Syekh Mutamakkin (3): Kiai yang Nyaris Dibakar Penguasa Mataram

285 kali dibaca

Gelar “al-Mutamakkin” yang memiliki arti orang yang mempunyai keteguhan hati patut kita renungi hingga hari ini, agar kita bisa tegar dalam menghadapi berbagai problem, seperti halnya Syekh Ahmad.

Akhirnya, tulisan berseri tentang Syekh Ahmad Mutamakkin sampai di bagian intinya. Di seri pertama, saya telah menjelaskan bagaimana cucu Joko Tingkir itu berkelana dan berdakwah, hingga akhirnya menerima gelar “al-Mutamakkin”. Di artikel seri kedua, saya menceritakan tentang asal-usul beliau bisa sampai di Desa Kajen, disertai sebuah kepercayaan masyrakat bahwa beliau terdampar di pesisir -sebelum akhirnya di Kajen- karena dua jin yang  bertengkar.

Advertisements

Di seri ketiga ini, saya akan memfokuskan pada apa yang terjadi setelah Syekh Ahmad tinggal di Kajen, setelah berguru kepada kiai desa sana, Kiai Syamsuddin dan diambil menantu olehnya. Mungkin lebih panjang dari sebelumnya, namun akan coba saya ringkas, tanpa mengurangi keutuhan cerita.

Badai Fitnah

Pada sekitar tahun 1726 M, Kasultanan Mataram Islam dibuat geger oleh satu kiai desa. Raja yang berkuasa saat itu adalah Raden Mas Suryaputra, bergelar Hamangkurat IV. Tidak hanya isi kerajaan, para ulama di berbagai daerah pun ikut ramai karena kiai desa itu. 

Apa yang terjadi? Dan siapa kiai desa itu?

Ya, kiai desa yang dimaksud adalah Syekh Ahmad Mutamakkin. Ia diterpa badai fitnah dari berbagai pihak. Tinggal di Desa Kajen dan menjadi penerus Kiai Surya Alam (Kiai Syamsuddin) selama lebih dari sepuluh tahun, membuat dirinya melakukan banyak hal; mendirikan masjid, membuat peninggalan-peninggalan, dan tentunya hal-hal yang menjadi perbincangan saat itu.

Ia memelihara dua ekor anjing. Dinamai selayaknya manusia pula; Kaharuddin dan Abdul Qomar. Belum lagi kebiasannya yang suka membabar serat kisah Dewa Ruci, kisah seorang Bimasena yang sedang mencari air kesempurnaan di tengah konflik antara Pandawa dan Kurawa. Ditambah lagi beberapa dakwaan lain, seperti Syekh Ahmad yang mengaku sebagai Muhammad Hakiki.

Yang menjadi persoalan, bahwa semua dakwaan itu tidak sepenuhnya benar dan tidak sepenuhnya salah. Syekh Ahmad memang memelihara dua anjing, namun itu adalah dua anjing hasil perwujudan nafsunya setelah ia berpuasa selama 40 hari. Saat tiba hari akhir ia berpuasa, ia meminta istrinya untuk membuatkan beragam makanan enak, dan mengikatkan dirinya di salah satu tiang rumah. Saat makanan dihidangkan, dan nafsu Syekh Mutamakkin bergejolak karenanya, keluarlah dua anjing itu.

Ada pun kisah Dewa Ruci, walaupun itu sebuah ceria yang muncul dari kebudayaan Buddha, namun ada banyak sekali pelajaran hidup yang bisa diambil darinya.

Mengaku sebagai Muhammad Hakiki? Ini mungkin dakwaan yang sengaja dilebih-lebihkan, hingga tak heran ada banyak sekali umpatan “kafir” atau “sesat” yang disematkan kepada Syekh Mutamakkin.

Persidangan Syekh Mutamakkin 

Kasultanan Mataram Islam beberapa kali mengadakan persidangan. Sebut saja persidangan terhadap Syekh Siti Jenar serta Ki Ageng Pengging. Keduanya disidang oleh Mataram, dan berakhir tragis oleh kematian.

Maka ketika semua huru-hara perbincangan tentang Syekh Ahmad mulai meruncing, Mataram tidak bisa diam. Syekh Mutamakkin dipanggil oleh kerajaan, beserta 144 ulama dari berbagai penjuru.

Singkat cerita, banyak dinamika yang terjadi. Persidangan berjalan cukup rumit. Bahkan sempat ditunda karena wafatnya sang Raja, Hamangkurat IV yang akhirnya digantikan putranya, Raden Mas Prabusuyasa yang masih berusia 16 tahun.

Namun uniknya, walaupun Syekh Mutamakkin dikepung oleh 144 ulama, dan tumpukan kayu di alun-alun siap untuk dinyalakan, kiai desa itu tetap tenang. Dalam manuskrip Teks Pakem Kajen karya Kiai Rifai Nasuha sangat jelas digambarkan, bagaimana Syekh Mutamakkin selalu menunduk, tidak pernah melakukan pembelaan, bahkan muncul di tengah-tengah itu perkataan beliau yang cukup masyhur, “Jika aku dibakar, maka aku akan senang. Karena abuku akan tercium di tanah tempat Syekh Zein, guruku tinggal.”

Hal ini yang membuat Raden Mas Prabusuyasa, bergelar Pakubuwana II heran dan penasaran, ketika mendengar laporan Raden Demang tentang hal itu. Raja penasaran oleh sosok Syekh Mutamakkin. Walaupun dicerca namun selalu menunduk, rendah hati, dan tidak mau membalas. Raden Demang sendiri adalah saudara ipar sekaligus pimpinan persidangan saat itu.

Akhirnya Raja memanggil kiai kampung itu, dengan maksud mendengar secara langsung ajaran kontroversial darinya. Dan, walaupun Syekh Mutamakkin sempat menolak untuk membabar ajarannya di depan Raja, Syekh Ahmad akhirnya mau untuk memberi tahu Raja, tentu dengan syarat tertentu. Sang Raja harus dibaiat, sesuai janji yang ia pegang dari gurunya, Syekh Zein, bahwa ajarannya tidak untuk orang umum. Hanya tertentu saja.

Apa yang dikatakan Pakubuwana II? Ia mengatakan, “Jika aku tak bertemu Haji Mutamakkin, maka aku mati kafir!” 

Ya, ajaran yang disampaikan secara rahasia oleh Syekh Mutamakkin benar-benar membuat Pakubuwana bergetar, hingga membuatnya membebaskan Syekh Mutamakkin dari segala dakwa kesesatan yang ada. Bahkan ketika akan pulang ke Kajen, Syekh Mutamakkin diberi oleh-oleh kain batik slobog dari kerajaan, sebagai simbol dari rampungnya seseorang dari urusan dunia. Karena batik slobog sendiri biasanya dipakai untuk urusan kematian.

Demikianlah semua kisah tentang Syekh Mutamakkin. Apa yang bisa kita tiru adalah keteguhan beliau. Beliau selalu tenang dalam menghadapi berbagai persoalan. Juga teguh ketika menghadapi jalan terjal. Maka, gelar “al-Mutamakkin” yang memiliki arti orang yang mempunyai keteguhan hati patut kita renungi hingga hari ini, agar kita bisa tegar dalam menghadapi berbagai problematika dewasa ini.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan