Tarawih di Surau Mbah Mamad

32 views

Setelah sekian lama, saya meninggalkan kesibukan rutin dan memilih zona yang dipenuhi kemalasan. Pada kesempatan ini saya terdorong untuk mencoba meregangkan jari-jemari dengan menulis.

Liburan pesantren ternyata sangat perlu dan bukan sekadar untuk rehat dari rihlah menimba ilmu. Berbaur dengan masyarakat justru merupakan sumur pengetahuan yang membawa banyak hikmah dan pelajaran.

Advertisements

Sebagai santri yang sejak kecil hidup di kampung, surau bukanlah tempat yang sukar untuk dijumpai. Begitu banyak dijumpai surau-surau kecil yang biasanya ketika tarawih shaf salatnya diisi oleh mereka yang sudah berumur tua.

Anak mudanya ke mana? Biasanya mereka yang muda lebih memilih masjid sebagai tempat tarawih karena bisa berbaur dengan teman sejawatnya.

Memang saya masih muda, tetapi untuk jamaah tarawih saya lebih memilih surau kecil dan berbaur dengan kakek-kakek dan nenek-nenek yang cantik. Ada banyak hal yang dapat saya renungi dan menjadi pelajaran dari salat berjamaah bersama mereka.

Di surau yang saya tempati, saya selalu bersebelahan dengan seorang kakek. Namanya Ahmad, saya biasa memanggilnya Mbah Mad.

Mungkin umurnya sudah enam atau tujuh puluhan. Usianya yang renta dapat saya rasakan ketika tangan dan hidung saya mencium tangannya ketika selesai salat isya. Napasnya tak lagi sunyi. Tarikannya selalu menimbulkan suara serak di kerongkongan yang sudah keriput itu.

Terkadang keluhan muncul setelah salam di setiap salat tarawih yang dikerjakannya. Meskipun demikian, beliau lebih memilih salat secara sempurna dengan berdiri dari pada duduk. Dan di sinilah keseruan saya berjamaah di surau.

Melihat kegigihan Mbah Mamad membuat saya merasa hina di hadapan Allah Swt yang saat ini banyak memberikan anugerah melebihi kakek tersebut, tapi saya campakkan dengan maksiat. Saat ini saya tidak memosisikan Allah Swt sebagai Tuhan yang maha pengasih, penyayang, dan pemaaf. Mungkin yang lebih tepat saya memosisikan Allah Swt sebagai Tuhan yang telah kecewa kepada saya. Ia menegur dengan menjadikan sang kakek sebagai renungan pada hamba-Nya yang tak kunjung sadar. Ya Allah.

Dari kakek ini saya juga mendapat pelajaran hidup selain teguran yang saya rasakan tadi. Beliau tinggal bersama istri dan satu anak lelakinya dengan kesederhanaan. Tempat tinggalnya sangat sederhana, hanya berdinding anyaman bambu yang menutupi di sisi kanan dan kirinya. Tapi dialah yang berkepemilikan atas surau yang ditempati banyak orang untuk salat jamaah. Beliau sisihkan hartanya untuk si surau agar berdinding batu bata dan berkipas angin. Sedangkan yang beliau tinggali adalah rumah sederhana bersama keluarganya. Sungguh patut ditiru kesederhanaan beliau dalam hidup dan kemewahannya dalam menghidupi syiar agama.

Di pengujung Ramadan, tepatnya ketika malam takbir Idul Fitri, Mbah Mamad biasanya akan membawa setengah karung beras untuk diberikan kepada imam salat tarawih di suraunya. Hal ini sebagai bentuk terima kasih sudah menyempatkan waktu menjadi imam salat tarawih.

Duh, lagi-lagi saya tersentuh dengan akhlak beliau ini. Sulit menemukan orang seperti beliau ini. Tetap memberi di kala kebutuhan diri dan keluarga belum sempurna terpenuhi. Semoga Allah Swt membalas kebaikan-kebaikan beliau dengan rahmat, pahala,surga, dan keridaan di sisi-Nya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan