Seperti merayakan kemiskinan. Itulah pemandangan yang bisa kausaksikan di jalanan pinggiran Jakarta atau kota-kota yang merubungnya. Di sepanjang jalan, kau akan sering berjumpa atau berpapasan dengan orang-orang yang seperti sedang merayakan kemiskinan. Tapi kau tak akan tahu apakah mereka benar-benar miskin atau pura-pura miskin. Mereka adalah para pengemis, pengamen, atau gelandangan yang bekerja dengan beragam cara. Mereka membuat kemiskinan tampak semarak.
Jika kau berdiri di salah satu ruas jalan dalam beberapa menit, akan ada lebih dari satu dari mereka yang menghampiri dirimu, menadahkan kantung uang. Atau jika melintasi sebuah jalan yang berbeda, kau akan berpapasan beberapa kali dengan para pengemis, pengamen, atau gelandangan itu. Lebih lama berada di jalanan, kau akan lebih sering melihat mereka. Ada yang bergerak seorang diri. Ada yang bersama satu dua orang lainnya. Ada pula yang berkelompok.
Dari pemandangan sehari-hari di jalanan itu, kau akan tahu bahwa mengemis, mengamen, atau menggelandang tidak lagi tampak sebagai keterpaksaan atau kedaruratan. Tidak lagi tampak sebagai laku yang memalukan atau menyedihkan. Kian hari, laku itu justru tampak sebagai pekerjaan, sebagai mata pencaharian. Ia telah menjelma sebagai unit bisnis baru. Ada juragan-juragan yang memodali atau menyewakan peralatan untuk mengemis. Bayi-bayi disewakan, lalu digendong orang-orang berpakaian kumal yang menyusuri jalanan untuk menarik simpati darimu. Gerobak-gerobak dorong serta alat pemutar musik atau karaoke portabel juga disewakan, agar para pengemis dan pengamen itu membuat dirimu lekas morogoh kocek. Nanti, sepulang dari mengemis, mereka harus menyetor kepada juragan atau membayar uang sewa peralatannya.
Razia yang sering dilakukan oleh petugas satuan polisi pamong praja ternyata juga tak mengurangi jumlah mereka. Matamu akan melihat, jumlah mereka semakin hari kian bertambah. Setidaknya hari ini, ketika razia dilakukan, ada wajah baru yang ikut terjaring —selebihnya adalah mereka yang sebelumnya pernah kena garuk, entah itu pekan lalu, bulan lalu, atau tahun lalu. Wajah baru itu adalah perempuan bertubuh ramping dengan dandanan laiknya pengemis atau pengamen. Ia diangkut petugas bersama gerobak dorongnya yang digunakan untuk menaruh speaker dan alat pemutar musik serta kotak kecil wadah uang receh.
Ketika diperiksa petugas di gedung satuan polisi pamong praja, perempuan paro baya itu mengaku bernama: Maya. Ia mengaku belum lama mengemis, baru sekitar dua pekan. Tapi kau akan melihat keanehan di sana. Kotak wadah uang untuk menampung duit recehan dari penderma seperti dirimu kosong melompong. Padahal, pengemis, pengamen, atau penggelandang yang lain menggembol uang sangat banyak. Ada yang sampai jutaan rupiah, disimpan di beberapa wadah. Petugas yang memeriksa pengemis kita ini juga keheranan saat tak menemukan sepeser pun uang. Ia kemudian diperiksa di ruangan khusus untuk digeledah pakaiannya.
Dengan nada geram, petugas yang memeriksanya melontarkan hardikan, “Kau simpan di mana uangmu hasil mengemis, hah?!”
“Memang tidak ada, sepeser pun,” jawab pengemis itu kalem.
“Jangan bohong kamu pada petugas! Yang lain-lain bisa dapat sampai jutaan rupiah, mana mungkin kamu tak dapat sepeser pun!”
“Mereka mengemis pada manusia…”
“Hah?! Apa kaubilang?!”
“Iya, mereka mengemis pada manusia…”
“Lalu kau mengemis pada siapa? Setan?”
“Tidak. Aku hanya mengemis pada Tuhan.”
“Sialan! Tuhan kaubawa-bawa pula mengemis. Kau mestinya bisa dapat lebih banyak.”
“Memang Tuhan tak memberi uang pada pengemisnya.”
“Gila! Dasar sinting!” petugas itu mengumpat dan meninggalkannya sendirian di ruang pemeriksaan.
Petugas akhirnya menyita seluruh peralatan para pengemis itu. Ketika para petugas sedang sibuk menghitung uang yang dikumpulkan dari para peminta-minta di ruangan lain, secara misterius pengemis kita sudah tak ada di sana. Seperti ditelan bumi begitu saja. Tapi, beberapa hari kemudian, ia telah kembali ke jalanan. Namun, kali ini ia tak lagi mendorong atau menyeret gerobak. Ia hanya mencangklong peralatan karaoke portabel di bahu kanannya dan dibahu kirinya tersampir kantung wadah uang.
Melalui peralatan itulah, seperti beberapa pengemis lainnya, sambil menyusuri jalan, ia terus menerus melantunkan ayat-ayat suci, selawat nabi, atau puji-pujian yang sering kaudengar dari langgar di dusun-dusun. Memang dengan cara seperti itulah para pengemis banyak mendulang uang. Tapi jika punya mata elang, jeli mengamati apa yang terpandang, kau akan tahu bahwa pengemis kita ini memang berbeda dengan yang lainnya.
Lihatlah, ia hanya terus berjalan, menyusuri jalanan dengan langkah yang ritmis, tanpa menghiraukan orang-orang atau apa saja yang ada di sekelilingnya. Jika pengemis lain akan berhenti lalu menadahkan tangan saat berpapasan dengan orang lain, tidak demikian dengan pengemis kita ini. Jika pengemis lain akan berbelok arah untuk menghampiri orang yang duduk di seberang jalan lalu menyodorkan kantung wadah uang, tidak demikian dengan pengemis kita ini. Ia, secara misterius, justru menghindar ketika terlihat ada seseorang hendak mendermakan uang recehan.
Lalu dengarlah suaranya. Jika pengemis lain suaranya dibuat-buat sedemikian rupa saat melantunkan ayat-ayat suci, selawat nabi, atau puji-pujian agar kau terharu dan sudi bersedekah, tidak demikian dengan pengemis kita ini. Dengarlah, suaranya terdengar begitu misterius. Kadang terdengar seperti orang sedang bernyanyi. Ia melagukan ayat-ayat suci atau selawat nabi. Sesekali hanya terdengar seperti orang sedang bersenandung. Tapi kadang yang terdengar dari mulutnya seperti suara tangisan meskipun yang diucapkan kalimat-kalimat yang sama belaka. Jerit tangis yang sungguh menyayat-nyayat hati. Di sepanjang jalan yang ia lintasi, suaranya akan selalu terdengar semesterius itu.
Dan kau akan menganggap ia sebagai pengemis misterius. Mungkin benar demikian. Sebab, sekalipun memiliki mata elang, kau tak akan pernah secara gamblang bisa melihat wajahnya, melihat rupanya. Kau akan sia-sia untuk memastikan kecantikan wajahnya atau keburukan rupanya. Sebab, wajahnya selalu hanya akan terlihat seperti siluet. Entah benda apa yang menutupinya. Tapi siluet itu terus bergerak ke mana kakinya melangkah. Bisa disebut, pengemis kita ini adalah perempuan berwajah siluet. Kau tetap tak tahu apa-apa tentangnya sampai suatu hari ada seorang lelaki yang menggandeng anaknya berdiri di pinggir jalan seperti sedang mengadang seseorang.
Lelaki itu biasa disebut Romo Kiai, dan bocah yang digandengnya itu biasa dipanggil Gus Kecil. Mereka terlihat keluar dari pintu gerbang pesantren di kawasan Ciganjur. Setelah berjalan kaki beberapa waktu, mereka sampai di tempat berdiri saat ini, di sisi dalam pinggir jalan yang ramai lalu lintasnya.
“Kita mau ke mana, sih, Romo?” tangan Gus Kecil memegangi tangan ayahnya.
“Cari angin, lihat-lihat pemandangan. Di rumah terus bosan, kan, Gus.”
Saat itulah suara misterius seperti nyanyian seperti tangisan lamat-lamat mulai terdengar. Lelaki itu berdiri dengan khusyuk, namun si bocah bola matanya berputar-putar menyaksikan ramainya jalanan. Setiap ada yang melintas di depannya ditelanjangi dengan matanya. Dan, ketika seorang pengemis melintas di depannya, ia melepas tangan ayahnya, dan hendak berlari mengejar si pengemis.
“Eh, jangan!” lelaki itu menarik tangan anaknya.
“Kenapa Romo? Aku mau bersedekah pada pengemis itu, seperti yang Romo ajarkan,” Gus Kecil merengek.
“Jangan ganggu dia.”
“Kenapa, Romo?”
“Dia tak sedang mengemis. Dia bukan pengemis. Dia sedang berasyik-masyuk.”
“Dengan siapa, Romo?”
“Dengan kekasihnya.”
“Dia sendirian, Romo, tak ada siapa-siapa.”
“Kekasihnya, ya Tuhan.”
“Oh, seperti Rabiah yang pernah Romo ceritakan itu ya.”
“Ya begitulah, Gus…”
“Kenapa harus jadi pengemis, Romo?”
“Kelak kau akan tahu, Gus, kekasih Tuhan bisa menjadi apa saja, bisa berzikir dengan cara apa saja.”
“Ini ya, tujuan Romo ngajak ke sini.”
“Ya, Romo ingin melihatnya meski hanya sekelebatan.”
Lelaki itu kembali menggandeng tangan anaknya untuk pulang ketika kelebatan bayangan pengemis itu hilang dari pandangan mata, termasuk hilang dari pandangan matamu. Tapi suara seperti nyanyian seperti tangisan perempuan pengemis itu masih akan terdengar di sepanjang jalan yang dilaluinya.