Tarawih ala “Geng Jompo”

96 views

Ini kisah tentang pinisepuh, generasi yang selalu membuat saya takjub. Sudah berlangsung beberapa tahun, jauh sebelum virus Corona mewabah, pinisepuh di kampung saya selalu rutin tarawih berjamaah, tapi di rumah. Kenapa?

Kampung saya, yang kebetulan berbatasan dengan desa tetangga, memiliki prasarana yang cukup untuk menjalankan ibadah. Ada masjid jami yang jadi pusat kegiatan ibadah warga. Juga banyak musala atau langgar, besar atau kecil, berkilau atau reyot, yang bertebaran di sudut-sudut kampung. Di seberang desa juga ada pesantren yang memiliki musala ukuran besar. Masjid desa tetangga juga tak jauh dari kampung saya.

Advertisements

Praktis, jika Ramadan tiba, kami tak akan kekurangan tempat untuk melaksanakan tarawih berjamaah. Ada masjid jami. Bertebaran pula musala atau langgar. Semua menyelenggarakan tarawih berjamaah.

Hanya, karena kebetulan warga kampung saya adalah kaum nahdliyin, maka di tiap masjid atau musala, salat tarawihnya sebanyak 20 rakaat plus tiga witir. Total 23 rakaat. Mungkin karena banyaknya rakaat itulah, maka pelaksanaan tarawih berjamaah biasanya seperti “balapan”. Cepet-cepetan, mulai dari takbir, pembacaan al-fatikhah, pembacaan surat-surat setelah al-fatikhah, rukuk-sujud, hingga salam. Soal khusyu atau tumaninah, itu nomor dua. Yang penting tarawih cepat selesai. Paling lama, jika tarawih dimulai pukul 19.00, sejam kemudian, atau lebih sedikit, jemaah sudah bubar.

Tentu saja, hanya orang-orang muda atau orang-orang dewasa yang masih sehat bugar tubuhnya, yang mampu mengikuti ritme “balapan” tarawih berjamaah tersebut —plus kanak-kanak dengan segala tingkah polahnya.

Nah, karena itulah, pinisepuh kampung saya, orang-orang yang sudah uzur usia, yang tubuhnya sudah reyot, sudah buyutan, sudah jompo, dan ketika berjalan pun harus bertumpu pada tongkat, tidak pernah tampak ikut tarawih berjamah baik di masjid maupun di langgar. Mereka tidak bertarawih? Tidak juga.

Rupanya, diam-diam mereka menyelenggarakan tarawih berjamaah sendiri. Tidak di masjid atau musala-musala, melainkan di rumah salah satu anggota “geng jompo” itu. Imamnya juga anggota “geng jompo” itu, seorang kiai kampung yang sudah sangat uzur. Jemaahnya? Belasan. Kadang puluhan orang. Mereka, tentu saja, kakek-kakek dan nenek-nenek.

Maka, melihat tarawih “geng jompo” ini seperti layaknya menonton adegan slow motion dari sebuah film. Sang imam, dengan suara yang lirih, kadang terputus kadang tak terdengar, membaca surat-surat pendek dengan irama yang lambat. Bahkan sangat lambat. Begitu juga dengan gerakan-gerakan dalam salat. Benar-benar slow motion.

Bagaimana dengan jemaahnya? Beragam macam. Ada yang salat sambil duduk. Ada yang sambil terbungkuk-bungkuk. Ada yang tubuhnya doyong ke kiri atau ke kanan, bahkan tertiup angin semilir pun seakan bisa rubuh. Ada pula yang baru beberapa rakaat sudah “menyerah”, memilih selonjoran. Atau bersandar di dinding.

Sang imam pun bertindak  “kooperatif”. Setiap kali habis uluk salam, ia akan menoleh ke belakang, melihat kondisi jemaahnya. Jika banyak yang sudah ngos-ngosan, sang imam tak akan lekas berdiri. Ia akan memberi jeda kepada jemaahnya untuk mengambil napas, memulihkan tenaga yang tersisa. Beberapa waktu kemudian, barulah tarawih dilanjutkan.

Karuan saja, jika di masjid atau langgar-langgar tarawih sudah tuntas sebelum pukul 21.00, maka tarawih di “geng jompo” ini baru berakhir sekitar pukul 24.00, bahkan lebih. Menjelang dini hari para kakek-nenek ini baru berjalan pulang ke rumah masing-masing. Itu pun, ada saja yang tarawihnya tak sampai tuntas 20 rakaat plus tiga witir. Bukan lantaran mereka bukan nadliyin, tapi semata-mata karena batas kemampuan melawan keterbatasan.

Maka, ketika orang-orang di berbagai daerah meributkan anjuran untuk tidak tarawih berjamaah di masjid dan lebih baik beribadah di rumah saja karena pandemi, pinisepuh “geng jompo” di kampung saya masih terus tersenyum saat melangkah menuju tempat tarawih mereka. Itulah yang membuat saya selalu takjub.

Dari pinisepuh ini saya sadar bahwa sesungguhnya beragama itu sederhana, sampai kemudian kita membuatnya menjadi masalah rumit.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan