Ketika masih hidup, KH Abdurrahman Wahid alis Gus Dur dikenal dekat dengan seorang kiai yang justru tak sepopular kiai-kiai kondang. Saban ke Jember, baik resmi maupun diam-diam, Gus Dur selalu menyempatkan diri berkunjung, silaturrahmi, sungkem, kepadanya. Dan ini sudah menjadi “rahasia umum” di kalangan Nahdliyin di Jawa Timur, khususnya Jember.
Kiai dimaksud adalah KH Khotib Umar, pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Sumberwiringin, Jember. Seperti halnya Gus Dur, Kiai Khotib Umar juga telah lama berpulang. Kiai Khotib Umar adalah generasi ketiga dalam kepemimpinan Pesantren Raudlatul Ulum. Tapi, apa yang dilakukan Gus Dur itu menyisakan gambaran akan posisi “kewibawaan” Pesantren Raudlatul Ulum dan ketokohan kiai-kiai yang mengasuhnya. Raudlatul Ulum adalah salah satu pesantren salaf tertua, dan hingga kini tetap eksis dengan beberapa modifikasi model kepeminpinan pesantrennya.
Menjadi Kiai Umar
Meskipun menyandang nama Raudlatul Ulum, orang lebih sering menyebutnya dengan Pondok Sumberwringin, merujuk pada lokasi pesantren ini berada, yaitu Desa Sumberwringin, Kecamatan Sukowono, Kabupaten Jember, Jawa Timur. Sebagai salah satu yang tertua, tentu Pondok Sumberwringin memiliki sejarah yang panjang.
Pada mulanya, Pondok Sumberwringin ini diasuh oleh KH M Syukri, paman ipar dari KH Umar, ayahanda Kiai Khotib Umar. Pesantren ini didirikan oleh K Syukri pada 1912. Kondisi sosial masyarakat Sukowono yang saat pesantren ini mulai didirikan dinilai jauh dari nilai-nilai agama Islam. Inilah yang mendorong Kiai Syukri mendirikan pondok pesantren salaf di daerah tersebut. Di masa-masa awal itu, dalam mengajarkan pendidikan agama K Syukri langsung memberikan pendampingan kepada masyarakat dalam bentuk pengajian. Pengajian kitab dilakukan dengan metode sorogan dan wetonan. Pada 1912 itu, baru ada sekitar 15 orang yang berasal mengaji. Mereka berasal dari daerah sekitar.
Pada 1930, kepemimpinan Pondok Sumberwringin beralih ke Kiai Umar setelah KH M Syukri wafat. Kiai Umar sendiri terlahir dengan nama Abdul Mushowwir pada 1904 dari pasangan Kiai Ahmad Ikram dan Nyai Aminah. Ia lahir di Desa Suko, Kecamatan Jelbuk, Jember.
Sejak kecil, ia belajar mengaji kepada ayahnya. Menjelang remaja, Mushowwir dikirim ke Pesantren Banyuanyar, Pamekasan, Madura. Ngaji di bawah KH Abdul Hamid tersebut, Mushowwir dikenal sebagai santri yang tawadlu kepada guru. Misalnya, saban hari Mushowwir menimbakan air untuk keperluan mandi sang guru. Setelah lama nyantri di Madura, Mushowwir pulang ke Jember, dan kemudian belajar lagi di beberapa pesantren di Jember, seperti di Pondok Sumberwringin yang diasuh paman iparnya dan ke Pesantren Al-Wafa, Tempurejo, Jember asuhan KH Abdul Azis. Terakhir, Mushowwir tercatat mondok Pesantren Ya’kub Hamdani di Siwalan, Panji, Sidoarjo yang diasuh KH Khozin.
Meskipun sudah nyantri di berbagai pesantren, Mushowwir sebenarnya masih ingin terus menjadi santri kelana. Namun, karena kondisi KH M Syukri sudah uzur dan mulai sakit-sakitan, Mushowwir akhirnya lebih memilih pulang ke Pesantren Raudlatul Ulum. Saat itu, Mushowwir yang sudah ditunangkan dengan putri Kiai Syukri, Shofiah, mulai menggantikan peran sang calon mertuanya, mengasuh pondok.
Tak lama kemudian, Kiai Syukri berpulang setelah beberapa sebelumnya menikahkan pasangan Mushowwir-Shofiah. Sejak saat itu, Mushowwir memegang penuh kepemimpinan pesantren. Namun, setelah itu Mushowwir justru pergi ke Tanah Suci Mekkah selama 7 bulan, salah satunya untuk berhaji. Pulang dari haji, Mushowwir membawa nama baru: KH Muhamamd Umar. Sejak saat itulah, pengasuh baru Pondok Sumberwringin ini berjuluk Kiai Umar.
Markas Perjuangan
Di bawah kepemimpinan Kiai Umar inilah Pondok Sumberwringin kawah candradimuka baik bagi pengembangan semangat juang maupun keilmuan. Di bawah kepemimpinan Kiai Umar, Raudlatul Ulum semakin mengakar di tengah masyarakat. Kiai Umar benar-benar mewarisi karakteristik Kiai Syukri dalam mendidik santri. Dalam beberapa tahun kemudian, Pondok Sumberwringin berkembang menjadi pesantren salaf yang sangat disegani.
Di saat bersamaan, Pondok Sumberwringin juga memerankan diri sebagai markas perjuangan dan perlawanan terhadap penjajah. Seperti diketahui, saat itu pemerintahan penjajah Belanda tengah mencengkeramkan kuku kekuasaannya. Di bawah komando Kiai Umar, terdapat 250 pejuang yang bermarkas di pesantren tersebut. Para pejuang ini, pada siang hari berlaku seperti santri; bersarung dan mengaji. Namun, pada malam hari, mereka melakukan gerilya, perang melawan tentara Belanda.
Suatu ketika, markas bayangan ini terendus Belanda. Akhirnya, Belanda mengerahkan 4 truk serdadu dengan senjata lengkap. Di atas kertas, pesantren ini akan cepat luluh lantak diserbu serdadu dengan persenjataan lengkap. Namun, konon, para tentara Belanda ternyata hanya bisa berputar-putar di sekitar pesantren. Urung melakukan serbuan. Di lain waktu, Kiai Umar pernah dipanggil ke markas Belanda setelah terjadi penangkapan terhadap seorang pemuda Desa Sumberwringin bernama Hasan. Hasan yang kemudian dikenal sebagai H Abdurrahman ini dicurigai sebagai tantara pejuang. Hasan ditahan selama satu minggu dan mendapat siksaan yang luar biasa. Lantaran tidak tahan dengan siksaan tantara Belanda, Hasan terpaksa mengaku sebagai santri Kiai Umar. Itulah kenapa kemudian Kiai Umar dipanggil ke markas Belanda. Namun, karena saat itu tantara Belanda disibukkan penyerangan terhadap markas pejuang kemerdekaan di daerah Garahan Jati, maka Kiai Umar urung diinterogasi dan akhirnya dilepaskan.
Pondok Sumberwringin menjadi markas perjuangan seperti itu berlangsung hingga zaman penjajahan Jepang. Bahkan, saat Jepang berkuasa, Kiai Umar menjadi bidikan serdadu Jepang. Itu karena ia berani menolak melakukan saikere, gerakan dengan membungkukkan badan 90 derajat selama beberapa detik untuk menghormati raja Jepang, Tenno Heika.
Modifikasi Kepemimpinan
Pasca-kemerdekaan, Pondok Sumberwringin berkembang menjadi pesantren salaf yang sangat disegani dan Kiai Umar menjadi tokoh yang sangat dihormati. Keduanya memiliki pengaruh yang cukup kuat tak hanya di lingkungan pesantren di Jember, namun juga ke daerah-daerah lain.
Setelah Kiai Umar wafat pada 1982, model kepemimpinan pesantren ini mulai berubah. Memang, kepemimpinan pondok beralih kepada putranya, Kiai Khotib Umar, namun pengelolaan pesantren mulai dilakukan secara kolegial bersama dengan saudara-saudaranya yang masih seketurunan Kiai Syukri, Sayyidis Syaikh Al-Haj M Kholid Muhammad Bin Sayyidis Syaikh Al-Haj Muhammad Dohwi, Sayyidis Syaikh Al-Haj M Mahsusi Bin Sayyidis Syaikh Al-
Haj Muhammad Dohwi, Sayyidis Syaikh Al-Haj Ahmad Syirbini Bin Amra, Kiai Kohir (KH Abdul Hayyi Bin Amiruddin), KH Ahmad Zaini Bin Arju, dan KH Ahmad Baidlowi Bin KH Abdul Karim.
Terlihat bahwa pada generasi ketiga, model kepemimpinan mulai berubah, tidak lagi tunggal, melainkan menggunakan pola multileader, yaitu satu pondok dikelola oleh beberapa
pengasuh sekaligus dengan pembagian tugas yang baku. Sebagai contoh, saat kepemimpinan sudah berpindah ke Kiai Misbah, pola kepemimpinan yang digunakan tetap multileader. Misalnya, wilayah pondok di Pesantren Raudlatul Ulum terbagi menjadi dua, yaitu wilayah selatan dipimpin oleh Kiai Kholiq yang beraliran salaf dan wilayah utara dipimpin oleh Kiai Hamdi Syirbini dan Kiai Misbah yang beraliran khalaf/modern. Sedangkan, saudara-saudara dan putra-putra mereka ada yang mengurus lembaga formal, nonformal, dan organisasi lain yang berkaitan dengan pengelolaan pesantren, seperti mereka mengurus lembaga diniyah yang masuk pagi dan malam, madrasah tsnawiyah, madrasah aliyah, dan sebagainya.
Saat ini, meskipun tetap mempertahankan status sebagai pesantren salafi dengan sistem pengajaranya sorogan dan bandongan, pendidikan agama dengan sistem modern (klasikal) juga sudah dikembangkan yang sudah dimulai oleh Kiai Khotib Umar dengan mendirikan lembaga pendidikan Madrasah Diniyah.