Nama dan ketokohannya tertulis dalam serpihan kecil naskah serta catatan-catatan kolonial. Tertulis, karena menggambarkan sosok dan pengaruhnya pernah ada, namun hanya serpihan kecil karena untuk menelusurinya secara historis sangat terbatas.
Hal serupa saya rasa dialami oleh para penyebar Islam di masa sebelumnya (Walisanga). Satu-satunya fakta yang paling mudah dilihat adalah fakta sosiologis, yaitu berdatangannya para peziarah dari berbagai penjuru negeri. Fakta ini menjadi sesuatu yang hidup (living) di masyarakat. Meskipun, fakta sosiologis (ziarah) ini bisa menjadi bukti memadai dalam penelusuran antropologis, sebagaimana telah dilakukan oleh para antropolog seperti D A Rinkes dalam karya bukunya berjudul Wali Sembilan Tanah Jawa, namun sebagai bukti empirik dalam narasi sejarah, fakta sosiologis tersebut dinilai samar untuk menjadi sebuah fakta sejarah.

Pada Minggu tempo hari, saya seorang diri berziarah ke Pamijahan, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Ini merupakan perjalanan kedua, setelah pada Desember tahun lalu saya berziarah bersama tamu dan seorang mualaf asal Kanada yang datang ke kantor tempat saya bekerja di Yogyakarta.
Waktu itu, rencana awalnya akan melakukan penelitian etnografi kecil dan menginap barang tiga malam dengan harapan bisa menemukan naskah-naskah penting dan temuan-temuan baru tentang riwayat Syekh Abdul Muhyi. Namun, karena satu dan lain hal, ziarah dilakukan sehari dan hanya menemui satu juru junci sebagai sumber infomasi utama.
Cukup beruntung, saat itu kami diberi akses untuk melihat dan memotret pada peninggalan naskah yang menjelaskan ajaran serta silsilah (guru-murid) Syekh Abdul Muhyi. Dalam naskah tersebut tertulis keterangan silsilah keguruan Syekh Abdul Muhyi kepada Syekh Abdurrauf As-singkili dan Syekh Hamzah Fansuri. Kemudian, sang juru kunci memaparkan sebagaimana yang telah menjadi pengetahuan umum, bahwa Syekh Abdul Muhyi merupakan orang pertama penyebar Islam yang mengembangkan dan membawa tarekat Syatariyah ke Pulau Jawa.