Syekh Musa, Sang Sufi Crossdresser

299 kali dibaca

Tasawuf atau dalam bahasa lain sufisme, ada pula yang menyebut dengan mistisisme Islam merupakan kerangka perjalanan seorang salik menuju kepada pencipta.

Umumnya, para sufi (sebutan bagi pelaku tasawuf) tidak terlalu bahkan memusuhi hal-hal keduniawiaan. Sehingga ia memfokuskan dirinya kepada sang pencipta.

Advertisements

Mereka juga beranggapan bahwa cinta dan kasih sayang adalah dua hal fundamen untuk membangun hubungan dirinya dengan sang pencipta. Selain dua hal tersebut para sufi juga tak lupa untuk memperkuat keimanan dan ketakwaan dirinya terhadap sang pencipta.

Namun, dalam konteks keduniwiaan terma ‘cinta’ seringkali merujuk pada rasa terhadap lawan jenis dan menganggap rasa terhadap sesama jenis merupakan tindakan atau orientasi yang berbeda atau bahkan dianggap penyelewengan dan penyakit yang harus disembuhkan. Padahal terma ‘cinta’ sendiri tidak dapat digunakan secara arbitrer dan dikotomis hanya terhadap lawan jenis.

Perihal bahasa memang kontruksi masyarakat yang telah mengakar. Sehingga untuk mengubah suatu makna bahasa tertentu dirasa susah bahkan tidak mungkin.

Mengenai konsepsi bahasa yang telah dijelaskan tersebut telah dikonsumi secara terus menerus oleh masyarakat. Bahkan, dalam dunia tasawuf yang penuh dengan rasa kasih sayang pun tak jarang diartikan serupa.

Perihal ketokohan sufi pun dinilai terlalu rigid dan hanya mengonfirmasi para tokoh yang dianggap heteroseksual. Segala cerita tokoh yang mengemban identitas seksual yang beragam dipinggirkan dan tidak diceritkan dalam sejarah. Sehingga kecenderungan partriarkis dalam dunia tasawuf pun kian menguat (Syaikh, 2002: 12).

Bahkan, melalui pembacaan Amar Alfikar (2023) ia menyadur bahwa pengarang sajak fenomenal ‘al-I`tirof, yakni Abu Nawas, merupakan seorang homoseksual.

Lebih dari itu, ia pun menganggap bahwa beragam upacara Islam (spiritual) pun turut melibatkan individu yang tergolong dalam minoritas gender.

Tentu hal ini menunjukan bahwa rasa cinta dan kasih sayang dalam Islam tidak memandang jenis kelamin dan gender tertentu secara ekslusif. Justru kebalikannya, minoritas gender pun turut menjadi perhatian agama (Islam) dan seharusnya agama (Islam) hadir sebagai ruang aman bagi mereka.

Di Pakistan, tepatnya di Islamabad, terdapat tradisi sufistik yang unik dengan melibatkan minoritas gender dalam upacaranya. Salah satu tempat yang kerap melibat kan upacara sufistik dengan ekspresi gender yang unik adalah makam Bari Imam (w. 1705).

Bari Imam atau yang dikenal dengan Syed Shah Abdul Latif Kazmi Mashhadi merupakan sufi besar abad-17 M yang berasal dari Punjab. Pada peringatan haul tahunan Syed Shah Abdul Latif Kazmi Mashhadi dihadiri oleh jemaat yang beragam. Bahkan tak jarang individu dengan gender ketiga yang hadir dalam upacara haul tahunan tersebut. Pemandangan yang unik pun sangat kentara ketika haul yang dihadiri oleh para minoritas gender dengan ekspresi androgini, crossdresser, bahkan transgender berdoa secara khidmat.

Mengutip karya Amar Alfikar yang berjudul Queer Menafsir (2023), diceritakan terdapat tokoh sufi dari Gujarat yang bernama Syekh Musa Sada Suhaq (w. 1449), pendiri tarekat Sada Suhagiyya yang hendak ziarah di makam Syekh Nizam al-Din Awliya`.

Syekh Musa Sada Suhaq berziarah dengan maksud untuk berdoa sebelum melakukan haji di Makkah. Setibanya di makam Syekh Nizam al-Din Awliya, sang sufi melihat para pekerja seks dan perempuan homeless menari dan menyanyi di sekitaran makam. Menengok hal tersebut, sang sufi sontak memaki dan mencemooh karena melakukan perbuatan yang sangat tidak layak di depan makam sufi besar.

Ketika Syek Musa Sada Suhaq melakukan ibadah haji, ia mendengar bisikan spritiual yang mengurungkan niatnya untuk berziarah ke makam kanjeng Nabi di Madinah. Ia merasa dirinya tidak pantas dan telah melukai perasaan orang lain yang tak salah, yaitu para perempuan pekerja seks dan perempuan homeless di makam Syekh Nizam al-Din Awliya` beberapa waktu sebelum ia melakukan ibadah haji.

Dengan bisikan spritual tersebut justru membuat ia kembali ke India, tepatnya ke makam Syekh Nizam al-Din Awliya. Sesampainya di sana, ia kemudian mengenakan pakaian, berdandan, dan memakai perhiasan layaknya perempuan sembari menari di samping makam Syekh Nizam al-Din Awliya dengan niat penyesalan dan memohon maaf atas maki-maki dan cemoohannya tersebut.

Pada saat melakukan tarian-tarian dan nyarian-nyanyian sang sufi merasakan pengalaman batin yang luar biasa. Ia merasa sedang menerima pencerahan ilahiah yang bermakna ia sedang menuju tingkatan makrifat.

Pengalaman tersebut membuat sang sufi engga melepaskan pakaian perempuannya dan memutuskan untuk menggunakannya terus menerus. Dimulai saat itu ia dijuluki dengan ‘Sada Suhaq’ yang berarti ‘pengantin perempuan yang abadi’.

Di ujung kehidupannya pun ia menginginkan para pengikutnya untuk menguburkannya dengan perhiasan kaca yang dikenakan di tangannya saat wafat kelak.

Setelah wafat, para pengikut tarekat Sadi Suhagiyyah pun menziarahi makam Syekh Musa Sada Suhaq dengan mengenakan pakaian crossdresser. Yakni, para lelaki mengenakan pakaian perempuan untuk menghormati sang sufi.

Hal ini menunjukan bahwa dalam bentangan sejarah Islam terdapat cerita-cerita unik yang jarang sekali dikenalkan kepada kita. Apalagi perihal minoritas gender yang menyimpan stereotipe dan ditempa subordinasi dalam masyarakat bahkan khazanah keilmuan kita. Padahal, secara mendasar Islam mengajarkan cinta dan kasih sayang kepada siapa pun, sekalipun itu minoritas gender.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan