Dibangun di atas reruntuhan peninggalan Wali Songo, Pondok Pesantren Sunan Drajat Lamongan meneruskan tradisi syiar Islam dari Sunan Drajat. Tak hanya menjadi lembaga pendidikan, Pesantren Sunan Drajat juga menjadi pusat pengembangan ekonomi rakyat. Unit usahanya beragam, mulai dari produksi garam hingga pembuatan kapal.
Pondok Pesantren Sunan Drajat terletak di Desa Banjarwati, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Pendirinya adalah KH Abdul Ghofur. Meskipun baru didirikan pada 7 September 1977, namun Pesantren Sunan Drajat ini memiliki sejarah yang panjang, bersambung hingga ke Sunan Drajat, salah satu tokoh Wali Songo yang hidup di abad ke-14.
Sekitar tahun 1440-an, atas perintah ayahnya, Sunan Ampel, Raden Qosim datang ke Kampung Jelaq untuk membantu Mbah Banjar dan Mbah Mayang Madu mengajar ilmu agama kepada masyarakat setempat. Mbah Banjar adalah pelaut asal Banjar yang terdampar di Pantai Jelaq. Sedangkan, Mbah Mayang Madu merupakan tetua masyarakat setempat. Saat itu, kehidupan masyarakat di sana masih jauh dari nilai-nilai ajaran Islam.
Dengan kedatangan Raden Qosim, dimulailah babak baru kehidupan masyarakat Jelag. Raden Qosim membangun pondok sederhana di sepetak tanah sebagai tempat belajar mengajar. Saat itu, tiap kali mengajar, Raden Qosim selalu mengatakan bahwa barang siapa yang datang untuk mencari ilmu, maka oleh Allah akan ditinggikan dejaratnya. Masyarakat sekitar akhirnya berbondong-bondong datang untuk mencari ilmu, dan Raden Qosim memperoleh julukan Sunan Drajat.
Dalam perkembangannya, pesantren yang dirintis oleh Sunan Drajat tersebut diteruskan oleh keturunannya. Namun, saat Belanda menjajah dan menguasai Nusantara, pesantren tersebut berangsur-angsur mati, dan petilasannya akhirnya terkubur waktu.
Dibangun Kembali
Setelah Indonesia merdeka, H Marthokan, salah satu keturunan Sunan Drajat, merasa risau. Sebab, masyarakat Banjaranyar kembali terjerumus dalam kesesatan, dan kehidupan mereka jauh dari ajaran-ajaran Islam. Banyak yang menjadi pemuja pohon dan kuburan kuno. Bahkan, lahan bekas pesantren yang dibangun Sunan Drajat dijadikan tempat kemaksiatan.
Karena itu, H Marthokan akhirnya menggembleng anak-anaknya, terutama Abdul Ghofur, dengan pendidikan agama. Tujuannya, agar bisa menghidupkan kembali warisan Sunan Drajat, syiar Islam melalui lembaga pendidikan.
KH Abdul Ghofur, yang lahir pada 12 Pebruari 1949, dikirimkan ke berbagai pesantren untuk mendalami agama. Saat SMA, misalnya, Kiai Abdul Ghofur, bersekolaj Madrasah Aliyah Denayar Jombang. Setelah itu, antara 1965-1968, ia mondok di Pondok Keramat dan Sidogiri Kediri untuk mendalami nahu-saraf. Kemudian, mendalami fikih di Pondok Sarang, Jawa Tengah, yang diasuh oleh KH Zuber. Periode 1970-1975, Kiai Abdul Ghofur nyantri di Pesantren Lirboyo Kediri, Pondok Tretek yang diasuh KH Ma’ruf Zuwaeni, dan Pesantren Roudlotul Qur’an yang diasuh KH Asy’ari. Rupanya, selama nyantri, Kiai Abdul Ghofur juga mempelajari ilmu pengobatan dan bela diri.
Setelah kembali ke kampong halaman, sembari mengajar mengajar di Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Tarbiyatut Tholabah Kranji, Kiai Abdul Ghofur mulai mencari jalan untuk menghidupkan kembali Pesantren Sunan Drajat. Tak mudah perjuangannya. Banyak yang sinis dan bahkan mencemooh. Kiai Abdul Ghofur kemudian menerapkan berbagai strategi. Misalnya, ia merangkul kaum muda dengan cara mendirikan klub sepak bola, group musik, serta perguruan ilmu bela diri yang diberi nama GASPI (Gabungan Silat Pemuda Islam).
Pendekatan seperti ini efektif. Setiap selesai latihan bela diri, sepak bola, atau musik, misalnya, para pemuda itu diajak untuk mengambil pasir dari laut. Itulah modal awal untuk membangun kembali Pondok Pesantren Sunan Drajat. Dan, akhirnya pada 1977 Pondok Pesantren Sunan Drajat kembali berdiri. Kini, jumlah santrinya mencapai sekitar 14 ribu. Lembaga pendidikannya pun lengkap, mulai dari untuk anak usia dini hingga perguruan tinggi.
Pusat Bisnis
Yang menarik, sejak awal Pondok Pesantren Sunan Drajat ini memang dirancang untuk mandiri secara ekonomi. Karena itu, kini Pesantren Sunan Drajat memiliki banyak unit usaha yang dikelola secara profesional melalui Lembaga Perekonomian PPSD (Pondok Pesantren Sunan Drajat).
Di antara unit usahanya, misalnya, rumah makan, took material, serta percetakan dan penerbitan yang mencetak dan menerbitkan sendiri kebutuhan buku dan kitab para santri. Pesantren ini juga mempunyai koperasi pesantren BMT Sunan Drajat yang kini sudah memliki sebelas cabang se-Jawa Timur.
Selain itu, Pesantren Sunan Drajat memiliki unit usaha produksi pupuk organik dan jus kesehatan dari mengkudu. Ada juga pabrik roti hingga tekstil. Produksi garam merupakan salah satu unit besar yang dikelola pesantren. Yang fenomenal, Pesantren Sunan Drajat juga mampu memproduksi kapal laut. Biasanya, TNI Angkatan Laut dan Kementerian Perhubungan memesan kapal untuk patrol laut dari Pesantren Sunan Drajat. Bahkan, Pesantren Sunan Drajat juga memiliki jaringan radio dan televise sendiri.
Seluruh unit usaha Pesantren Sunan Drajat ini dikelola sendiri oleh para santri dengan didampingi para profesional di bidangnya. Para santri yang bekerja di unit-unit usaha tersebut juga memperoleh gaji sebagaimana mestinya. Banyak pula lulusan pesantren yang akhirnya bekerja di unit-unit usaha tersebut.
Selain itu, sebagian besar unit usaha Pondok Pesantren Sunan Drajat juga melibatkan dan bekerja sama dengan masyarakat sekitar, entah itu pegawai atau bahkan pemasoh barang atau bahan. Dengan demikian, unit-unit usaha Pondok Pesantren Sunan Drajat ikut mendorong pertumbuhan perekonomian masyarakat sekitar.
Sebagai pesantren yang sejak awal memang dirancang untuk mandiri secara ekonomi, maka keuntungan unit-unit usaha tersebut memang diniatkan untuk membiayai kebutuhan pengelolaan pesantren. Dengan demikian, santri tidak perlu mengeluarkan biaya pendidikan yang mahal karena sebagian beban biaya telah ditutup dengan keuntungan usaha pesantren.
Dengan begitu, pesantren warisan Wali Songo ini terus berkembang hingga kini.