Syukur dalam Perspektif Al-Qur’an dan Psikologi

192 kali dibaca

Dikotomi ilmu umum dan ilmu agama selalu digiring sebagai upaya untuk merusak tatanan hidup yang integratif dan damai. Dua hal secara tidak langsung diinginkan dalam upaya ini; antara membuat orang-orang kelaparan etika dalam hidup atau justru konservatif dalam menghadapi permasalahan.

Tak dapat disangkal bahwa ilmu umum sebagai media penyampai manusia kepada kepastian membutuhkan cairan etika yang tak luput dari narasi keagamaan. Oleh karenanya upaya pemisahan dan dualisasi ilmu (ilmu umum dan ilmu agama) tidak pantas untuk dipelihara.

Advertisements

Dalam tulisan ini kami berusaha memaparkan bagaimana agama (Islam) dengan kitab sucinya (Al-Qur’an) mampu bergandengan tangan dengan psikologi positif; bahwa Al-Qur’an dengan narasi spiritual yang ditawarkan bukanlah dogma yang tak memiliki kandungan ilmiah. Apa yang menurut Al-Qur’an baik tidak selamanya kosong dari narasi rasional.

Pada saatnya akan terbukti bahwa bukan Al-Qur’an yang tidak memiliki seragam rasionalitas, melainkan manusia, sebagai makhluk berakal, yang belum mencerna rasionalitas Al-Qur’an.

Itulah Al-Quran dengan segala mukjizatnya yang selalu selaras dengan apa yang senyatanya (das sein) dan apa yang seharusnya (das sollen). Sisi kesamaan antara keduanya yang akan kami bahas dalam hal ini adalah terkait syukur.

Pertama, hubungan keduanya dalam mendefinisikan syukur. Esensi makna syukur menurut Islam memiliki kesesuaian dengan makna dengan kebersyukuran dalam psikologi positif. Kesesuaian tersebut terdapat dalam aspek sikap menghargai, mengakui kebaikan yang dilakukan oleh pihak lain.

Makna syukur dalam Al-Qur’an menitikberatkan pada aspek praksis, yakni sebentuk pengakuan hati, pengakuan lisan, dan pengakuan anggota badan yang terwujud dalam sikap peduli sosial. Makna ini berkaitan dengan istilah syukur yang menggunakan kata kerja, yang menitikberatkan perintah untuk menjalankan ajaran agama.

Hal ini berbeda dengan makna syukur dalam psikologi positif yang lebih menekankan pada aspek kondisi psikologis, yakni menghargai, mengakui atas kebaikan yang dilakukan oleh orang lain. Oleh karena itu terminologi yang digunakan dalam psikologi positif menggunakan istilah kebersyukuran (gratitude).

Perbedaan tersebut tidak jadi soal, karena narasi Al-Qur’an dalam menjelaskan syukur adalah normatif, sementara psikologi positif yang merupakan cabang dari sains menjelaskannya dengan narasi deskripstif. Dalam hal demikian, masing-masing keduanya bisa saling melengkapi dan mengoreksi dalam menjelaskan konsep syukur atau kebersyukuran.

Kedua, hubungan keduanya dalam menjelaskan manfaat dari syukur. Ini tetap tidak melepas cara pandang keduanya terhadap syukur (narasi normatif dan deskriptif).

Adalah Yuditia Prameswari yang sempat melakukan penelitian lapangan dengan kuantitatif tentang keterkaitan syukur dengan kebahagiaan. Variabel yang dia pakai dalam penelitiannya itu adalah gratitude dan psychological well-being (kesejahteraan psikologis).

Dalam penelitiannya itu, dia menyimpulkan gratitude memiliki kaitan erat dengan psychological well-being dengan nilai korelasi 0.589 (p < 0.05). Ia mengatakan bahwa semakin tinggi tingkat gratitude seseorang semakin tinggi pula tingkat kebahagiaan hidupnya.

Beberapa dimensi psychological well-being memiliki dampak positif yang kembali kepada pemiliknya. Dari itu, jelas bahwa gratitude yang memiliki keterhubungan dengan psychological well-being dengan enam dimensinya, bahkan bisa dikatakan ia adalah sebab atas adanya, sejauh apa ia melibatkan orang lain, nyatanya juga memiliki dampak positif yang kembali kepada pelakunya.

Nah, untuk hal itu, dalam surah Lukman, ayat 12, Allah SWT juga berfirman “Dan sungguh Kami memberikan kapada Lukman akan hikmah, dan bersyukurlah engkau kepada Allah. Barang siapa yang bersyukur (kepada Allah) sesunnguhnya ia bersyukur kepada dirinya. Dan barang siapa yang kufur (kepada Allah) maka sesungguhnya Allah itu Maha Kaya lagi Maha Terpuji”.

Abul Hasan Muqatil bin Sulaiman dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa maksud dari lafaz fainnama yasykuru linafsihi adalah berbuat kebaikan untuk dirinya sendiri (fainnahu ya’malu al-khoiro linafsihi).

Ayat tersebut menegaskan bahwa ihwal laku syukur bukan hanya persoalan ucapan terima kasih dan pengakuan akan sumber nikmat, melainkan, lebih dari itu, ia adalah sebentuk usaha peningkatan kualitas hidup dan diri manusia melalui hasil akhir dari syukur sebagaimana yang disinggung oleh ayat di atas. Maksud dari peningkatan kualitas ini adalah anugerah ketaatan atau loyalitas kepada pihak yang disadari sebagai pemberi kenikmatan.

Penjelasan menarik disampaikan oleh Muhammad bin Jarir At-Thabari dalam kitabnya, Jami’u al-Bayan fi Ta’wili al-Quran atau yang dikenal dengan Tafsir ath-Thabari. Ia menjelaskan maksud dari kalimat di atas bahwa orang yang bersyukur kepada Allah hanyalah bersyukur karena upaya mendapatkan kepentingan untuk dirinya, tidak yang lain.

Hal ini karena Allah tidak membutuhkan apa pun dari makhluknya. Allah memerintah makhluknya bersyukur sebagai bentuk singgungan faedah untuk mereka yang bisa didapat melalui syukur.

Di antara dimensi di atas terdapat beberapa bagian yang berhubungan langsung dengan hubungan sosial; bahwa psychological wellbeing selalu berakhir indah dalam membina hubungan sosial.

Dan memang demikian nyatanya; bahwa dalam psikologi positif, orang-orang yang memiliki kebiasaan dalam bersyukur kepada Tuhan memiliki kemampuan memahami jiwa dan batin orang lain dengan penuh empatik. Meskipun tidak memiliki banyak harta, orang yang bersyukur cenderung lebih dermawan dan rendah hati dibandingkan dengan orang-orang kaya.

Kaum yang bersyukur lebih cenderung untuk mengakui keyakinan akan keterkaitan seluruh kehidupan, serta rasa ikatan dan tanggung jawab terhadap orang lain. Pribadi-pribadi memiliki kebersyukuran cenderung memiliki sifat materialistis yang rendah. Mereka cenderung tidak menilai keberhasilan atau keberuntungan diri mereka sendiri dan orang lain dari jumlah harta benda yang mereka kumpulkan.

Allah SWT juga berfirman dalam Q.S Al-Hajj, ayat 36 “Dan telah Kami jadikan unta-unta itu untuk kamu sebagai bagian dari syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya. Maka sebutlah nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan sudah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan berilah makan kepada fakir miskin yang tidak meminta-minta dan yang meminta-minta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu untuk kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur”

Dengan jelas Allah SWT dalam ayat tersebut menyinggung persoalan sosial. Bagaimana orang yang mendapatkan peruntukan nikmat dari Allah hendaknya memberikan bantuan kepada yang membutuhkan sebagai bentuk kepedulian sosial. Dan setelah itu, dalam ayat itu disebutkan bahwa peruntukan nikmat tersebut kepada manusia adalah agar mereka bersyukur.

Kesimpulan secara utuh adalah bahwa pemberian nikmat dari Allah hendaknya disyukuri. Namun, selain itu juga jangan lupa untuk tetap peduli sosial dengan hartanya itu. Nah, sikap peduli sosial inilah yang kemudian menjadi representasi dari syukurnya. Hal ini kembali lagi kepada prinsip awal bahwa narasi Al-Qur’an itu normatif, sementara psikologi positif itu deskriptif.

Namun, pada saat yang sama ketika psikologi positif menjelaskan syukur berdasarkan temuan fakta-fakta secara deskriptif dan menemukan kesimpulan bahwa ia dapat menarik kebahagiaan, sebagai salah satunya, ia juga menegaskan bahwa emosi juga harus dikontrol.

Kebahagiaan sebagai emosi positif harus selalu dijaga agar tidak menarik emosi positif seperti kesedihan. Dalam hal ini psikologi menjelaskan bahwa emosi penting untuk tetap dikontrol agar tidak merusak tatanan ekuilibrium atau homeostatis yang senantiasa menjaga keseimbangan kimiawi tubuh.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan