Sukoreno, Potret Desa Multikultural di Jember

207 views

Bumi Pertiwi ini lahir dengan keragaman ras, budaya, suku, agama, dan bahasa yang bermacam-macam. Termasuk Sukoreno, salah satu desa yang dikenal sebagai miniatur Indonesia. Desa yang letaknya di sebelah selatan Kabupaten Jember, Jawa Timur, ini memiliki sejarah yang unik.

Awalnya desa ini bernama Gumuk Lengar, yang diambil dari sebuah Bukit Padas yang sering didatangi orang untuk menggali padas. Suatu waktu, di bawah pohon suko atau kembang suko yang bunganya 4 macam warna, ditemukan sebuah arca. Setelah penemuan arca itu, nama desa diganti dengan Desa Sukoreno yang mempunyai arti bermacam-macam kesenangan.

Advertisements

Keberagaman agama dan kepercayaan serta budaya yang ada menjadi ciri khas dari desa ini. Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Jember mencatat, pada 2020 jumlah pemeluk agama Islam terdiri 7.152 orang, Kristen Protestan 35 orang, Katolik 110 orang, Hindu 124 orang, penganut aliran kepercayaan Sapta Darma 70 dan penganut Aliran Kepercayaan Ilmu Sejati 25 orang.

Unik memang, karena banyaknya agama dan kepercayaan tidak mengurangi solidaritas dan semangat toleransi di antara mereka. Sebagai bukti, banyak rumah ibadah berdiri saling berdampingan. Misalnya, antara masjid, gereja, dan pura berdiri berjarak hanya kurang lebih dua ratus meter.

Yang lebih menarik dari desa ini, warganya memilih untuk saling membantu dalam pembangunan rumah ibadah. Misalnya, saat dilakukan pembangunan rumah ibadah Penghayat Kepercayaan Sapta Darma, banyak warga muslim yang ikut serta membantu, termasuk proses pendirian Sanggar Candi Busana (sebutan bagi rumah ibadah kepercayaan).

Begitupula saat ada acara kematian dari warga penghayat Kepercayaan Sapta Darma, warga umat muslim pun datang untuk memberikan penghormatan kepada warga yang meninggal dan mengantarkannya hingga ke pemakaman. Terkadang pada malam harinya, warga setempat terutama yang beragama Islam, dipandu oleh tokoh agama dari umat muslim, diundang untuk memimpin doa bagi warga penghayat yang meninggal.

Bentuk solidaritas antar-umat beragama yang terbangun membuat para warganya merasa nyaman dan tentram. Hal seperti ini menjadi pemandangan yang indah yang bisa dan biasa ditemui di Sukoreno.

Salah satu tokoh Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) dari agama Islam, Syamsul Bahri, menyebutkan, sikap toleransi dibutuhkan untuk bisa saling menghormati antarsesama dan menghargai perbedaan yang ada. Hal ini terbukti dengan adanya langgar dan sanggar yang berdampingan, tidak mengikis tali persaudaraan di antara mereka.

Masyarakat di desa ini selalu mengedepankan sikap terbuka dengan segala perbedaan.nya Menjaga untuk tidak saling mengganggu saat penghayat atau warga muslim menjalankan ibadah. “Jalan terbaik dalam hal toleransi antarumat beragama dalam urusan peribadatan kepada Tuhan sudah jelas ada dalam surat Al-Kafirun ayat 6, yaitu lakumdinukum wa liyadiin, untukmu agamamu dan untukku agamaku,”  ujarnya.

Menurutnya, seluruh umat manusia tidak akan menolak adanya keragaman, karena hal ini merupakan sunnatullah. Karena itu, toleransi merupakan aspek fundamental dalam membangun masyarakat yang harmonis dan sejahtera baik mental maupun spiritual.

Dengan toleransi ini, ada kesempatan yang sama bagi semua golongan bahkan pada kelompok minoritas di Desa Sukoreno, dalam hal ini adalah para penghayat Kepercayaan Sapta Darma dalam mendapatkan hak-haknya.

Tentu toleransi akan melibatkan prinsip keadilan, kesetaraan, dan rasa empati terhadap kondisi orang lain. Namun, terkadang masih saja ditemukan bentuk intoleran, terutama kepada sekelompok para penghayat kepercayaan. Sikap intoleran ini memunculkan diskriminasi dan stigma. Seperti stigma “sesat” yang kerap diterima kelompok Sapta Darma oleh sebagian kelompok yang lain atau tidak adanya fasilitas pembelajaran yang mendukung anak-anak penghayat kepercayaan. Akibatnya mereka harus “teragamakan”.

Adanya stigma pada penghayat kepercayaan bisa disebabkan oleh beberapa faktor. Yang pertama kebijakan negara yang semakin meminggirkan penghayat kepercayaan dalam kehidupan beragama. Selain itu, adanya perbedaan antara agama dan kepercayaan juga menjadi salah satu penyebab munculnya diskriminasi dan stigma.

Stigma dan bentuk diskriminasi ini tentu akan mempengaruhi kondisi psikologis mereka. Namun, kelompok masyarakat terutama dalam kalangan umat muslim mampu meredam adanya bentuk diskriminasi dan stigma yang dialami oleh penghayat Sapta Darma. Ini dibuktikan dengan adanya beberapa warga muslim yang membantu dalam proses pembangunan sanggar, dan kehadiran tokoh masyarakat muslim dalam acara yang diadakan oleh penghayat seperti kegiatan gotong royong dan ritual acara-acara besar.

Terkadang tokoh masyarakat dari kalangan muslim juga memfasilitasi dialog antara agama dan penganut kepercayaan untuk bisa saling bertukar pikiran demi kemajuan desanya. Adanya ruang-ruang dialog antara warga baik dari umat beragama dan penghayat kepercayaan menjadi salah satu jalan keluar meredam konflik identitas.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan