Tempat Paling Gelap, di Manakah Itu?

366 views

“Tempat yang paling gelap sekali di dunia ini, apabila di dalam rumah kekasih, tak ada kekasih.” Begitulah ungkap Maulana Rumi dalam sajaknya.

Adakah rumah yang tanpa penghuni atau pemilik? Jawabannya, tak ada. Setiap rumah pasti memiliki penghuni, pemilik. Sajak di atas sebenarnya ingin menjelaskan kepada kita akan makna tempat paling gelap di dunia. Tapi sebentar, sepertinya menarik pula untuk menelisik makna ganda dari kata gelap. Mengapa Maulana Rumi lebih memilih diksi gelap?

Advertisements

Gelap adalah situasi ketika indra penglihatan tak mampu mengenali apapun, tak mampu menjangkau apapun, buta. Ada yang mengatakan bahwa kegelapan adalah awal mula kehancuran. Sebab dalam kegelapan tak ada rasa malu, tak ada belas kasihan, sementara kejahatan mendapatkan jatah kebebasan tanpa batas. Gelap berarti juga tak ada cahaya, tak ada penerang yang mampu menunjukkan penglihatan kita pada apa yang berada di hadapan kita. Ini tentu sangat berbahaya. Apalagi bagi seorang pejalan, kegelapan adalah momok bagi peta perjalanan.

Rumah. Ada yang mengatakan bahwa hati kita adalah rumah kita, sebab di situlah Allah melihat kita. Rumah bisa juga berarti dunia. Dunia seisinya adalah rumah bagi manusia. Ini tentu sudah disinggung dalam ayat al-Qur an, bahwa manusia adalah khalifah fil ardl, pengelola bumi. Akan tetapi, meskipun manusia diberi keleluasaan untuk mengelola apa saja yang ada di bumi ini, bukan berarti manusia adalah pemilik bumi. Manusia hanya dimandati untuk memberdayakan sumber daya alam semesta saja. Pemilik alam semesta tetaplah Allah semata.

Lalu ada lagi dawuh Maulana Rumi, “Tanpa cinta, ibadah hanyalah beban, semua tarian hanyalah rutinitas, semua musik hanyalah bunyian semata…”

Ya, cinta. Seakan cinta adalah ruh bagi setiap aktivitas. Dan aktivitas yang tanpa didasari cinta bagaikan jisim yang tanpa ruh. Hampa, mungkin juga menjemukan.

Kita kembali pada sajak di awal. Maulana Rumi seakan menyindir kita, dengan kalimat yang demikian halus namun sarat akan makna. Pada kata ‘kekasih’, seperti adalah seruan bahwa sebenar-benarnya kekasih adalah Allah dan manusia adalah pecinta.

Kita semua adalah tamu di rumah Allah. Dunia seisinya adalah milik Allah, alam semesta milik Allah, semuanya milik Allah. Jika manusia adalah pecinta dan Tuhan adalah kekasih, maka betapa seorang pecinta akan merasa sangat merana, bila di suatu waktu ia berada di rumah kekasih, sedangkan di situ tak ada kekasih. Sama halnya dengan manusia yang tak menyadari Tuhannya, sementara ia berada dalam jagat ciptaanNya. Manusia yang demikian ini akan merasakan kegelapan, kehampaan dan kelalaian yang membawa pada kebingungan. Sementara segala aktivitas sehari-hari yang tanpa didasari cinta akan terasa begitu berat.

Dan benarlah perkataan yang menyebutkan bahwa jika seseorang sedang jatuh cinta, apapun akan dilakukan dengan semangat dan senang hati teruntuk kekasihnya. Agama juga demikian, jika kita menjalani laku agama tanpa didasari rasa cinta, maka sholat, puasa, bersedekah, dan macam-macam kewajiban lainnya akan sukar kita kerjakan. Maukah kita tersiksa dengan tidak berusaha mencintai Allah, padahal kita tahu bahwa segalanya adalah fana, kita bakal meninggalkan dunia dan isinya ini.

Selagi menunggu waktu kita berakhir, tak maukah kita untuk berusaha menjadi seorang pecinta, atau setidaknya mencicipi bagaimana rasanya beragama dengan rasa cinta. Membuktikan perkataan Maulana, benarkan cinta membuat aktivitas kita dalam beragama akan terasa mudah dan tentunya mengasyikan. Atau, kita lebih bersikukuh untuk menikmati tempat gelap ini, sebab ketidaksadaran kita akan Allah Ta’ala sebagai sebenar-benarnya kekasih.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan