Sungguh, akhir-akhir ini saya begitu risau. Risau, karena semakin banyak berita-berita tentang pelecehan atau kekerasan seksual yang mencuat justru terjadi di lingkungan lembaga-lembaga pendidikan keagamaan seperti madrasah atau pesantren. Atau yang melibatkan orang-orang, baik korbannya maupun pelakunya, dari lingkungan santri atau pesantren.
Ada apa sesungguhnya dengan pesantren kita, kini? Saya mencoba meredam kerisauan itu dengan berpikir positif. Di Indonesia, berdasarkan data resmi, terdapat sekitar 30 ribu pesantren dengan jumlah santri mukim mencapai 4,7 juta jiwa. Jika ditambah santri nonmukim, seperti siswa madrasah, jumlahnya bisa mencapai belasan juta jiwa. Maka, saya mencoba “menghibur diri”: berita-berita tentang pelecehan atau kekerasan seksual itu bukanlah representasi dari kenyataan yang sebenarnya. Itu hanya “kasuistis” yang kebetulan terjadi pada “oknum” tertentu, dan bisa terjadi di mana saja, oleh siapa saja.
Tapi, “menghibur diri” ternyata tak bisa benar-benar memupus kerisauan itu. Sebab, diam-diam menyembul pertanyaan baru: bagaimana jika itu bukan kasuistis, tapi justru pucuk dari fenomena gunung es? Mungkinkah ada yang salah dengan sistem pendidikan dan pengawasan di lingkungan pesantren kita, madrasah kita?
Saya belum berani menjawab dua pertanyaan itu. Bagi saya, bersifat kasuistis atau justru pucuk dari fenomena gunung es tak ada bedanya. Sama pentingnya untuk dilakukan deteksi dini. Yang ingin lebih dulu saya sampaikan di sini adalah bagaimana kita harus bersikap menghadapi kenyataan seperti ini.
Sebab, terus terang, pertanyaan soal bagaimana kita harus bersikap menghadapi kenyataan seperti ini layak dimunculkan karena ada kasus pelecehan atau kekerasan seksual yang begitu membetot perhatian publik hari-hari ini. Tak lain, kasus ini melibatkan Mas Bechi, putra seorang kiai dan pengasuh pondok pesantren di Jombang, Jawa Timur.
Melalui pemberitaan media massa kita tahu, kasus ini sudah cukup lama diproses aparat penegak hukum. Mas Bechi sudah ditetapkan sebagai tersangka. Namun, berkali-kali polisi gagal membawa Mas Bechi untuk menjalani proses hukum karena ada penolakan dan perlawanan dari pihaknya, dan akhirnya dimasukkan ke dalam DPO (Daftar Pencarian Orang).
Terakhir, pada Minggu (3/7) lalu, sedianya polisi hendak menangkap Mas Bechi sebagai DPO ketika sedang menyertai ayahnya, KH Muhammad Mukhtar Mukhti, memberikan pengajian di suatu tempat. Saat itu, saat hendak ditangkap, Mas Bechi kabur bersama para pengikutnya. Terjadi aksi kejar-kejaran bak dalam film laga —sampai polisi tak mengendus jejaknya.
Di saat bersamaan, sang ayah, KH Muhammad Mukhtar Mukhti justru meminta polisi untuk menghentikan kasus anaknya. Seperti dalam video yang viral di lini massa, begini permintaan Kiai Mukhtar kepada polisi: “Untuk keselamatan kita bersama, untuk kejayaan Indonesia Raya, fitnah ini masalah keluarga. Untuk itu, kembalilah ke tempat masing-masing, jangan memaksakan diri mengambil anak saya yang kena fitnah ini.”
Itulah yang kemudian menjadi sorotan dan perbincangan publik. Itulah pula yang mendorong munculnya pertanyaan tak kalah penting: bagaimana kita harus bersikap menghadapi kenyataan seperti ini.
Untuk itulah tulisan ini dibuat sebagai surat buat Mas Bechi. Tentu, soal kebenaran hakiki atas kasus yang menimpa Mas Bechi ini, hanya Tuhan yang tahu —plus Mas Bechi sendiri beserta santri-santri putri yang melaporkannya. Apakah ini hanya fitnah belaka, atau memang peristiwanya benar-benar terjadi secara faktual, biarlah pengadilan yang memutuskan. Mas Bechi bisa membuktikan kebenaran dan ketakbersalahan di pengadilan. Di pengadilan, Mas Bechi juga bisa membuktikan diri sebagai korban fitnah belaka. Itulah gunanya kita hidup bernegara, di negara yang menerapkan hukum positif.
Mas Bechi, kasus ini sesungguhnya bukan tentang Mas Bechi seorang. Bukan melulu tentang apakah Mas Bechi bersalah atau korban fitnah. Lebih dari itu, ini tentang asas setiap orang memiliki kedudukan yang sama di mata hukum. Juga tentang setiap orang memiliki kewajiban yang sama dalam menjaga tertib hukum dan tertib sosial. Tak boleh ada yang lebih diistimewakan di mata hukum.
Orang-orang mungkin masih menduga-duga atau berdebat atau malah bergunjing tentang kebenaran kasusnya. Tapi saya tidak. Saya justru melihat, apa yang Mas Bechi lakukan dengan menolak mengikuti proses hukum itu dengan sendirinya mengajari masyarakat untuk membangkang. Membangkang terhadap hukum yang diberlakukan oleh negara. Itu artinya kita sudah mulai mengabaikan tertib hukum dan tertib sosial.
Nanti-nanti, jika ada kasus serupa, misalnya, Mas Bechi-lah yang akan dijadikan contoh oleh masyarakat atau oleh santri-santri. Kalau Mas Bechi boleh membangkang, boleh tidak menghormati dan mengikuti proses hukum yang berlaku, kenapa saya tidak?
Itulah yang saya khawatirkan. Tanpa kita sadari, apa yang Mas Bechi lakukan sama artinya dengan menanamkan benih-benih pembangkangan di tengah masyarakat. Sama artinya dengan menyemaikan nilai-nilai pengabaian pada tertib hukum dan tertib sosial. Dan jika apa yang Mas Bechi lakukan itu diikuti oleh semakin banyak orang, maka akan chaos, tidak ada lagi tertib hukum dan tertib sosial. Ujungnya, tatanan sosial dan sendi-sendi kemasyarakatan akan jungkir balik. Rusak.
Sejarah memberi tahu kita bahwa, kadang-kadang, menjaga tatanan sosial dan sendi-sendi kemasyarakatan agar tetap ajek dan jejek itu lebih penting dari kebenaran yang kita perjuangkan. Karena itu, Mas Bechi, menghormati dan mengikuti proses hukum itu bisa lebih penting dari putusannya. Toh, nanti masih ada Pengadilan Terakhir .
Dan apa yang terjadi pada kasus Mas Bechi ini memberi satu pelajaran berarti bahwa, apakah kasusnya kasuistis atau justru fenomena gunung es, yang tak kalah penting adalah bagaimana kita harus bersikap menghadapi kenyataan seperti ini. Sebab, jika kita salah mengambil sikap, kasus pelecehan atau kekerasan seksual di lingkungan lembaga pendidikan keagamaan justru akan beranak pinak. Masa depan lembaga pendidikan keagamaan justru akan suram. Apakah hal seperti ini yang akan kita wariskan?