Ulama kharismatik KH Zaini Mun’im tak mengajarkan pola hidup sederhana hanya melalui ceramah dari atas mimbar. Kesederhanaan ditularkannya melalui teladan sehari-hari.
Di sebuah sudut desa Karanganyar di Paiton, Probolinggo, Jawa Timur, berdiri dengan anggun sebuah pesantren yang menjadi saksi bisu perjalanan hidup KH Zaini Mun’im yang penuh kesederhanaan. Karena itu, beliau adalah seorang ulama kharismatik yang dikenal tidak hanya karena keluasan ilmunya, tetapi juga karena kesederhanaan yang melekat erat dalam kepribadiannya.
Sosok yang lebih akrab disapa dengan sebutan Kiai Zaini ini adalah figur sentral yang menghidupkan nilai-nilai Islam yang menyentuh hati, menjangkau kehidupan para santri, dan merasuk dalam setiap aspek keseharian mereka. Beliau adalah simbol hidup dari kesederhanaan, mengajarkan bagaimana hidup tidak sekadar soal materi, tetapi tentang makna keberkahan, keikhlasan, dan kesabaran.
Kesederhanaan dalam kehidupan santri menurut Kiai Zaini tidak hanya sebatas pola hidup yang diterapkan di lingkungan pesantren. Lebih dari itu, beliau adalah sebuah filosofi yang menyatu dengan tradisi dan spiritualitas seorang muslim. Kesederhanaan bukanlah suatu keterpaksaan, tetapi sebuah pilihan sadar yang mengakar pada ajaran Islam dan hikmah kehidupan.
Dalam pandangan Kiai Zaini, santri adalah potret sejati dari umat yang mampu menjaga keseimbangan antara kebutuhan duniawi dan ukhrawi, dengan tetap berpegang teguh pada prinsip hidup sederhana yang penuh makna.
Di Pondok Pesantren Nurul Jadid yang beliau dirikan, kesederhanaan terlihat dalam setiap sudut. Dari bangunan-bangunan yang tidak megah tetapi penuh keberkahan, hingga pola makan dan gaya hidup para santri yang jauh dari kesan mewah. Tidak ada perbedaan mencolok antara satu santri dengan santri lainnya. Semua hidup dalam kesederhanaan, saling berbagi, dan belajar untuk mengendalikan hawa nafsu.
Bagi Kiai Zaini, kesederhanaan adalah bentuk nyata dari rasa syukur atas apa yang telah diberikan oleh Allah. Beliau mengingatkan bahwa harta, kedudukan, dan kenikmatan dunia hanyalah titipan sementara yang tidak seharusnya membuat manusia lupa akan tujuan hidupnya.
Kiai Zaini tidak hanya mengajarkan kesederhanaan melalui ceramah atau pengajian, tetapi juga dengan teladan hidupnya. Beliau dikenal sangat rendah hati dan jauh dari sifat sombong.
Meski sebagai seorang ulama besar, ia tetap menjunjung nilai-nilai kesahajaan dalam setiap tindakan. Pakaian beliau sederhana, rumahnya tidak megah, dan dalam kesehariannya lebih memilih untuk hidup selaras dengan rakyat kecil.
Ketika santri melihat bagaimana Kiai Zaini menjalani hidupnya, mereka tidak hanya mendengar nasihat, tetapi juga menyaksikan langsung bagaimana nilai-nilai itu diterapkan dalam kehidupan nyata.
Dalam perspektif Kiai Zaini, kesederhanaan adalah jalan menuju kebahagiaan sejati. Beliau mengajarkan bahwa manusia yang terlalu terikat pada kemewahan dunia sering kali kehilangan kedamaian hati. Sebaliknya, mereka yang hidup dengan sederhana justru lebih mampu merasakan nikmatnya hidup, karena mereka tidak terbebani oleh keinginan yang berlebihan.
Kesederhanaan, menurut beliau, adalah kunci untuk membuka pintu keberkahan. Dengan hidup sederhana, seseorang akan lebih mudah merasa cukup, lebih bersyukur, dan lebih dekat dengan Allah.
Di pesantren, kesederhanaan bukan sekadar wacana, melainkan menjadi budaya yang terus dipelihara. Para santri diajarkan untuk hidup dengan apa adanya, tanpa merasa malu atau minder. Pola makan yang sederhana, tempat tidur yang bersahaja, hingga aktivitas harian yang penuh kesahajaan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka.
Bahkan dalam proses belajar, mereka dibimbing untuk lebih fokus pada substansi ilmu daripada penampilan atau fasilitas. Kiai Zaini percaya bahwa kesederhanaan dalam belajar akan membentuk karakter santri yang tangguh, mandiri, dan penuh rasa syukur.
Kisah-kisah tentang Kiai Zaini yang hidup sederhana kerap menjadi inspirasi bagi banyak orang, termasuk mereka yang bukan bagian dari pesantren. Sebagai seorang ulama kharismatik yang memimpin pondok pesantren besar, yang hidup berdampingan dengan masyarakat, Kiai Zaini tidak terpengaruh dengan segala gemerlap dunia. Dalam pandangannya, kemewahan hanya akan menambah beban di hati dan pikiran, sementara kesederhanaan membawa ketenangan dan kebahagiaan yang hakiki.
Kesederhanaan yang diajarkan oleh Kiai Zaini juga mencerminkan sikap tawadhu (rendah hati) yang menjadi ciri khas seorang muslim sejati. Dalam setiap pertemuan, beliau selalu menekankan pentingnya bersikap rendah hati, baik kepada sesama manusia maupun kepada Allah.
Menurut beliau, kesederhanaan bukan hanya tentang gaya hidup, tetapi juga tentang cara berpikir dan bersikap. Seseorang yang sederhana akan lebih mudah menerima nasihat, lebih terbuka untuk belajar, dan lebih siap menghadapi ujian hidup.
Bagi para santri, pesan kesederhanaan ini menjadi pelajaran yang terus mereka bawa bahkan setelah meninggalkan pesantren. Banyak alumni Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton yang mengaku bahwa ajaran tentang kesederhanaan ini telah membantu mereka menjalani kehidupan yang lebih bermakna. Mereka belajar untuk tidak mudah tergoda oleh gemerlap dunia, tetapi lebih fokus pada tujuan hidup yang lebih besar. Kesederhanaan juga membantu mereka untuk lebih peka terhadap kebutuhan orang lain, lebih peduli, dan lebih berempati.
Dalam pandangan Kiai Zaini, kesederhanaan bukan berarti hidup dalam kekurangan atau kemiskinan. Sebaliknya, kesederhanaan adalah kemampuan untuk mengendalikan diri dan menempatkan kebutuhan duniawi pada porsinya yang tepat.
Beliau sering mengutip ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis yang mengajarkan tentang pentingnya hidup sederhana dan tidak berlebihan. Banyak motivasi kehidupan yang menjadi nasihat yang sering beliau sampaikan kepada para santri dan masyarakat.
Kiai Zaini juga menegaskan bahwa kesederhanaan adalah salah satu bentuk jihad. Dalam kehidupan modern yang serba materialistik, memilih untuk hidup sederhana adalah tantangan yang tidak mudah. Namun, bagi beliau, itulah bentuk jihad yang sebenarnya. Dengan hidup sederhana, seseorang mampu melawan nafsu duniawi dan tetap istikamah di jalan Allah. Ia juga mengingatkan bahwa kesederhanaan adalah wujud dari sikap zuhud, yaitu sikap menjauhkan diri dari cinta dunia yang berlebihan.
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang serba cepat dan penuh persaingan, ajaran tentang kesederhanaan ini menjadi oase yang menenangkan. Para santri yang dididik dalam lingkungan kesederhanaan ala Kiai Zaini tumbuh menjadi individu yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara emosional dan spiritual. Mereka belajar untuk menjalani hidup dengan penuh rasa syukur, menghargai hal-hal kecil, dan tidak terlalu terikat pada materi.
Ajaran tentang kesederhanaan ini juga membawa dampak positif bagi masyarakat sekitar. Banyak orang yang terinspirasi oleh cara hidup Kiai Zaini dan para santrinya. Mereka melihat bagaimana kesederhanaan dapat membawa kedamaian dan kebahagiaan yang sejati. Bahkan, banyak yang kemudian mengikuti jejak beliau dengan menerapkan pola hidup sederhana dalam keseharian mereka. Dalam hal ini, Kiai Zaini tidak hanya menjadi panutan bagi para santri, tetapi juga bagi masyarakat luas.
Kesederhanaan yang diajarkan oleh Kiai Zaini adalah refleksi dari nilai-nilai Islam yang universal. Ia mengajarkan bahwa hidup tidak perlu rumit, tidak perlu mengejar hal-hal yang tidak perlu, tetapi cukup dengan menjalani apa yang telah Allah tetapkan dengan penuh rasa syukur. Dalam kesederhanaan itu terdapat kekuatan, kebijaksanaan, dan ketenangan yang tidak bisa ditemukan dalam kemewahan dunia.
Di akhir hayatnya, Kiai Zaini Mun’im meninggalkan warisan yang tidak ternilai bagi para santri dan masyarakat. Warisan itu bukan berupa harta benda, tetapi nilai-nilai kehidupan yang abadi. Beliau mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada apa yang dimiliki, tetapi pada bagaimana seseorang menjalani hidupnya. Kesederhanaan, dalam pandangan beliau, adalah kunci untuk membuka pintu-pintu kebahagiaan itu.
Bagi para santri, ajaran tentang kesederhanaan ini bukan hanya teori, tetapi bagian dari perjalanan hidup mereka. Mereka belajar untuk menghargai setiap detik kehidupan, setiap rezeki yang diterima, dan setiap ujian yang dihadapi. Dalam kesederhanaan, mereka menemukan makna kehidupan yang sejati, sebagaimana yang diajarkan oleh Kiai Zaini Mun’im, ulama yang tak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga menghidupkan nilai-nilai luhur Islam dalam keseharian.
Semoga kita, para santrinya, mampu untuk terus meneladankan terhadap apa yang telah beliau ajarkan. Pada hari ini, kita mempunyai teladan yang terus mengalir dari ajaran KH Zaini Mun’im, yakni KH Zuhri Zaini sebagai pengasuh ke-4 Pondok Pesantren Nurul Jadid. Kiai Zuhri sampai hari ini telah terus memberikan teladan terbaik kepada seluruh santri dan masyarakatnya, bukan hanya soal keilmuan tapi soal sikap dan perilaku serta cara beliau bersosial.