Syarifah Nafisah, Perjuangan Santri Mengkader Santri

349 kali dibaca

Berkat kesungguhan dan ketakzimannya, seorang santriwati berhasil mencetak atau mengkader banyak santri. Adalah Syarifah Nafisah, setelah menempa hidup dalam pondok pesantren, akhirnya berhasil mendirikan pondok pesantren yang melahirkan banyak santri.

Namanya memang masih belum terdengar familiar atau popular di telinga masyarakat luas. Namun, berkat perjuangan dan pengabdiannya kepada lingkungan di sekitar, Syarifah Nafisah sudah melahirkan beberapa kader santri yang mandiri. Artinya, kader santri yang juga mampu mengkader.

Advertisements

Nama lengkapnya adalah Syarifah Nafisah binti Barakwan, lahir di Kota Probolinggo, Jawa Timur, pada 23 Rajab 1368 atau 21 Mei 1949. Diberi nama Nafisah sebab ﺘﻔﺎﻋﻼ/mengambil berkah dari nama Syarifah Nafisah binti Hasan Al-Anwar yang sama-sama keturunan Sayyid Hasan ra. Sehingga, gelar syarifah merupakan identitas sebagai seorang keturunan Arab dari golongan Alawiyyin.

Lahir dan dibesarkan dari keluarga yang alim dan cinta akan ilmu agama, Syarifah Nafisah tumbuh menjadi perempuan yang berilmu. Ayahnya, Habib Hasan bin Salim Barakwan, merupakan salah satu tokoh alim yang terkenal teguh mempertahankan ajaran Sunni dan memiliki banyak santri di Kampung Arab Bondowoso, Jawa Timur. Sedangkan, ibunya Hubabah Fatimatuzzahro binti Qodir Alhaddar, merupakan seorang ibu rumah tangga sekaligus guru ngaji.

Berangkat dari ayoman dan didikan yang disiplin dari ayah dan ibunya, Ayarifah Nafisah mendapatkan banyak motivasi untuk selalu belajar, belajar, dan belajar. Hingga atas restu ayahnya mampu mendirikan pondok pesantren.

Sejak kecil, Syarifah Nafisah telah terbiasa berbagi ilmu. Meskipun usianya masih belia, sejak SD Syarifah Nafisah sudah buka bimbingan belajar. Walaupun sekadar membantu teman sebaya agar saling memahami ilmu yang didapat.

Syarifah Nafisah menempuh pendidikan sekolah dasar di SDN Blindungan 1 dan melanjutkan ke SMP 1 Bondowoso. Terbiasa untuk selalu berpartisipasi dalam setiap kegiatan, ia tertarik dengan kegiatan ekstrakulikuler seperti qiroah ataupun kasidah. Bahkan, untuk mengasah kemampuan dan mengisi waktu luang, ia juga pernah mengikuti seni tari.

Dengan beberapa pertimbangan, tidak genap tiga tahun di SMPN 1 Bondowoso, Syarifah Nafisah pindah ke SKP Jurusan Boga. Berkat restu dan saran ibunya, Syarifah Nafisah bisa menamatkan sekolahnya di SKP. Setelah itu, Syarifah Nafisah mondok Syarifah Nafisah mondok di Pondok Pesantren Islam Ash-Shiddiqi Putri (Ashri) Jember, Jawa Timur. Ia tergolong santri periode awal berdirinya Pondok Ashri. Usai mondok, Syarifah Nafisah kemudian merintis pendirian pondok pesantren di Bondowoso, yang diberi nama Pondok Pesantren Azzahro.

Bahkan, saking aktifnya, Syarifah Nafisah pernah menjadi penyiar radio di Ashri dengan nama samarannya itu Titi Sari. Kesaksian ini diceritakan oleh putranya dan adiknya, Ustaz Muhammad dan Ustaz Husein bin Hasan Barakwan ketika diwawancarai di Pondok Pesantren Azzahro pada 14 Juni 2023. Syarifah Nafisah termasuk santri kesayangan KH Abdul Chalim. Ketika KH Abdul Chalim atau mengisi pengajian, Syarifah Nafisah selalu diajak serta. Bahkan, Syarifah Nafisah sudah direstui atau didukung untuk mendirikan pondok pesantren ketika masih menjadi santri.

Lebih sering dipanggil ustazah Nafisah oleh santrinya, Syarifah Nafisah merupakan pendiri dan pemimpin Pondok Pesantren Azzahro di Kampung Arab, Bondowoso. Selama setengah abad atau 50 tahun, ia berjuang dan berkhidmat kepada umat demi kemajuan peradaban Islam di kalangan perempuan, khususnya di Kampung Arab Bondowoso.

Sebelum kembali ke kampung halaman sebab masih menjadi santri selama enam tahun, Syarifah Nafisah pernah mendapatkan mandat untuk membantu Ibu Nyai Muzayyanah di pondok. Kemudian, kurang lebih pada tahun 1971 Syarifah Nafisah kembali ke Kampung Arab Bondowoso dan meneruskan mimpi yang diharapkan oleh orang tuanya untuk dapat memberikan manfaat terhadap sesama.

Perjalanan panjang sosok Syarifah Nafisah membersamai umat dimulai dengan menggelar majelis taklim khusus perempuan di tahun 1971. Bertujuan awal untuk mengisi produktivitas kalangan perempuan muslim di Kampung Arab. Majelis taklim dijadikannya sebagai sarana diskusi ilmu pengetahuan agama Islam. Dari situ ada usulan agar majelis taklim diubah menjadi sebuah pondok pesantren khusus perempuan.

Pada 1973, dengan dukungan penuh keluarga besar dan jemaat majelis taklim, Syarifah Nafisah  meresmikan berdirinya Pondok Pesantren Islam Putri Azzahro. Ini merupakan salah satu pondok pesantren putri yang berada di Kampung Arab Bondowoso. Visinya adalah mencetak anak didik yang beriman dan bertakwa, dan menjadi pahlawan Islam yang bergerak karena Allah.

Memimpin Pondok Pesantren Islam Putri Azzahro, Syarifah Nafisah berperan sebagai pioner dengan memberikan contoh yang baik untuk santri-santrinya. Ia selalu mengajarkan konsep hidup sederhana namun tetap menjadi manusia berprinsip kuat.

Beberapa upaya dan prinsip Syarifah Nafisah dalam memimpin pesantren yang masih kental dengan konsep klasik (tradisional) dan menekankan kesederhanaan, di antaranya membangun pondok pesantren yang sederhana, baik bangunan ataupun lingkungannya dan menjalankan sistem pembelajaran pesantren berupa halakoh dan lebih mengedepankan pembelajaran kitab kuning.

Selain itu, di pesantrennya juga diterapkan pola hidup sederhana, seperti santri mencuci dan memasak sendiri, yang masih dengan konsep tradisional, seperti tetap memakai tungku dalam memasak. Bahkan, pesantren ini tidak membuat kalender, pamflet, atau banner sebagai bentuk promosi. Penyebaran informasi keberadaan pesantren hanya dari mulut ke mulut. Namun, di pesantren ini disediakan fasilitasi kegiatan ekstrakurikuler, santri seperti memasak dan menjahit.

Pesantren yang dirintis Syarifah Nafisah ini telah banyak melahirkan kader santri. Di antaranya adalah Khadeejah Assegaf yang kini dikenal sering menggelar majelis taklim rutinan di Jakarta. Ada juga Syarifah Muzunnah Al-Hamid dari Tanggul, Jember, yang sukses mendirikan madrasah di desanya. Nama lain adalah Syarifah Raguan Al-Muhdhor dari Bangil, Pasuruan, yang mendirikan madrasah di Bondowoso dan Madinah. Ada juga Fatimah dari Bangil yang mendirikan pesantren, Layla Al Hamid Ujung Pandang mendirikan pesantren, dan Rahma Al-Bayti mendirikan majelis taklim di Singaraja Bali.

Berkat perjuangan dan kesungguhannya sebagai seorang santri, Syarifah Nafisah telah berhasil mendidikan kader-kader santri yang kini sudah berkiprah meneruskan perjuangannya di berbagai daerah. Sebagai seorang perempuan alim dengan ketinggian ilmu dan kemuliaan adabnya, sosok Syarifah Nafisah memiliki banyak nilai sebagai seorang motivator bagi santri-santrinya.

Sementara, bagi jemaah majelis rutinannya, ia adalah seorang guru yang pandai dalam menyampaikan ilmu. Seorang penasihat yang sangat bijaksana dalam memberikan petuah, motivasi, ataupun sebagai konsultan yang baik dalam menyikapi setiap permasalahan. Bagi santrinya, Syarifah Nafisah tidak hanya seorang pengasuh, namun juga berperan sekaligus sebagai ibu. Sayangnya, ahli waris dan keluarga tidak mengizinkan foto Syarifah Nafisah untuk dipublikasi di media.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan