Tambang dan Tantangan Moral Ormas Keagamaan

66 kali dibaca

Fenomena keterlibatan organisasi masyarakat (ormas) keagamaan dalam sektor pertambangan di Indonesia membuka perspektif yang menarik dalam kajian sosiologi agama. Jika dilihat melalui teori sekularisasi, kita menyaksikan suatu paradoks menarik; alih-alih agama yang tergeser dari ruang publik, justru lembaga keagamaanlah yang memilih untuk memasuki ranah yang selama ini didominasi oleh logika sekuler.

Peter L. Berger, dalam karya awalnya “The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of Relegion”, mengemukakan bahwa modernisasi akan membawa pada sekularisasi masyarakat. Ia berpendapat bahwa seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, peran agama dalam masyarakat akan semakin berkurang—namun, dalam perkembangan pemikirannya, Berger sedikit mengoreksi dan merevisi teorinya, serta mengakui bahwa agama tetap memiliki peran penting di era modern, bahkan dalam bentuk-bentuk yang baru.

Advertisements

Keterlibatan ormas keagamaan dalam industri pertambangan, dapat dilihat sebagai manifestasi dari apa yang bisa kita sebut sebagai “sekularisasi terbalik”. Alih-alih agama yang terdesak oleh rasionalitas ekonomi, justru lembaga keagamaan yang mencoba membawa nilai-nilai religius ke dalam ranah yang selama ini dianggap sekuler.

Namun, proses ini tidak tanpa risiko. Berger mengingatkan bahwa ketika agama bersentuhan dengan logika pasar, ada kecenderungan untuk mengadopsi cara berpikir dan bertindak yang lebih berorientasi pada efisiensi dan keuntungan. Dalam ranah pertambangan, ini bisa berarti ormas keagamaan menghadapi dilema antara mempertahankan nilai-nilai spiritual mereka atau mengikuti tuntutan industri yang sering kali bertentangan dengan prinsip-prinsip keagamaan.

Selain itu, keterlibatannya dalam dalam sektor pertambangan, juga dapat dilihat sebagai bentuk adaptasi dari lembaga keagamaan terhadap apa yang disebut sebagai “situasi pasar”. Dalam masyarakat plural modern, agama harus “bersaing” untuk mendapatkan pengikut. Melalui keterlibatan dalam sektor ekonomi, ormas keagamaan mungkin berharap dapat memperkuat posisi mereka dan menarik dukungan baru.

Akan tetapi, risiko desakralisasi bisa saja muncul apabila agama terlalu jauh masuk ke dalam logika pasar. Dalam konteks pertambangan, ini bisa berarti nilai-nilai spiritual yang selama ini menjadi inti dari ormas keagamaan mungkin tergerus oleh nilai-nilai pertimbangan ekonomi.

Bagaimana ormas keagamaan akan mempertahankan otoritas moral mereka ketika mereka terlibat dalam industri yang sering dikritik karena dampak sosial dan ekologisnya?

Walaupun di sisi lain, fenomena ini juga bisa saja dilihat sebagai upaya resakralisasi ruang publik. Dengan membawa nilai-nilai keagamaan ke dalam industri pertambangan, ormas keagamaan mungkin berharap dapat memengaruhi praktik bisnis agar lebih sejalan dengan prinsip-prinsip etis dan spiritual, lalu dapat membawa dan menumbuhkan kembali kepercayaan terhadap agama dalam menentukan peranan penting di ruang publik.

Namun, tantangan terbesar mungkin terletak pada bagaimana ormas keagamaan akan mempertahankan peran profetis mereka ketika mereka sendiri terlibat dalam aktivitas yang selama ini mereka kritisi. Apakah keterlibatan dalam pertambangan akan memperkuat atau justru melemahkan otoritas moral mereka di masyarakat?

Sehingga pada akhirnya, fenomena ini membuka ruang diskusi baru dan menantang kita untuk memikirkan ulang hubungan antara agama, ekonomi, dan masyarakat dalam konteks modernitas yang kompleks.

Apapun hasilnya, satu hal yang pasti: peran agama dalam masyarakat Indonesia terus berevolusi, menantang prediksi-prediksi klasik tentang sekularisasi dan membuka kemungkinan-kemungkinan baru dalam interaksi antara yang sakral dan yang profan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan