Ta’dib, Model Pendidikan Berkeadaban

249 kali dibaca

Dewasa ini, pendidikan terkonstruk secara formal dengan bernaung di bawah rezim perundang-undangan. Sudah sewajarnya, pemerintah berupaya keras untuk memberikan gagasan dengan tujuan terbentuknya sistem pendidikan yang berkeadaban, yang mampu menghantarkan anak didik kepada pintu kebijaksanaan secara menyeluruh.

Akan tetapi, gagasan ini tidak benar-benar mampu dicerap oleh anak didik dalam skala besar. Hal itu terindikasi dari perilaku anak didik yang tidak benar-benar mampu mengimplementasikan nilai-nilai pendidikannya di ranah sosial. Untuk itu, dalam pembelajaran, internalisasi pengetahuan tidak cukup tanpa dibarengi internalisasi moral kedalam diri anak didik.

Advertisements

Definisi Ta’dib

Secara etimologis, ta’dib berasal dari bahasa Arab, yaitu أدب yang berarti berkeadaban. Sedangkan, termiologi ta’dib menurut Nuqaib al-Attas adalah proses pendidikan yang mengoptimalkan potensi jasmani, intelektual, dan ruhani dalam proses penanaman adab.

Dengan demikian, ta’dib merupakan upaya pendidikan yang jauh lebih kompleks, karena selain menyematkan pengetahuan secara umum, juga menyemaikan pendidikan karakter bernuansa Islami. (Achmad Yusuf, Pesantren Multikultural, 6).

Ta’dib bertendensi kepada pendidikan moral. Sedangkan, moralitas itu sendiri merupakan ciri khas manusia yang tidak dapat ditemukan pada makhluk lainnya. Secara signifikan, ta’dib membedakan antara pendidikan Islam dan Barat.

Sejatinya, konsep pendidikan dalam Islam jauh lebih kompleks disanding dengan Barat. Selain sekadar transmisi ilmu, domain pendidikan Islam juga menyangkut nilai karakter individu (Syaiful Sagala, Etika dan Moralitas Pendidikan, 1).

Kontruksi Moral Era Kontemporer

Moral terbentuk dari tindakan-tindakan kolektif yang disepakati secara komunal dalam suatu wilayah. Terbentuknya moral itu sendiri untuk mewujudkan harkat dan martabat manusia dengan sarana implementasi nilai-nilai dan norma yang berlaku. Hal itu juga untuk merealisasikan stabilitas dan keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam term Islam, moral diistilahkan dengan akhlaq. (Harbani Pasolong, Etika Profesi, 45).

Moral patut diimplementasikan di segala sudut kehidupan, tidak terbatas ruang dan waktu. Sebab hal itulah yang secara spesifik membedakan antara manusia dengan makhluk lain.

Memasuki abad 21, eksistensi moral dalam kehidupan mengalami degradasi. Degradasi moral sendiri adalah kemorosatan tingkah laku dari kesalehan menuju perilaku yang menyimpang dari norma-norma yang ada. Hal ini disebabkan kurangnya kesadaran diri terhadap kewajiban dan eksistensi Tuhan.

Contoh realistis dari terdegradasinya moral dewasa ini adalah dari perilaku yang terjadi di ranah sosial. Pada anak sekolah, krisis moral ditunjukkan dengan perilaku tawuran, bullying, menyontek, mabuk, dan pembegalan.

Tidak hanya itu, pada taraf usia dewasa, krisis moral tersebut dipertontonkan dengan kasus korupsi, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pelecehan seksual, dan masih banyak lagi. Fenomena-fenomena tersebut menyimbolkan kualitas moral pada era kontemporer ini. (Fitria Meisarah, dkk, Dunia Pendidikan Indonesia Menuju Era Revolusi 4.0, 53).

Ta’dib Sebagai Metode Pembelajaran

Seperti yang disampaikan Nuqaib al-Attas, bahwa ta’dib memiliki peran yang lebih vital disbanding dengan ta’lim, tarbiyah, tadris, maupun yang lain. Ta’dib memuat nilai teoretis maupun praktis.

Nilai teoretis termanifestasikan dengan pemahaman dan kesadaran akan pengetahuan, umum maupun agama, sebagai bekal hidup dunia dan akhirat. Sedangkan, nilai praktis disini menitikberatkan pada kualitas manusia yang dibahasakan dengan tingkah laku yang baik, beradab, bermoral, dan tidak merugikan. (M. Nuqaib al-Attas, Ta’lim al-Islamy-Ahdafuh wa Maqasidah, 56).

Penyemaian adab dalam upaya ta’dib sebagai metode pembelajaran, merupakan hal substansial dalam pendidikan Islam. Secara ontologis, ta’dib mencakup seluruh aspek kehidupan manusia dengan bekal fitrah yang dihaturkan Tuhan sejak ia lahir. Setidaknya, ta’dib memiliki empat cakupan yaitu education (pendidikan), discipline (kedisiplinan), chastisemen (hukaman), dan disciplinary punishment (hukuman sebagai penunjang kedispilinan).

Al-Attas lebih mengistilahkan pendidikan Islam dengan ta’dib karena konsistensi perhatiannya terhadap akurasi dan autentitas dalam memahami ide-ide dan konsep-konsep Islam. Nilai-nilai yang terkandung ta’dib secara keseluruhan sudah memuat nilai-nilai tarbiyah dan ta’lim. Dengan ta’dib mampu mewujudkan tingkah laku dan sifat-sifat yang sebagaimana diteladankan oleh Rasullah SAW, atau dalam kata lain menjadi insan kamil

Aspek-aspek spiritualitas tertanam dalam metode ta’dib yaitu mengintegrasikan aspek tubuh, jiwa, dan ruh terhadap pengenalan dan pengakuan kepada Tuhan. Di samping itu, terdapat pula aspek-aspek sosiologis yang menuntut manusia untuk bermuamalah dengan baik. Apabila diintegrasikan, maka kedua asek tersebut menjadi landasan manusia untuk hidup secara humanis-religius.

Sehubung dengan terdegradasinya moral dewasa ini, konsep ta’dib perlu diusung dan dikonstruksikan ulang. Rekonstruksi terhadap pendidikan mesti direlevankan dengan situasi sosial, teknologi, sains, dan perkembangan ilmu yang lainnya.

Dengan fondasi moral yang tepat, anak didik akan mampu menuntun dirinya ke depan pintu kebijaksanaan. Bukan hanya sekadar internalisasi ilmu pengetahuan, lebih dari itu, internalisasi yang diupayakan adalah nilai, moral, spiritual, dan hal profane lainnya.

Santri sebagai Model Ta’dib

Moralitas dan pendidikan tidak bisa dipisahkan. Sebagai pelajar yang berlabel santri, jelas sudah apa itu makna nilai tata dan krama dalam berhubungan sosial. Santri selalu digembleng untuk mampu memposisikan dirinya ketika berhadapan dengan orang yang lebih muda maupun yang lebih tua. Pendidikan kepesantrenan yang dimiliki oleh seorang santri sudah sangat cukup untuk dicitrakan di dunia luar.

Santri menjadi simbol akan pentingnya adab jika dibandingkan dengan ilmu. Karena ilmu tanpa adab juga akan merusak reputasi keilmuan tersebut. Maka dari itu, seorang santri harus mencerminkan tindakan-tindakan yang moril demi menunjukkan entitas santri yang sebenarnya kepada masyarakat luas.

Kesimpulan

Jika pendidikan hanya berpacu pada semangat keilmuan umum dan mengenyampingkan aspek-aspek spiritual, maka yang tercipta adalah tatanan peradaban yang kompetitif dan idividualis. Ta’dib yang terkandung di dalamnya aspek spiritualis dan sosiologis, berorientasi kepada kecakapan intelektual, relasi interpersonal, dan kesadaran transendental. Integrasi dari ketiga instrumen tersebut akan meningkatkan harkat dan martabat manusia menjadi sosok insan kamil.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan