SALAH SATU pondok pesantren tertua dan terbesar di Tanah Air, Pesantren Tebuireng, genap berusia 120 tahun. Mulai 23 hingga 25 Agustus 2019 ini, digelar serangkaian acara untuk memperingati hari jadi pesantren yang didirikan oleh Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari pada 3 Agustus 1899. Antara lain, seminar nasional, bakti sosial, ijazah istighosah, dan testimoni santri Hadratussyaikh.
Sejumlah tokoh nasional, pejabat negara, dan tokoh-tokoh pesantren menghadiri rangkaian acara bertajuk “120 Tahun Pesantren Tebuireng” ini. Pada Jumat 23 Agustus 2019, digelar seminar nasional bertema “Peran dan Sumbangsih Pesantren dalam Mencerdaskan Bangsa”. Tampil sebagai pembicara adalah M Luthfillah Habibi (Sekum PP Sidogiri), Dr H Ahmad Zayadi (Direktur PD Pontren Kemenag RI), Dr Ir KH Salahuddin Wahid (Pengasuh Pesantren Tebuireng), KH Hasan Abdullah Sahal (Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor), dan KH Glory Islamic (Pengasuh Yayasan SPMAA Lamongan).
Selanjutnya, pada Sabtu 24 Agustus 2019, juga digelar seminar nasional ini bertema “Peran dan Sumbangsih Ormas Islam dalam Mencerdaskan Bangsa”. Kali ini, tampil sebagai pembicara adalah Prof Dr H Syafiq A Mughni (Ketua PP Muhammadiyah), Al Habib Ali Bin Muhammad Al Jufri (Ketua Umum PB Al Khairaat), Prof H Mohammad Nasir (Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi), Prof Dr Ir KH Muhammad Nuh (Ketua Bidang Pendidikan PBNU), dan H Mohammad Zahri (Ketua Umum JSIT). Pada Ahad 25 Agustus 2019, giliran seminar nasional bertema “Tantangan Pendidikan Nasional Menuju Satu Abad Indonesia” dengan pembicara Prof Dr Muhajir Efendi (Menteri Pendidikan RI) dan Drs H Lukman Hakim Saifuddin (Menteri Agama RI).
Pada Minggu ini juga, digelar acara ijazah istighotsah dan testimoni santri Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari di halaman Pesantren Tebuireng mulai pukul 19.00 WIB. Para santri Hadratussyaikh yang dijadwalkan memberikan testinomi antara lainKH Abu Bakar (Jombang), KH Afandi (Nganjuk), KH Ruhan Sanusi (Jombang), dan KH Masyhuri dari Malang Jawa Timur.
Pesantren Perjuangan
Tebuireng kini adalah buah dari pengelaan sang pendiri, KH Hasyim Asy’ari, setelah menimba ilmu di berbagai pesantren sohor di Indonesia dan juga di Tanah Suci Mekkah. Salah satu guru KH Hasyim Asy’ari yang sering disebut adalah Kiai Kholil Bangkalan, Madura —gurunya para guru.
Sebelum kedatangan Kiai Hasyim, Tebuireng hanyalah sebuah dusun kecil yang masuk wilayah Desa Cukir, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Jaraknya sekitar delapan kilometer di selatan kota Jombang. Tepatnya berada di tepi jalan raya Jombang-Kediri. Konon, berdasar cerita masyarakat setempat, nama Tebuireng berasal dari kata “kebo ireng” (kerbau hitam). Alkisah, suatu hari ada seorang penduduk yang kehilangan kerbau miliknya. Kerbau berkulit kuning kerbau tersebut, setelah dicari-cari, akhirnya ditemukan dalam keadaan hampir mati karena terperosok di rawa-rawa yang banyak dihuni lintah. Sekujur tubuhnya penuh lintah, sehingga kulit kerbau yang semula berwarna kuning kini berubah menjadi hitam. Peristiwa ini menyebabkan pemilik kerbau panik dan berteriak-teriak “kebo ireng! kebo ireng!” Sejak saat itu, dusun tempat ditemukannya kerbau itu dikenal dengan nama Kebo Ireng.
Entah sejak kapan, pada perkembangan selanjutnya, ketika penduduk dusun tersebut mulai ramai, nama Kebo Ireng berubah menjadi Tebuireng. Tidak diketahui dengan pasti kapan perubahan itu terjadi; mungkin ada kaitannya dengan munculnya pabrik gula di selatan dusun tersebut. Keberadaan pabrik gula di zaman Belanda ini mendorong masyarakat untuk menanam tebu. Ada kemungkinan, karena tebu yang ditanam berwarna hitam maka dusun tersebut berubah nama menjadi Tebuireng. Namun, ada versi lain yang menyebut bahwa nama Tebuireng diambil dari nama punggawa Kerajaan Majapahit yang masuk Islam dan kemudian tinggal dan meninggal di sekitar dusun tersebut.
Apa pun asal-usul namanya, sebelum kedatangan Kiai Hasyim, Tebuireng sebagai pusat industri gula masa kolonial dikenal sebagai daerah hitam: sarang perjudian, perampokan, pencurian, pelacuran. Industrialisasi di akhir abad ke-19 itu memang memojokkan masyarakat Tebuireng dalam kehidupan yang hedonis. Banyak orang yang rela melepas hak kepemelikan atas tanah demi hidup yang hedonis itu.
Prihatin akan kondisi masyarakat, Kiai Hasyim datang dengan membeli sebidang tanah di sana dari tangan seorang dalang terkenal. Itu terjadi pada 3 Agustus 1899, bertepatan dengan tanggal 26 Rabiul Awal 1317 H. Di atas sebidang tanah itu, Kiai Hasyim mendirikan sebuah bangunan kecil yang terbuat dari anyaman bambuberukuran 6 X 8 meter. Bangunan sederhana itu disekat menjadi dua bagian. Bagian belakang dijadikan tempat tinggal Kiai Hasyim bersama istrinya, Nyai Khodijah. Sementara, bagian depan dijadikan tempat salat (mushalla). Saat itu ada 8 orang yang mengaji pada Kiai Hasjim –dalam tiga bulan kemudian jumlahnya meningkat menjadi 28 orang santri.
Masyarakat Tebuireng yang sudah merasa nyaman dengan gaya hidup hedonis itu ternyata merasa terusik dan terganggu dengan kehadiran Kiai Hasyim. Gelombang penolakan pun dating bertubi-tubi dalam beragam bentuk: fitnah, teror, ancaman keselamatan. Tak hanya terhadap diri Kiai Hasyim. Para santri yang belajar mengaji kepadanya pun tak luput dari serangan teror. Mereka dilempari batu atau kayu. Bahkan, bangunan yang didirikan oleh Kiai Hasyim itu dirusak dengan menggunakan senjata tajam. Para santri yang ketakutan harus tidur bergerombol di tengah ruangan agar tak terlukai senjata tajam. Kelompok-kelompok masyarakat itu mengancam dan meneror agar para santri berhenti mengaji.
Perlawanan Santri
Teror dan ancaman bertubi-tubi berlangsung hingga 2,5 tahun. Namun, ketika gangguan itu dirasakan semakin membahayakan keselamatan jiwa santri, Kiai Hasyim lalu mengutus seorang santri untuk pergi ke Cirebon, Jawa Barat, guna menamui Kiai Saleh Benda, Kiai Abdullah Panguragan, Kiai samsuri Wanantara, dan Kiai Abdul Jamil Buntet. Keempatnya merupakan sahabat karib Kiai Hasyim. Mereka sengaja didatangkan ke Tebuireng untuk melatih pencak silat dan kanuragan selama kurang lebih delapan bulan.
Dengan bekal kanuragan dan ilmu pencak silat ini, para santri tidak lagi khawatir terhadap gangguan dari luar. Bahkan, Kiai Hasyim sering mengadakan ronda malam seorang diri. Kawanan penjahat sering beradu fisik dengannya, namun dapat diatasi dengan mudah. Bahkan, banyak di antara mereka yang kemudian meminta diajari ilmu pencak silat dan bersedia menjadi pengikut Kiai Hasyim. Sejak saat itu, Kiai Hasyim mulai diakui sebagai bapak, guru, sekaligus pemimpin masyarakat.
Selain dikenal memiliki ilmu pencak silat, Kiai Hasyim juga dikenal ahli di bidang pertanian, pertanahan, dan produktif dalam menulis. Karena itu, Kiai Hasyim menjadi figur yang amat dibutuhkan masyarakat sekitar yang rata-rata berprofesi sebagai petani. Ketika seorang anak majikan Pabrik Gula Tjoekir berkebangsaan Belanda, sakit parah dan kritis, kemudian dimintakan air doa kepada Kiai Hasyim. Dan, anak tersebut pun sembuh.
Tebuireng Kini
Awal abad ke-20, pengaruh Kiai Hasyim dan pesantren terus meluas hingga ke berbagai daerah di Nusantara. Jika pada masa awal jumlah santrinya hanya 28 orang, pada 1910 sudah menjadi 200 orang. Dan, pada sepuluh tahun pertama, pesantren yang kemudian diberi nama Pondok Pesantren Tebuireng itu pada tahun 1910 jumlah santrinya melonjak menjadi 2000-an orang. Tak hanya datang dari daerah sekitar, banyak santri dari daerah-daerah lain, bahkan ada yang berasal dari Malaysia dan Singapura.
Kiai Hasyim dikenal sebagai guru yang sabar dan telaten. Kiai Hasyim memusatkan perhatiannya pada usaha mendidik santri sampai sempurna menyeleseaikan pelajarannya, untuk kemudian mendirikan pesantren di daerahnya masing-masing. Kemudian, juga ikut aktif membantu pendirian pesantren-pesantren yang didirikan oleh murid-muridnya, seperti Pesantren Lasem (Rembang, Jawa Tengah), Darul Ulum (Peterongan, Jombang), Mambaul Ma’arif (Denanyar, Jombang), Lirboyo (Kediri), Salafiyah-Syafi’iyah (Asembagus, Situbondo), Nurul Jadid (Paiton Probolinggo), dan lain sebagainya. Karena itu, ketika pada tahun 1942, Sambu Beppang (Gestapo Jepang) berhasil menyusun data jumlah kiai dan ulama di Pulau Jawa, terdata jumlahnya mencapai 25.000-an orang, dan mereka rata-rata pernah menjadi santri Kiai Hasyim di Tebuireng. Karena kemasyhurannya, para kiai di tanah Jawa mempersembahkan gelar ”Hadratusy Syeikh” yang artinya ”Tuan Guru Besar” kepada Kiai Hasyim. Saat itu, Pesantren Tebuireng dianggap sebagai pusatnya pesantren di tanah Jawa. Dan, Kiai Hasyim merupakan kiainya para kiai.
Pesantren Tebuireng, yang dulu dimulai dari bangunan bambu, kini telah berkembang pesat, menambah beberapa unit pendidikan, seperti Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), hingga Universitas Hasyim Asy’ari (UNHASY, kini IKAHA). Bahkan unit-unit tersebut kini ditambah lagi dengan Madrasah Diniyah, Madrasah Mu’allimin, dan Ma’had Aly, disamping unit-unit penunjang lainnya seperti Unit Penerbitan Buku dan Majalah, Unit Koperasi, Unit Pengolahan Sampah, Poliklinik, Unit Penjamin Mutu, unit perpustakaan, dan lain sebagainya (akan dijelaskan kemudian). Semua unit tersebut (selain UNHASY), merupakan ikon dari eksistensi Pesantren Tebuireng sekarang.
Tebuireng, yang dulu hanyalah sebuah dusun kecil, kini telah lebih ramai dibandingkan dengan kota kecamatannya, Diwek. Tebuireng telah berkembang, maju pesat sebagai kota santri.
Periodisasi Kepemimpinan Tebuireng:
1.Periode I : KH. Muhammad Hasyim Asy’ari, 1899-1947
2.periode II : KH. Abdul Wahid Hasyim, 1947-1950
3.Periode III : KH. Abdul Karim Hasyim, 1950-1951
4.Periode IV : KH. Achmad Baidhawi, 1951-1952
5.Periode V : KH. Abdul Kholik Hasyim, 1953-1965
6.Periode VI : KH. Muhammad Yusuf Hasyim, 1965-2006
7.Periode VII : KH. Salahuddin Wahid, 2006-sekarang.