Tak Sebusuk Bau Kentutku

39 views

“Kamu putra Pak Kariman, kan? Kampung pojok?” pertanyaan Pak Hamdan merenggut ketenanganku. Untuk apa aku dipanggilnya?

“Lho, kok nggak dijawab pertanyaanku?” Sorot mata Pak Hamdan bagai kilatan pedang yang menantang nyawa. Dan aku masih enggan menjawab pertanyaannya.

Advertisements

Walaupun sederhana, pertanyaan itu terasa menyanderaku. Identitas bapak akan menyeret keluargaku ke dalam permasalahan yang kualami. Kesalahanku akan terlimpah pula pada bapak, juga keluarga dan sanak familiku.

“Anak polah bapak kepradah, Le,” nasihat bapak suatu waktu.

Kesalahanku berarti akan pula menimpa bapak sebagai pihak yang harus menanggung risiko. Dan hal itu membuatku merasa sangat bersalah.

Kutelan ludah yang dilumuri rasa cemas. Bapak tidak boleh tahu aku berbuat kesalahan di pondok, aku bertekad dalam hati. Jangan sampai beban berat pundaknya kutambah dengan beban malu begini. Apalagi Pak Hamdan juga berasal dari desaku, aibku akan disebarkannya ke seluruh penjuru kampung tatkala ia pulang nanti.

“Iya, Pak,” sahutku dengan suara lirih. Kepalaku menunduk kembali setelah memberi jawaban pada pengurus keamanan pondok itu.

“Kau tahu kenapa kau dipanggil ke mari?”

Benar dugaanku, pertanyaan lelaki yang terkenal kejam itu pasti akan menghakimiku. Tubuhku mulai basah oleh keringat. Ruang sempit berbau rokok dan pengap ini semakin membuat pikiranku buntu untuk mencari jawaban.

“Tidak tahu,” sahutku ketus.

Kulirik dia. Terukir senyum sinis di sudut bibirnya. Menyebalkan memang orang ini. Apalagi kepulan-kepulan asap rokok yang keluar dari mulutnya, membuatnya tampak pongah sekali.

“Baiklah,” ucapan pendek Pak Hamdan diikuti oleh batuk kecil. Pengurus keamanan itu menghisap rokoknya kembali. Ruang keamanan sempit ini semakin terasa sempit. Tubuhku semakin gerah pula.

“Berapa uang kirimanmu tiap bulan?” Ia memberi pertanyaan berikutnya.

Aku diam berpikir setelah sekilas melihat wajahnya. Mulutnya berdesis menguarkan asap. Sebatang rokok ia jepit dengan kedua jemari tangan. Sedang tangan kirinya bergerak menyentuh kopiah hitam yang bertengger di kepalanya. Kopiah itu ia turunkan sedikit ke belakang menampakkan rambut lurusnya yang tak beraturan. Orang ini berwajah tampan. Tapi keangkuhannya terlalu memuakkanku.

“Tidak tentu Pak.”

“Pernah telat?”

“Pernah.”

“Kapan?”

“Lupa Pak.”

“Sering?”

“Apanya Pak?” kutengadahkan kepala untuk memahami pertanyaannya.

Dia berdecih kesal.

“Kirimannya! Kau pikir apa?”

Suara membentak itu mengejutkanku. Dan emosiku pun tersengat.

“Oh. Kirimannya, sering telat, Pak,” jawabku kemudian.

“Kalau telat kamu makan apa?”

“Makan nasi, Pak,” jawabku.

Pak Hamdan terdiam. Kedua alisnya bertaut dengan kening yang berkerut-kerut. Lalu aku menunduk lagi.

“Kalau malam?”

“Minum susu, Pak. Sialan, ngajak main tepuk ami-ami malah orang ini,” gerutuku dalam hati.

Alih-alih mengucapkannya dengan lisan, aku justru diam mematung menunggu reaksinya.

“Maksudku kau makan pakai apa?”

“Kadang piring, kadang nampan, Pak. Seperti lazimnya para santri.”

Pak Hamdan berdiri. Aku ingin tahu, seberapa kuat dia menahan umpatan yang bercokol dalam hatinya?

“Bentar. Aku mau wudhu dulu. Aku harus mengusir setan yang berdatangan karena meladeni ucapanmu. Takut ruangan ini terbakar amarah,” ucapnya seraya melangkah keluar. Aku semakin terdiam. Rasa cemasku belum berakhir. Apa aku harus melarikan diri? Ah, aku tak se-pecundang itu.

Sembari menunggu Pak Hamdan datang aku mengamati ruangan 2 X 3 ini. Di sekeliling tembok terpampang foto para masyayikh. Kutemukan keteduhan di wajah mereka. Lama kelamaan aku malu sendiri memandang mereka setelah membandingkan dengan diriku yang sering abai dengan peraturan pondok.

Tiba-tiba perutku terasa kembung dan ingin kentut, mumpung pengurus keamanan itu belum datang, cepat-cepat aku mengangkat pantat untuk mengeluarkan angin. Dan alhamdulillah, berhasil. Perutku terasa longgar kembali. Kecemasanku berkurang.

Sialnya tiba-tiba Pak Hamdan masuk ke ruangan, padahal aku sedang berusaha keras menghisap bau busuk hasil emisi gas barusan. Aku sangat berharap dia masih merokok biar udara berbau busuk yang memenuhi ruangan ini segera ternetralkan. Sayang sekali, dia datang dengan tangan hampa. Sempat kulihat hidungnya kembang-kempis, aku sangat malu. Pasti racunku mulai menyerang hidungnya.

“Hidungku buntu sedari tadi. Penuh dengan umbel,” ucapnya ketika meletakkan pantatnya di kursi depanku. Seketika aku merasa lega. Selain karena dia menjadi kepala keamanan, aku segan padanya karena bapakku sering buruh di sawah milik orang tuanya. Keluarga Pak Hamdan adalah salah satu ningrat yang ada di desaku. Untuk itulah aibku tak boleh tercium oleh hidungnya. Namaku akan semakin busuk di hadapannya.

“Kemarin kamu masuk sekolah?” tanyanya.

Aku lemas. Keringatku semakin deras keluar.

“Kamu dengar suaraku?”

“Dengar, Pak.”

“Apa jawabanmu?”

“Kemarin aku tidak sekolah, Pak.”

“Kenapa? Tak tahu kau bagaimana lelahnya bapakmu mengais rezeki? Tak tahu kau betapa dia sangat mengaharapkanmu menjadi orang kelak? Dia sering bertanya tentangmu ketika aku pulang. Dia sangat bangga bisa menyekolahkan dan memondokkanmu! Dia merasa menjadi lelaki paling beruntung di dunia karena keberadaanmu di sini! Tak dia rasakan lelahnya membanting tulang karena terlalu besar harapannya atas kesuksesanmu dalam menuntut ilmu! Lalu apa balasanmu???”

Suara menggelegar itu seolah merontokkan dadaku. Tapi aku harus tenang meladeni retorikanya.

“Kemarin perutku sakit sekali, Pak. Aku izin tidak sekolah,” telah aku kuatkan lidah dan dadaku dan wajahku untuk mengelak dari tuduhannya. Bapak tak boleh tahu aibku.

“Berarti kamu dengar berita gaduh di asramamu?” tanya Pak Hamdan.

“Saya di poliklinik, Pak. Sama sekali tidak tahu berita gaduh di asrama.”

“Jadi kamu tidak tahu ada kemalingan di asramamu?”

“Tidak, Pak,” jawabku cepat.

Pak Hamdan tertawa. Pontang-ponting aku berusaha menguasai diri.

“Kamu makan berapa kali hari ini?” tiba-tiba pertanyaannya beralih tema. Entah apa maksud ucapannya.

“Tiga kali,” aku menjawab jujur.

“Di kantin?”

Aku mengangguk. “Aku masih sakit, jadi tidak masak sendiri,” ucapku.

“Jadi, biasanya kamu masak sendiri?”

Lagi-lagi aku mengangguk.

“Berarti uangmu masih banyak minggu ini?” interogasi masih berlanjut. Kujawab lagi pertanyaan itu dengan anggukan kepala.

“Uang dari mana?”

Tersengat kembali jantungku.

“Kiriman bapak.”

Tiba-tiba Pak Hamdan mengeluarkan HP dari sakunya. Sebentar kemudian tangannya berkutat dengan benda kecil berisi banyak hal itu.

“Kau lihat ini,” perintahnya. Ia ulurkan HP itu. Aku mengambilnya dengan penuh tanda tanya. Apa lagi maksud orang ini?

Terlihatlah sebuah video di dalam HP itu. Aku menontonnya dengan jantung berdebar-debar. Tubuhku terasa semakin lemas. Keringat dingin membasahi keningku. Aku lihat diriku sendiri dalam video itu. Tenggorokanku terasa kering. Dan mataku sembab oleh air mata.

“Tonton video itu sampai habis!” tegas Pak Hamdan, dan aku tak lagi sanggup menatap mata orang yang kukenal bengis itu. Kulanjutkan lagi menonton videonya. Menebal rasanya mukaku menahan malu melihat bejatnya ulahku sendiri.

Aku masuk sebuah kamar dengan mengendap-endap. Tidak ada orang di dalam. Lalu aku mengintip ke luar, lalu aku masuk lagi. Kuamati sudut-sudut kamar yang lengang. Kemudian kubuka sebuah pintu laci. Kuobrak-abrik jajaran buku yang tertata rapi. Lalu aku pindah ke laci lain setelah tak menemukan apa-apa. Kulakukan hal itu hingga ke beberapa laci lain sampai akhirnya aku menemukan sejumlah uang. Aku lantas keluar kamar setelah menata kembali bagian-bagian yang kubuat berantakan.

Air mataku meleleh. Terpampang jelas wajah bapak dan makku. Terguncang jiwaku oleh rasa sesal. Hancur semua harapan orang tuaku jikalau melihat video ini. Bagaimana tidak hancur melihat anak yang digadang-gadang untuk menjadi pelita di masa depan ternyata menjadi maling di pesantren, tempat yang dianggap sebagai sebuah kawah candradimuka untuk mencetak orang-orang saleh?

“Kau tak perlu tahu dari mana aku dapatkan video itu. Yang jelas ini adalah bukti bahwa kaulah orang di balik hilangnya uang milik beberapa santri akhir-akhir ini. Pertanyaannya, kenapa sampai kau tega melakukan ini?”

“Uang kiriman bapak telat, Pak. Aku butuh uang untuk menyadur hidup dan sekolah di sini,” tukasku.

“Masih ada keinginan untuk mencuri lagi?”

“Tidak Pak,” kujawab dengan suara parau.

“Berjanjilah tak akan mengulanginya lagi.”

“Saya berjanji tak akan mengulanginya lagi Pak.”

“Sebenarnya bisa saja aku menghukummu di muka para santri lain. Tapi aku ingat siapa bapakmu. Dia orang baik yang sangat menginginkan kesuksesanmu. Terimalah ini, titipan bapakmu.”

Kejutan Pak Hamdan yang kukenal kejam itu belum usai rupanya. Kuambil amplop itu dengan tangan gemetar. Bayangan wajah bapak yang lelah muncul di pelupuk mata. Aku berterima kasih pada Pak Hamdan dan mencium tangannya. Dengan langkah yang berat aku pergi meninggalkan kantor keamanan itu.

Seminggu kemudian Bapak dan Mak datang ke pondok mengirimkan uang dan makanan padaku. Dan kuketahuilah ternyata bapak tak pernah menitipkan uang pada Pak Hamdan. Aku semakin merasa malu. Ternyata selama ini penilaianku terhadap orang kejam itu salah, hatinya tak sebusuk bau kentutku.

Mentaraman, 29 Januari 2021.

Multi-Page

One Reply to “Tak Sebusuk Bau Kentutku”

Tinggalkan Balasan