Syekh Abdul Muhyi dan Arus Balik Islam

22 views

Nama dan ketokohannya tertulis dalam serpihan kecil naskah serta catatan-catatan kolonial. Tertulis, karena menggambarkan sosok dan pengaruhnya pernah ada, namun hanya serpihan kecil karena untuk menelusurinya secara historis sangat terbatas.

Hal serupa saya rasa dialami oleh para penyebar Islam di masa sebelumnya (Walisanga). Satu-satunya fakta yang paling mudah dilihat adalah fakta sosiologis, yaitu berdatangannya para peziarah dari berbagai penjuru negeri. Fakta ini menjadi sesuatu yang hidup (living) di masyarakat. Meskipun, fakta sosiologis (ziarah) ini bisa menjadi bukti memadai dalam penelusuran antropologis, sebagaimana telah dilakukan oleh para antropolog seperti D A Rinkes dalam karya bukunya berjudul Wali Sembilan Tanah Jawa, namun sebagai bukti empirik dalam narasi sejarah, fakta sosiologis tersebut dinilai samar untuk menjadi sebuah fakta sejarah.

Advertisements

Pada Minggu tempo hari, saya seorang diri berziarah ke Pamijahan, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Ini merupakan perjalanan kedua, setelah pada Desember tahun lalu saya berziarah bersama tamu dan seorang mualaf asal Kanada yang datang ke kantor tempat saya bekerja di Yogyakarta.

Waktu itu, rencana awalnya akan melakukan penelitian etnografi kecil dan menginap barang tiga malam dengan harapan bisa menemukan naskah-naskah penting dan temuan-temuan baru tentang riwayat Syekh Abdul Muhyi. Namun, karena satu dan lain hal, ziarah dilakukan sehari dan hanya menemui satu juru junci sebagai sumber infomasi utama.

Cukup beruntung, saat itu kami diberi akses untuk melihat dan memotret pada peninggalan naskah yang menjelaskan ajaran serta silsilah (guru-murid) Syekh Abdul Muhyi. Dalam naskah tersebut tertulis keterangan silsilah keguruan Syekh Abdul Muhyi kepada Syekh Abdurrauf As-singkili dan Syekh Hamzah Fansuri. Kemudian, sang juru kunci memaparkan sebagaimana yang telah menjadi pengetahuan umum, bahwa Syekh Abdul Muhyi merupakan orang pertama penyebar Islam yang mengembangkan dan membawa tarekat Syatariyah ke Pulau Jawa.

Untuk melihat Tarekat Syatariah di masa ketika itu, saya kebetulan mendapati temuan karya filologi yang merupakan disertasi Tommy Kristomy di Australia National University. Disertasi yang berjudul “Sign of Wali” secara khusus meneliti Syekh Abdul Muhyi. Dalam karya itu dijelaskan bahwa: pertama, tarekat adalah aspek penting dalam penyebaran agama Islam. Terlebih, di saat itu (abad ke-17 hingga abad ke-18) Tarekat Syatariah merupakan tarekat paling luas pengaruhnya dan cukup populer di kepulauan Nusantara.

Kedua, hal tersebut dilatarbelakangi karena tarekat ini (Syatariyah) banyak menampung ekspresi dan kebutuhan lokal untuk mengembangkan Islam di Nusantara yang kebudayaannya sangat beragam.

Karya filologi lainnya yang turut memotret di fase itu adalah disertasi Profesor Oman Faturahman berjudul “Menyoal Wahdatul Wujud: Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad 17”. Disertasi ini menjelaskan soal polemik yang terjadi di Aceh dan mencoba diketengahkan oleh Syekh Abdurrauf, terutama ketika polemik itu menimpa Syekh Hamzah Fansuri yang dikenal sebagai penerjemah ajaran-ajaran Ibn Arabi dan mendapat pertentangan dari Nuruddin Arraniri. Baru kemudian di abad setelahnya (abad ke-19 hingga sekarang), Martin Van Bruinessen dalam karya bukunya “Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat, menemukan potret terjadinya perubahan serta pergeseran arus pada tarekat Naqsabandiyah dan Qodiriyah yang dinilai lebih formatif.

Tempo hari, saya mencoba membaca ulang beberapa buku yang memotret dan menjelaskan ziarah. Pertama karya guru besar filolog asal Perancis Henry Chambert-Loir dan Claude Guillot, “Ziarah dan Wali dalam Islam”. Dalam buku ini saya menangkap praktik ziarah dalam Islam adalah hal yang klasik. Kajian regional dalam buku ini cukup luas dan mencakup hampir semua wilayah Islam, terutama Asia Barat dan Semenanjung Afrika.

Praktik ziarah sebenarnya sudah ada di masa Islam awal, meskipun belakangan terjadi perdebatan oleh kaum Islam modernis yang membasiskan diri pada tradisi teks, mempertanyakan (beberapa membidah bahkan kaum wahabi mengharamkan) praktik ziarah. Namun, dalam satu dekade terakhir, perdebatan itu sudah tidak menguat lagi karena terjadi dialog di kalangan para sarjana muslim dengan latar belakang Islam tradisi.

Yang menarik justru datang dari karya seorang antropolog asal Australia bernama George Quinn, “Bandit Saints of Java: How Java’s Saints Are Challenging Fundamentalist in Modern Indonesia”. George Quinn yang mendaku sebagai seorang ateis merasa terheran: pertama, ia menemukan fakta statistik angka peziarah yang terus naik setiap tahunnya, terlebih lagi di kalangan generasi muda urban yang notabene orang tuanya sudah tidak lagi melakukan hal itu.

Kedua, tujuan ziarah itu mengarah ke tempat dan makam-makam keramat yang dianggap orang suci atau para wali. Keheranan muncul justru pada para penyebar Islam yang tertutupi, ditutupi, bahkan tidak jelas dalam riwayat teks hagiografi sejarah modern.

Terlepas kita bisa melihat kuatnya pengaruh kolonial yang berkepentingan menyingkirkan kekuatan Islam saat itu, namun riwayat-riwayat hagiografi orang suci atau para wali itu menjelma dalam fakta sosilogis yang hidup (living) di masyarakat. Sampai di tahap ini, generasi baru yang menerima pendidikan modern (Barat) dan bertumpu pada aspek rasionalitas (sebagaimana saya alami) tentu mengalami kesulitan dalam memahami fenomena ziarah tersebut.

Islam dalam Arus Balik Sejarah

Sependek penelusuran sampai saat ini, saya membagi periode Islam di kepulauan Nusantara menjadi tiga (terlebih saya menyederhanakannya pada wilayah Jawa Barat): pertama periode Walisanga, yaitu Sunan Gunung Jati; kedua periode jejaring ulama al-Jawi, yaitu Syekh Abdul Muhyi; dan ketiga periode kolonial, yaitu Haji Hasan Mustafa.

Pramoedya Anantra Toer memotret dalam novel pertamanya berjudul Arus Balik, kekalahan armada-armada laut Nusantara oleh Belanda. Tuban menjadi kota bandar tempat terjadinya kecamuk yang berakhir dengan runtuhnya kejayaan Majapahit yang berporos Maritim itu.

Di periode abad ke-16 ini, kita menemukan fakta bahwa terjadi arus balik sejarah. Majapahit runtuh, dan benih-benih Islam bersemai di Demak. Kebudayaan yang mulanya kosmopolit menghadap laut di kota-kota bandar seperti Malaka, dipukul mundur membelakangi lautan oleh kuasa kolonial menuju pedalaman.

Islam berserta kerajaan-kerajaannya di Nusantara, berdiri dan hadir dalam tunas arus balik sejarah di periode krusial ini (middle age). Sebuah periode yang penuh kecamuk dari sisa-sisa reruntuhan era sebelumnya, namun justru Islam lahir dengan berdirinya pesantren-pesantren di pedalaman yang bertahan hingga saat ini. Namun sayangnya, Pramoedya seolah menyalahkan Islam sebagai biang keladi atas kejatuhan poros-poros maritim Majapahit itu serta faktor kemunduran Nusantara. Ia dengan mudah langsung begitu saja menghadap-hadapkan Islam pada kemajuan dan temuan teknologi Eropa yang saat itu masuk pertama kalinya ke kepulauan Nusantara.

Di rentang abad ke-17 sampai awal abad ke-19, Islam berkutat dari agitasi kolonial dan bertahan di pedalaman. Karel Steenbrink memotret periode ini dengan cukup general dalam sebuah disertasinya yang kemudian diterbitkan menjadi buku dengan judul “Dutch Colonialism and Islam in Indonesia; Conflict and Contact 1596-1950”. Baru di paro pertama abad ke-20 arus balik sejarah berputar kembali ke pusaran dalam bentuk pergerakan nasional dengan menentang kuasa kolonial yang telah mapan di Batavia.

Satu penanda penting di periode ini adalah munculnya kesadaran nasional yang lahir dari kaum muda terpelajar dengan beragam latar belakang, di masa kemerdekaan kita menemukan generasi baru para terpelajar itulah yang menjadi motor penggerak nasionalisme; bersuara, dan menyatukan semua elemen bangsa. Ketergugahan nasional muncul pertama dari kesamaan bahasa yang merujuk pada komunitas dagang yang tercipta mula-mula di Malaka hingga ke seberang wilayah nusa.

Antony Reid, seorang sejarawan dengan sangat baik meneliti dan menuliskan periode transisi (Middle Age) ini dalam karya magnum opusnya Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680: Tanah di Bawah Angin (2 jilid), juga sejarawan Perancis Dennys Lombard yang tidak kalah hebat menuliskan dalam karya yang cukup monumental Nusa Jawa: Silang Budaya (3 jillid). Imajinasi nasional (imagined community) ini kemudian menjadi fondasi baru bagi nilai-nilai dasar berbangsa dengan tiga sebab: bahasa, nasib sepenanggungan atas penjajahan oleh Belanda (bangsa), dan tanah air sisa-sisa kerajaan konsentris yang telah terbentuk di periode sebelumnya (sebelum kekalahan oleh Portugis dan Belanda). Tiga latar sebab-sebab ini kemudian melahirkan kesadaran baru dalam ikrar sumpah pemuda di tahun 1928.

Di periode arus balik kedua, kita melihat Islam yang bermula merangsek ke pedalaman akibat runtuhnya tatanan lama dan kekalahan perang di pusat-pusat bandar Islam seperti Malaka, menjelma hadir dalam pembentukan negara bangsa. Salah satu pemimpin Islam di pedalaman Jawa Timur (Tebuireung) Kiai Hasyim Asy’arie mengeluarkan sebuah resolusi jihad bahwa mencintai dan membela tanah air (nasionalisme) merupakan bagian dari iman. Hingga lahirlah Pancasila sebagai asas berbangsa yang telah disepakati bahwa Islam telah terekstraksi di dalamnya.

Hal tersebut sekaligus menjadi penegas bahwa begitulah Islam yang sesuai dengan Indonesia, yaitu sebuah model Islam yang bagi pendapat Mohammad Hatta adalah Islam garam, bukan Islam gincu. Karena begitulah hakikatnya Islam diturunkan; ia berbeda dengan monoteis pendahulunya, Yahudi dan Nasrani. Islam diperuntukan untuk semua manusia dan sebagai rahmat bagi alam semesta. Dengan demikian, bentuk-bentuk luar dan warnanya akan berbeda di setiap bangsa, dengan tetap berpegang pada prinsip dalam rukun-rukun universal yang telah ada.

Sampai di batas ini, lantas akan ke manakah Islam Indonesia pasca arus balik kedua ini menuju?

Multi-Page

Tinggalkan Balasan