Kajen merupakan desa yang dipenuhi puluhan pesantren dan memiliki beragam cerita menarik. Sebagai seorang santri, tentu saya merasakan hal itu begitu kentalnya.
Salah satu kisah menarik itu adalah tentang asal-usul seorang wali pembabat desa tersebut, Syekh Ahmad Mutamakkin. Ada sebuah kepercayaan yang turun temurun dijaga sangat baik, di kalangan penduduk atau para santri, bahwa Syekh Ahmad Mutamakkin pernah berhadap-hadapan dengan ratu jin di tengah laut, hingga membuatnya terlempar dan terdampar di sepanjang pesisir Juwana.
Hal itu terjadi saat cucu Sultan Pajang itu pulang dari Yaman dan Haramain. Selain dari tutur lisan para sesepuh desa tersebut, di berbagai buku dan naskah kuno juga menyebut keterangan demikian. Sebut saja Teks Pakem Kajen, karya Kiai Rifai Nasuha yang saat ini masih utuh sebagai manuskrip, belum diterbitkan semenjak tahun 1950-an. Begitu juga dalam buku-buku Milal Bizawie, seperti Syekh Ahmad Mutamakkin; Perlawanan Kultur Agama Rakyat, serta Manaqib Syekh Ahmad Mutamakkin.
Walaupun Milal Bizawie dalam buku pertama yang saya sebut menuturkan versi yang lebih rasional, bahwa Syekh Ahmad Mutamakkin memang betul terdampar di pesisir, namun bukan karena jin, melainkan karena perompak yang saat itu jamak ditemui. Namun versi yang melibatkan ratu jin itu lebih masyhur diketahui.
Bertemu Ratu Jin
Di bagian sebelumnya, saya telah bercerita tentang siapa sosok Syekh Ahmad Mutamakkin dan bagaimana keteguhan hatinya dalam melakukan perlajanan dakwah dan mencari ilmu. Singkatnya, gelar “al-Mutamakkin” yang ia dapatkan benar-benar melalui proses yang sangat panjang.
Namun, tentu, perjuangan yang dilakukan oleh seorang wali yang melahirkan sosok seperti Kiai Sahal, Gus Baha, dan Kiai Qoyyum, Lasem tidak hanya itu.
Sepulangnya dari Yaman dan Haramain, ia pulang menaiki jin. Dalam buku Manaqib Syekh Ahmad Mutamakkin karya Milal Bizawie, jin tersebut sebenarnya jin milik bapaknya, Sumohadinegara. Namun pada saat itu mengabdi kepada dirinya. Namun ada juga riwayat yang mengatakan bahwa jin itu memang muridnya.
Hingga kemudian sampai di tengah laut, seperti yang telah saya singgung, Syekh Ahmad Mutamakkin dan jin yang membawanya bertemu dengan ratu jin. Pertemuan yang tidak terduga ini menimbulkan kejadian yang tidak terduga pula. Jin yang menggendong Syekh Ahmad Mutamakkin diancam oleh ratu jin untuk memilih celaka atau melempar dan meninggalkan Syekh Ahmad di tengah laut.
Kejadian ini yang paling dramatis. Syekh Ahmad Mutamakkin benar-benar terlempar di dalam lautan, di tengah samudera. Singkat cerita, ia ditolong oleh ikan lemadang atau ikan belitung -masyarakat Kajen lebih akrab menyebut ikan “mladang”-. Jika saya bayangkan, mungkin ini hampir mirip dengan kisah Nabi Yunus, yang juga terlempar di laut dan ditolong ikan besar.
Dan dari situlah Syekh Ahmad Mutamakkin ditemukan oleh nelayan pesisir hingga membuatnya harus tinggal di daerah sekitar, daerah yang sekarang dinamakan Bulumanis (beberapa ratus meter dari desa Kajen), lalu bertempat di Kajen setelah bertemu dan berguru dengan salah satu kiai di sana, Kiai Surya Alam (Kiai Syamsuddin).
Hingga sekarang, kepercayaan ini mewujud dalam suatu local wisdom masyarakat sekitar. Bahkan ada satu kepercayaan lain, bahwa keturunan Syekh Ahmad Mutamakkin tidak boleh memakan ikan lemadang, kapan pun itu. Saya sendiri tidak tahu, apakah kepercayaan ini memiliki relevansinya dalam kesehatan atau hal lain, namun mungkin beginilah cara masyarakat dan keturunan Syekh Ahmad berterima kasih, sekalipun terhadap binatang kecil seperti ikan!