan seperti salawatan yang seringkali dilaksanakan di kafe ini, menghadirkan suasana harmoni yang tercipta di Kafe Mainmain yang merupakan perpaduan antara nuansa modern kafe dengan atmosfer khusyuk kegiatan spiritual.
Keberadaan Kafe Mainmain sebagai lokasi proses diseminasi sufisme menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat perkotaan yang berada di Yogyakarta. Tempat tersebut seolah menjadi oasis bagi kalangan masyarakat kota yang ingin memperdalam spiritualitas tanpa harus meninggalkan gaya hidup urban mereka. Fenomena ini menarik untuk diteliti lebih lanjut sebagai salah satu bentuk konstruksi spiritualitas masyarakat perkotaan yang khas dan unik.
Dengan fokus utama dari kajian tasawuf yang diselenggarakan di Kafe Mainmain Yogyakarta adalah karya Ibnu Arabi—seorang tokoh sufi ternama dari abad ke-12—, semakin memantapkan bahwa kegiatan tersebut adalah cerminan dari praktik sufisme perkotaan yang akhir-akhir ini marak dibincangkan.
Ibnu Arabi—dengan nama lengkap Abu Bakr Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin Ahmad bin ‘Abdullah al-Hatimi ath-Tha’i—lahir di Mursia, Spanyol pada tahun 1165 M. Beliau dikenal sebagai salah satu tokoh sufi terkemuka dalam sejarah tasawuf Islam yang memiliki pengaruh besar dalam perkembangan pemikiran tasawuf di dunia Islam.
Karya Ibnu Arabi yang menjadi fokus kajian di Kafe Mainmain, yaitu Risalah Al-Anwar. Kitab ini mengandung ajaran-ajaran tasawuf yang mendalam dan kompleks, seperti konsep tentang kesatuan wujud (wahdat al-wujud), hakikat ketuhanan, dan pencapaian makrifat (pengetahuan spiritual). Pemikiran Ibnu Arabi seringkali dianggap kontroversial namun juga mencerminkan keluasan wawasan dan kedalaman spiritual yang luar biasa.
Pengkajian atas karya-karya Ibnu Arabi di Kafe Mainmain menjadi menarik karena menunjukkan adanya upaya masyarakat urban untuk memahami dan menginterpretasikan ajaran-ajaran tasawuf klasik dalam konteks kehidupan modern mereka.
Fenomena ini mencerminkan adanya kecenderungan untuk menjelajahi spiritualitas secara lebih mendalam, sekaligus menegosiasikan makna dan relevansinya bagi kehidupan masyarakat perkotaan masa kini.